Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #3

DESA HOLIMA

Sudah satu pekan lamanya, tak ada kabar dari Ibu Kepala Sekolah tentang pekerjaan yang dijanjikannya. Maria mulai berhenti berharap. Ia tenggelam dalam kesedihan panjang, tangannya membuka-buka tiap lembar halaman sebuah majalah yang sudah selama satu minggu ini tergeletak tak berarti di atas mejanya, namun matanya tak membaca satu kata pun yang ada di dalamnya.

"Kak Maria."

Maria mendongak, menatap kepala Thomas yang menyembul di antara celah pintu kamarnya. "Ada apa, Thomas?" tanya Maria.

"Disuruh makan dulu sama ibuk."

"Sa trada lapar," jawab Maria enggan.

"Ya, tapi makan dulu, Kak, nanti ibuk marah, loh."

Maria menutup majalah di tangannya dengan malas, kemudian berdiri.

"Makan dulu, Maria. Dari siang loh kamu belum makan," sapa bibi Maria dalam logat jawa yang begitu kental, begitu Maria muncul di meja makan.

"Sa trada lapar, Bibi."

"Nanti sakit. Wes toh, ayo, dipaksa sedikit-sedikit gitu lo."

Maria mengangguk, menarik kursi dan duduk di balik meja makan oval yang telah menyajikan berbagai menu makanan.

"Mbok ya bukunya itu ditaruh dulu kalau makan, Tom. Berapa kali ibuk bilang, jangan makan sambil baca buku! Capek-capek ibuk bakar bukumu itu nanti."

"Injih, Ibuk. Ini lo tak taruh. Cuma nyelesaikan satu halaman lagi saja, loh." Thomas meletakkan buku tebal bersampul hitam, di atas meja di sampingnya.

"Buku apa itu?" tanya Maria, menatap buku Thomas di atas meja dengan penasaran.

"Novel," jawab Thomas.

"Baca novel kemana-mana, buku pelajaran sudah, kah?" tanya Maria.

"Ya begitu itu keponakanmu, Maria. Kemana-mana bawanya buku novel, komik, mana ada buku pelajaran dia bawa-bawa begitu," kata bibi Maria, mengomel dari dapur.

"Wong aku sudah selesai belajar, Buk. PR juga sudah selesai. Sudah capek belajar di sekolah, refreshing dikit, baca buku," protes Thomas.

"Buku apa sih?" tanya Maria menengahi, membalik buku Thomas untuk melihat judulnya.

"Ini buku bagus, Kak. Buku ini terinspirasi kisah nyata penulisnya waktu dia menjadi dokter di daerah terpencil dan butuh segera membawa pasien ke kota untuk dioperasi, kalau tidak pasien itu akan meninggal. Perjuangannya untuk menyelamatkan pasien sangat hebat, Kak."

"Ins ... apa?" tanya Maria, menatap bingung.

"Inspirasi. Buku yang terinspirasi kisah nyata itu, buku yang ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya atau orang lain di dunia nyata, Kak. Jadi, ceritanya beneran memang ada."

"Memangnya bisa, kah?" tanya Maria.

"Ya bisa, Kak. Tinggal menuliskan kenangan pribadi orang lain atau diri sendiri, dan dijadikan sebuah cerita yang menarik. Novel ini benar-benar bagus, loh, aku tidak berbohong. Pintar sekali penulisnya menyuguhkan cerita nyata menjadi sebuah novel yang hebat. Aku jadi bisa tahu sulitnya kehidupannya di pulau terpencil dan ikut merasakan perjuangannya. Coba baca deh nanti, kalau aku sudah selesai baca. Tinggal sedikit lagi, kok." Thomas menawarkan, menepuk-nepuk buku tebal di sampingnya.

Maria mengangguk pelan. Di dalam benaknya terputar kembali ingatan-ingatan tentang Ibu Guru Winar. Hatinya dipenuhi kehangatan dan rasa hormat yang mendalam, saat mengingat bagaimana perjuangan Ibu Guru Winar di Wamena kala dulu, seperti apa yang baru saja dikatakan oleh Thomas tentang dokter di dalam kisah novel itu. "Seandainya saja momen-momen perjuangan ibu guru bisa terabadikan di dalam buku seperti itu," gumamnya lirih. Ia ingin sekali seluruh dunia mengetahui betapa ia sangat mengagumi dan menyayangi Ibu Guru Winar, dan betapa Ibu Guru Winar adalah sosok yang sangat hebat dan menyenangkan.

"Bibi, sa sudah selesai," kata Maria, berdiri membawa piring dan gelas ke tempat cuci piring.

"Tidak tambah lagi, Maria?" tanya bibi Maria.

"Tidak, Bibi. Sa su kenyang, terima kasih, eh."

Usai mencuci semua piring dan gelas yang ada di bak cuci piring, Maria kembali menyembunyikan diri di dalam kamar. Duduk di balik meja belajar usang, tangannya menarik keluar tumpukan kertas yang ia rapikan ke dalam laci meja beberapa hari lalu. "Sa ingin semua orang mengenal Ibu Guru Winar, meski sa trada bisa lagi bertemu dengan ibu guru," gumam Maria dalam hati. Ingatan Maria kembali berputar pada masa belasan tahun silam, mengulang kenangan-kenangan saat pertama kali ia berjumpa dengan Ibu Guru Winar. Wanita cantik yang hingga kini masih selalu ia bangga-banggakan. Memori indah tentang ibu guru cantik itu menyala terang, bagai api abadi yang tak kunjung padam di dalam hatinya.

Menggenggam erat pena hitam di ujung jari, jemari Maria mulai menggores kata pertamanya menggunakan huruf-huruf kapital, mengulangnya beberapa kali hingga tampak tebal."IBU GURU, AKU RINDU".

Desa Holima, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya. 1989.

Aku berlarian di antara pepohonan, menyusuri tepian hutan, menyeberangi sungai, menuju desa seberang yang berjarak tiga setengah kilometer dari kampung tempatku tinggal. Kampung kami baru saja membuka lahan baru di tepi sebuah sungai yang mengalir langsung melewati Desa Walaik.

Desa Walaik sebenarnya tak jauh berbeda dengan kampung halaman yang aku tempati. Sebuah desa kecil di daerah terpencil, tersembunyi di balik lingkaran Pegunungan Jayawijaya. Tertutup, terisolasi, tak mengenal peradaban luar, tak mengetahui perkembangan jaman yang telah maju. Hanya saja, di desa itu memiliki sebuah bangunan sekolah serta beberapa bangunan kecil tempat para guru dari luar pulau menetap dan bertempat tinggal. SD Inpres Walaik.

Sudah sejak kami menempati lahan baru, aku senang sekali pergi ke Desa Walaik untuk mengintip anak-anak itu bersekolah. Bukan hanya anak-anak, melainkan juga bapak-bapak dari beberapa suku yang tinggal di sekitar lingkaran desa.

Sekolah sepertinya sangat menyenangkan. Mereka mendapatkan buku dengan banyak gambar, batang kayu yang bisa digunakan untuk mencoret-coret lembar putih, dan beberapa kapur berwarna yang bisa digunakan di atas kertas. Beberapa dari mereka yang sudah besar juga belajar membaca huruf, menulis, menggambar, dan mengenal angka-angka. Setiap hari aku mengintip ke dalam bangunan itu, dari pagi saat mereka memulai belajar, hingga sekolah bubar. Menyenangkan sekali pasti, andai aku bisa duduk diantara mereka dan ikut belajar bersama.

"Halo."

Aku melonjak kaget. Secepat kilat aku memutar kakiku dan berlari menjauh, saat mataku bertemu tatap dengan seorang wanita ayu yang aku ketahui sebagai salah satu guru di sekolah itu.

"Hei! Jangan lari. Saya tidak marah. Saya hanya mau menyapa," teriak wanita itu.

Aku menghentikan langkah beberapa meter darinya, bersembunyi di balik sebuah pohon tua berukuran sangat besar. Wanita itu berjalan mendekat, mengintip dari tepi jalan.

Aku diam ketakutan, mematung di balik pohon besar yang menutup tubuhku dengan sempurna. Cukup lama wanita itu mengintip dari kejauhan, mungkin berharap aku akan muncul dan berjalan kembali padanya, menyerahkan diri. Tetapi harapannya pupus, saat aku tak kunjung memperlihatkan diri. Akhirnya dia berbalik dan melangkah pergi, kembali ke dalam bangunan sekolah.

"Mamak. Sa mo pi ke sekolah seperti mereka." Aku berjalan mendekati mamak yang sibuk memberi susu wam di tanah lapang, bersama mamak-mamak yang lainnya.

"Ah, Maria. Berapa kali mamak bilang tidak, eh. Bantu mamak tanam ubi saja, sudah."

Untuk kesekian kalinya, mamak kembali menolak permintaanku untuk bersekolah.

"Tapi kenapa, eh, Mamak. Su banyak anak-anak kampung yang sekolah di sana, toh."

"Ko ini mo pi ke sekolah untuk cari apa, kah, Maria?" timpal wanita lain yang duduk bersila, tak jauh dari tempat mamak duduk.

"Mereka su dapat banyak buku dan belajar membaca dan menulis." Aku terus merengek, merayu mamak agar aku diijinkan pergi ke sekolah. "Ibu guru itu bilang, kalau su pintar nanti bisa menjadi presiden, eh."

"Memangnya mo apa ko kalau sudah menjadi presiden? Ko tahu apa itu presiden, kah?"

Aku diam, tidak bisa menjawab pertanyaan Mamak. Bukan tidak bisa, tetapi memang aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan presiden itu. Siapa dia, dan di mana dia tinggal. Aku juga tidak pernah melihatnya atau bertemu dengannya sekalipun. Tetapi mendengar guru laki-laki itu menyebutnya dan anak-anak bersorak sorai, membuat pikiranku membayangkan sosok presiden seperti sesuatu yang begitu hebat dan luar biasa.

Dengan wajah tertunduk, aku kembali berjalan meninggalkan mamak. Kakiku melangkah menyusuri tepi hutan sekali lagi, mendekati bangunan sekolah. Dari jauh aku terdiam, menatap ingin dari bangunan sekolah yang terlihat semakin gelap seiring tenggelamnya matahari di garis cakrawala bumi.

Malam itu tidurku gelisah. Aku melihat semua orang telah tertidur nyenyak, namun mataku masih terbuka lebar. Di luar hujan sangat lebat dan udara begitu dingin. Tidak ada kain penutup yang dapat melapisi tubuh kami. Hanya minyak babi yang dibalurkan ke seluruh tubuh, serta tungku pembakaran ubi di bawah lantai tempat tidur kami, yang bisa memberikan sedikit rasa hangat pada tubuh kami yang kurus kering tak banyak lemak dan daging. Anak-anak kecil tidur dalam pelukan ibunya, tetapi aku tidak. Mamak masih marah padaku, karena aku terus memaksa ingin pergi ke sekolah.

Malam itu, dengan tubuh menggigil aku berjalan pelan menuruni tangga, berharap tidak menimbulkan bunyi keretak pada anak tangga kayu yang kupijak. Tubuhku berindap perlahan, berjalan mendekati perapian yang hanya menyisakan bara dan asap. Dengan tubuh hitam mengkilap setelah kubaluri minyak babi banyak-banyak, aku duduk meringkuk di depan perapian, mencari tambahan kehangatan.

"Maria!"

Aku membuka mata, kaget. Setengah buram, mataku mulai membentuk sosok mamak yang berdiri menjulang diatasku, tubuhnya melengkung, kedua lengannya berkacak pinggang, membentuk sosok mengerikan yang siap menerkamku bulat-bulat di pagi buta yang dingin menusuk. Aku mendorong pantatku menjauh, menjaga jarak dari jangkauan cakar panjangnya.

"Mamak. Kenapa korang teriak keras-keras, kah?" tanyaku, menatap mamak antara bingung dan takut.

"Kenapa ko tidur di sini, kah? Mamak cari-cari korang kebingungan!" teriaknya semakin lantang, matanya memelotot marah padaku. Aku melihat sekitar, dan teringat bahwa semalam aku berpindah kemari untuk mencari tambahan kehangatan.

"Rasa dingin sekali di atas, Mamak. Di dekat api ini lebih hangat, toh."

Aku bisa melihat mamak mendengus keras karena kesal.

"Su pagi, kah, Mamak?" tanyaku, disusul bunyi gemerutuk gigiku yang saling berbenturan.

"Belum. Di luar kabut tebal. Naik ke atas, sudah. Nanti mamak masak ubi bakar yang hangat," kata mamak, amarahnya sedikit mereda melihatku yang menggigil kedinginan. Aku mengikuti perintah mamak, kembali ke lantai atas rumah honai kami. Semua orang dewasa sudah terlihat bangun, sibuk menggosok tubuh anak-anak mereka dengan minyak babi hingga terlihat benar-benar hitam mengkilap.

Aku ingin sekali mengintip keadaan di luar, tetapi rumah honai kami tidak memiliki jendela. Hanya ada satu pintu kecil di bawah, yang saat ini pasti tertutup rapat untuk menghalau angin masuk dan membuat udara menjadi semakin dingin.

Aku ingin keluar. Aku ingin pergi ke sekolah itu. Saat ini, meski aku tidak tahu jam berapa, tetapi aku yakin di sekolah pasti sudah penuh anak-anak yang akan belajar bersama ibu guru dan bapak guru mereka. Aku ingin tahu, cerita apa lagi yang akan disampaikan ibu guru itu kepada anak-anak, juga pelajaran menulis apa lagi yang akan mereka dapatkan hari ini.

Matahari menerobos celah-celah kecil atap jerami. Anak-anak kecil sudah banyak yang terbangun, ada yang menangis, ada yang berlarian turun mencari ibunya. Setengah jam kemudian mamak berteriak memanggil, kami semua berkumpul di lantai satu, menikmati ubi bakar panas dan hangatnya perapian.

"Cahaya sudah masuk. Ayo buka pintunya." Seseorang berdiri, menarik pintu hingga terbuka lebar. Di luar masih hujan, tetapi tidak lebat. Beberapa wanita, termasuk mamak, pergi menengok babi di rumah ternak, memastikan mereka baik-baik saja setelah badai hujan dan angin semalam.

Aku menyelinap di antara anak-anak dan para remaja yang riuh rendah di dalam rumah honai, diam-diam berlari ke dalam hutan agar tak ketahuan mamak. Menyusuri jalan setapak di bawah rintik hujan yang dinginnya menusuk kulit, aku terus berlari hingga mencapai bangunan sekolah. Tetapi harapanku seketika sirna saat aku melihat bangunan besar itu kosong. Sepertinya sekolah telah usai dan semua orang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing.

Aku berjalan pelan, mengintip dari ruangan ke ruangan yang kesemuanya kosong. Bahkan bapak dan ibu guru pun sudah tak terlihat ada di sana. Semuanya sunyi, sepi, dan tak dan tak ada satu penghunipun yang berhasil kutemui.

Aku duduk merenung di tengah pintu kelas yang terbuka, menunduk sedih. Hari ini aku tidak bisa mendengar cerita ibu guru cantik itu, tidak tahu huruf baru apa lagi yang laki-laki itu ajarkan kepada murid-murid, dan tidak melihat gambar apa lagi yang ia lukis di atas papan hitam menggunakan batu kapur berwarna putih.

Aku beringsut ke tepian koridor sekolah tempatku duduk merenung, meraih ranting kayu dan mulai menulis di atas lumpur basah, huruf-huruf yang sudah aku pelajari setiap kali guru di dalam kelas itu memberikan contoh kepada murid-muridnya. Meski tulisanku belum sebaik bapak guru, tetapi setidaknya aku berusaha agar itu terlihat sama.

Lihat selengkapnya