Sudah satu pekan lamanya, tak ada kabar dari Ibu Kepala Sekolah tentang pekerjaan yang dijanjikannya. Maria mulai berhenti berharap. Ia tenggelam dalam kesedihan panjang, tangannya membuka-buka tiap lembar halaman sebuah majalah yang sudah selama satu minggu ini tergeletak tak berarti di atas mejanya, namun matanya tak membaca satu kata pun yang ada di dalamnya.
"Kak Maria."
Maria mendongak, menatap kepala Thomas yang menyembul di antara celah pintu kamarnya.
"Ada apa, Thomas?" tanya Maria.
"Disuruh makan dulu sama ibuk," jawab Thomas, dengan logat jawanya yang kental.
"Sa trada lapar," jawab Maria enggan.
"Ya. Tapi makan dulu, Kak, nanti ibuk marah, lho."
Maria menutup majalah di tangannya dengan malas, kemudian berdiri.
"Ayo makan dulu, Maria. Dari siang lho kamu belum makan," sapa bibi Maria, juga dalam logat jawa yang begitu kental, saat Maria muncul di meja makan.
"Sa trada lapar, Bibi."
"Nanti sakit. Wes toh, ayo, dipaksa sedikit-sedikit gitu lo."
Maria mengangguk, menarik kursi dan duduk di balik meja makan oval yang telah menyajikan berbagai menu makanan.
"Mbok yo ... bukune itu ditaruh dulu kalau makan, Tom. Berapa kali ibuk bilang, jangan makan sambil baca buku! Capek-capek tak bakar pisan bukumu itu nanti."
"Injih, Ibuk. Ini lo tak taruh. Wong mung nyelesaikan satu halaman lagi, loh." Thomas meletakkan buku tebal bersampul hitam, di atas meja di sampingnya.
"Buku apa itu?" tanya Maria, menatap buku Thomas di atas meja dengan penasaran.
"Novel," jawab Thomas.
"Baca novel kemana-mana, buku pelajaran sudah, kah?" tanya Maria.
"Ya begitu itu keponakanmu, Maria. Kemana-mana bawaanya buku novel, komik, tapi mana ada buku pelajaran dia bawa-bawa kayak gitu," kata bibi Maria, mengomel dari dapur.
"Wong wes selesai belajar, loh, Buk. PR ya sudah selesai. Pun capek belajar di sekolah, refreshing dikit baca buku, toh," protes Thomas.
"Sa boleh lihat ko pu buku novel itu, kah?" tanya Maria, berusaha menyudahi pertikaian keduanya.
"Ini buku bagus, Kak. Buku ini terinspirasi kisah nyata penulisnya, waktu dia menjadi dokter di daerah terpencil dan butuh segera membawa pasien ke kota untuk dioperasi, kalau tidak pasien itu akan meninggal. Perjuangannya untuk menyelamatkan pasien sangat hebat, Kak."
"Ins ... apa?" tanya Maria, menatap bingung.
"Inspirasi. Buku yang terinspirasi kisah nyata itu, buku yang ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya atau orang lain di dunia nyata, Kak. Jadi, ceritanya beneran memang ada di dunia nyata."
"Memangnya bisa, kah?" tanya Maria.
"Ya bisa, Kak. Tinggal menuliskan kenangan pribadinya saja sih, menurutku. Novel ini benar-benar bagus, loh, Kak. Pintar sekali penulisnya menyuguhkan cerita nyata menjadi sebuah novel yang hebat. Aku jadi bisa tahu sulitnya kehidupannya di pulau terpencil dan ikut merasakan perjuangannya. Coba baca deh nanti, kalau aku sudah selesai baca. Tinggal sedikit lagi, kok."
"Ceritanya itu di mana, kah?"
"Kalau yang ini di Kalimantan, Kak. Baca buku ini, aku jadi kepingin nulis cerita tentang bapak waktu masih kecil di Wamena dulu. Siapa tahu beruntung dan bisa terkenal kayak novel ini. Haha ...." Thomas tertawa lebar, menepuk-nepuk buku tebal di sampingnya.
"Ngaco wae mesti pikirane. Muluk-muluk tapi ndak mau usaha, ndak mau memulai. Imajinasi tok. Angan-anagn tok," seru Ibu Thomas dsri dapur. Thomas menyeringai, melirik Maria dengan tawanya yang tertahan di sudut bibir.
Maria balas tersenyum, namun di dalam benaknya terputar kembali ingatan-ingatan tentang Ibu Guru Winar saat Thomas membahas tentang 'perjuangan hidup di daerah terpencil'. Hatinya dipenuhi kehangatan dan rasa hormat yang mendalam, saat mengingat bagaimana perjuangan Ibu Guru Winar di Wamena kala dulu, seperti apa yang baru saja dikatakan oleh Thomas tentang dokter di dalam kisah novel itu. "Seandainya saja momen-momen perjuangan ibu guru bisa terabadikan di dalam buku seperti itu," gumamnya lirih. Ia ingin sekali seluruh dunia mengetahui betapa ia sangat mengagumi dan menyayangi Ibu Guru Winar, dan betapa Ibu Guru Winar adalah sosok yang sangat hebat dan menyenangkan.
"Bibi, sa sudah selesai," kata Maria, berdiri membawa piring dan gelas ke tempat cuci piring.
"Tidak nambah lagi, Maria?" tanya bibi Maria.
"Tidak, Bibi. Sa su kenyang, terima kasih, eh."
Usai mencuci semua piring dan gelas yang ada di bak cuci piring, Maria kembali menyembunyikan diri di dalam kamar. Duduk di balik meja belajar usang, tangannya menarik keluar tumpukan kertas yang ia rapikan ke dalam laci meja, beberapa hari lalu.
"Sa ingin semua orang mengenal Ibu Guru Winar, meski sa trada bisa lagi bertemu dengan ibu guru," gumam Maria dalam hati. Ingatan Maria kembali berputar pada masa belasan tahun silam, mengulang kenangan-kenangan saat pertama kali ia berjumpa dengan Ibu Guru Winar. Wanita cantik, yang hingga kini masih selalu ia bangga-banggakan. Memori indah tentang ibu guru cantik itu menyala terang, bagai api abadi yang tak kunjung padam di dalam hatinya. Jiwanya penuh tekad dan semangat. Seperti kata Thomas, 'siapa tahu beruntung dan menjadi terkenal'.
Menggenggam erat pena hitam di ujung jari, jemari Maria mulai menggores kata pertamanya menggunakan huruf-huruf kapital, mengulangnya beberapa kali hingga tampak tebal."IBU GURU, AKU RINDU".
Desa Holima, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya. 1989.
Aku berlarian di antara pepohonan, menyusuri tepian hutan, menyeberangi sungai, menuju desa seberang yang berjarak tiga setengah kilometer dari kampung tempatku tinggal. Kampung kami baru saja membuka lahan baru di tepi sebuah sungai yang mengalir langsung melewati Desa Walaik.
Desa Walaik sebenarnya tak jauh berbeda dengan kampung halaman yang aku tempati. Sebuah desa kecil di daerah terpencil, tersembunyi di balik lingkaran Pegunungan Jayawijaya. Tertutup, terisolasi, tak mengenal peradaban luar, tak mengetahui perkembangan jaman yang telah maju. Hanya saja, di desa itu memiliki sebuah bangunan sekolah, serta beberapa bangunan kecil tempat para guru dari luar pulau menetap dan bertempat tinggal. SD Inpres Walaik.
Sudah sejak kami menempati lahan baru, aku senang sekali pergi ke Desa Walaik untuk mengintip anak-anak itu bersekolah. Bukan hanya anak-anak, melainkan juga bapak-bapak dari beberapa suku yang tinggal di sekitar lingkaran desa. Sekolah sepertinya sangat menyenangkan. Mereka mendapatkan buku dengan banyak gambar, batang kayu yang bisa digunakan untuk mencoret-coret lembar kertas putih, dan beberapa kapur berwarna yang bisa digunakan di atas papan kayu berwarna hitam.
Beberapa dari mereka yang sudah besar bisa memulai belajar membaca huruf, menulis, menggambar, dan mengenal angka-angka, seperti bapak-bapak. Setiap hari aku mengintip ke dalam bangunan itu, dari pagi saat mereka memulai belajar, hingga sekolah bubar. Menyenangkan sekali pasti, andai aku bisa duduk diantara mereka dan ikut belajar bersama.
"Halo."
Aku melonjak kaget. Secepat kilat aku memutar kakiku dan berlari menjauh, saat mataku bertemu tatap dengan seorang wanita ayu yang aku ketahui sebagai salah satu guru di sekolah itu.
"Hei! Jangan lari. Saya tidak marah. Saya hanya mau menyapa," teriak wanita itu.
Aku menghentikan langkah beberapa meter darinya, bersembunyi di balik sebuah pohon tua berukuran sangat besar. Wanita itu berjalan mendekat, mengintip dari tepi jalan.
Aku diam ketakutan, mematung di balik pohon besar yang menutup tubuhku dengan sempurna. Cukup lama wanita itu mengintip dari kejauhan, mungkin berharap aku akan muncul dan berjalan kembali padanya, menyerahkan diri. Tetapi harapannya pupus, saat aku tak kunjung memperlihatkan diri. Akhirnya dia berbalik dan melangkah pergi, kembali ke dalam bangunan sekolah.
"Mamak. Sa mo pi ke sekolah seperti mereka." Aku berjalan mendekati mamak yang sibuk memberi susu wam di tanah lapang, bersama mamak-mamak yang lainnya.