Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #8

KEKACAUAN KOTA

"Ibu Guru, ini bagaimana caranya, kah?" tanya Maria, dengan raut kesal menyodorkan ponsel barunya pada Bu Susanti saat wanita itu baru muncul di pintu perpustakaan.

"Kenapa?" tanya Bu Susanti, menahan senyum melihat ekspresi Maria.

"Ini seperti apa cara pakainya, kah? Saya tra mengerti ini, eh."

Senyum Bu Susanti semakin lebar, mengulurkan tangan mengambil ponsel di tangan Maria dan melihatnya.

"Ooh ...," katanya, memahami letak kesulitan Maria. "Ini aplikasi baru. Menginstal aplikasi baru, kamu harus membuat akun aplikasi itu."

"Sa su punya akun, toh."

"Tidak sama, Maria. Setiap aplikasi baru, harus memiliki akunnya sendiri pada aplikasi itu."

"Ooh ...." Maria melongo. "Sa harus buat email baru lagi, kah?"

"Email satu, boleh. Tetapi nama pengguna dan passwordnya harus berbeda."

"Password pun tra boleh sama, kah?"

"Boleh saja. Tetapi lebih disarankan untuk berbeda. Buat password baru, seperti kamu membuat password email kamu. Yang mudah diingat, tetapi susah ditebak oleh orang lain. Beda satu dua huruf atau angka saja, juga boleh."

Maria mengangguk mengerti, menerima kembali ponselnya dari Ibu Guru Susanti.

Sore itu, Maria disibukkan dengan ponsel dan beberapa akun media sosial baru miliknya. Sudah beberapa hari ini ia senang menghabiskan waktu sorenya dengan duduk di teras rumah pamannya, memainkan ponsel. Matanya menyusuri kata perkata yang tertulis dnegan huruf-huruf kecil memenuhi layar ponselnya. Ia sudah tahu cara mencari topik yang ia inginkan, cara menemukan pertanyaan yang ia cari, bahkan bagaimana menemukan berita yang sedang menjadi trending topik saat itu.

Hingga matanya menyusuri sebuah judul kalimat, "Seorang Guru Tewas Dianiaya Murid."

Maria menekan link berwarna biru yang membawanya pada sebuah laman berita.

Seorang guru Sekolah Menengah Pertama, meninggal dunia setelah menderita perdarahan otak yang parah, akibat dianiaya oleh murid dan orang tuanya. Menurut penjelasan pihak berwajib, orang tua murid tidak terima saat anaknya dihukum berdiri di bawah terik matahari, karena mengganggu teman-temannya yang sedang mengerjakan ulangan. Orang tua tersebut kemudian datang bersama anaknya yang mengaku sakit kepala berat setelah dijemur di lapangan, dan langsung memukul guru yang bersangkutan. Tidak berhenti di sama, sang anak pun ikut membantu ayahnya menganiaya guru, hingga pria muda itu tak sadarkan diri. Kepala sekolah dan guru olah raga segera melarikannya ke rumah sakit, namun naas, dua hari kemudian Allah memanggilnya Pulang ke Rahmatullah.

Maria menggeram marah usai membaca berita pendek tentang kematian guru tersebut. Ingin rasanya ia menemui orang tua murid itu sekaligus putranya, lalu membentur-benturkan kepala mereka yang sudah diberikan banyak ilmu oleh guru itu, ke atas meja, agar seluruh ilmu yang telah dimilikinya kembali hilang dari dalam kepalanya.

"Mereka su gila! Mereka pikir siapa orang yang sudah buat mereka pintar sekarang kalau bukan guru. Mereka bisa sekolah, bisa belajar, bapak dia tuh bisa jadi pejabat karena siapa, toh. Guru!" Maria mengomel marah, menunjuk-nunuk ponselnya dengan ujung jari, seolah benda menyala itulah yang telah membuat kesalahan dengan memberitakan kematian guru.

"Ada apa, Maria? Ko bicara sendiri sore-sore begini, su bisa gila, korang nanti." Paman Maria melongok keluar, melihat apa yang terjadi pada Maria.

"Trada, Paman. Sa hanya baca ini berita guru yang dibunuh sama muridnya."

"Oh, ya. Teman sekolah Thomas, itu."

"Teman sekolah Thomas?

"Ya." Paman Maria mengangguk.

"Apa dia itu gila?"

"Tidak lah, Maria." Paman Maria duduk di samping Maria. "Tidak ada yang gila dengan itu. Hanya sedikit keterlaluan, kalau di mata orang Jawa. Meski bagi kita orang Wamena, itu su biasa, bukan?"

"Biasa? Itu tra biasa, eh, Paman!" protes Maria.

"Tra biasa apanya, Maria. Kitorang su biasa toh, bunuh orang-orang yang su buat kitorang marah, kesal."

"Tetapi trada orang Wamena su bunuh guru hanya karena anaknya dihukum, Paman."

"Waktu perang, pun?" tanya Paman Maria.

"Perang itu berbeda, Paman. Itu kerusuhan. Tentara-tentara negara su bakar kitorang punya bendera Bintang Fajar, bakar posko-posko siaga Papua Merdeka kitorang lihat."

"Sama saja kalian juga membunuh para guru, bukan?"

"Trada! Kitorang lindungi Bapak Ibu guru dari serangan, Paman. Trada kitorang bunuh mereka."

Paman Maria tertawa lebar. "Maria, Maria. Sama saja, toh," katanya, melangkah pergi. Dalam hati Maria berteriak marah, meyakinkan dirinya bahwa tidak ada satu orang guru pun yang mereka bunuh, meski ia tahu ada beberapa guru yang menjadi korban, termasuk ayah angkat Mateus.

Angan-angan Maria kembali pada masa belasan tahun silam, saat Rakyat Wamena menuntut kemerdekaan Papua dengan pengibaran Bendera Bintang Fajar, atas ijin Bapak Presiden K.H Abdul Rahman Wahid dari hasil perbincangan perdamaian bersama perwakilan ketua satgas Papua Merdeka dengan Bapak Presiden. Namun sayang, kala itu Presiden dilengserkan, dan muncullah kerusuhan Wamena Berdarah akibat para Petugas Keamanan Pemerintah memaksa kami menurunkan Bendera Bintang Fajar, dan membakar posko-posko siaga kami dengan membabi buta. Namun, pun begitu Maria tetap yakin, bahwa ia dan kawan-kawannya, termasuk orang tua murid, tidak ada yang dengan sengaja telah membunuh ibu dan bapak guru di Wamena. Mereka melepasnya, membiarkan mereka menuju ke Kota dan berkendara ke Provinsi untuk mendapatkan pesawat mereka kembali ke Pulau Jawa.

Maria membuka laman sosial medianya pada halaman utama, kemudian menekan tombol postingan baru, seperti apa yang audah diajarkan oleh Ibu Guru Susanti padanya. Maria tersneyum lebar. "Mereka harus tahu. Mereka harus mengerti, kematian guru di Wamena bukan karena kami. Mereka semua harus tahu, bahwa kami mencintai guru-guru kami. Tidak ada alasan bagi mereka membenarkan perbuatan membunub bapak-ibu guru, dengan dalih masyarakat Wamena dulu juga membunub para guru. Tidak! Semua ini harus diluruskan."

Maria mulai mengetikkan kata pertamanya di laman postingan sosial medianya, membuat judul berita dengan huruf-huruf kapital tebal.

Wamena Kacau, Kami Hilang Guru-guru Baik di Sekolah

Aku mendengar tentang keributan itu. Paman Hisage berlarian dari ujung jalan utama, meneriakkan kata-kata peringatan.

"Ou ou ou!"

Aku berlarian keluar, melihat apa yang terjadi di jalan umum, kenapa terdengar ramai sekali.

"Wio Silimo kacau. Kota kacau. Wamena ribut!" teriak paman Hisage, di sepanjang jalan yang ia lalui. Beberapa kepala mulai menyembul keluar dari rumah-rumah honai kami, anak-anak kecil bermunculan ke jalan.

"Apa yang terjadi, Paman?" tanyaku, saat pria kekar itu berlari melewatiku.

"Kota su kacau, Maria. Mereka kasih turun kitorang punya bendera di posko-posko siaga."

"Mereka siapa?"

"Pasukan pemerintah. Tentara-tentara berseragam." Paman berseru sambil terus berlari, kembali meneriakkan peringatan-peringatan kepada semua orang yang ada di kampung halaman. Hari sudah cukup siang, para petani telah berangkat ke ladang untuk mengurus ubi kayu dan tanaman jagung mereka.

Aku berlari mengikuti Paman Hisage ke puncak lapang tertinggi di ujung kampung, untuk melihat apa yang terjadi. Dari sana, aku bisa melihat asap hitam telah membumbung tinggi di arah Wamena Kota. Agaknya, kekacauan yang terjadi sudah berlangsung selama beberapa jam di bawah sana.

Lembah kami letaknya memang yang terjauh dari Wamena Kota, membuat kami kesulitan mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi di luar sana. Membutuhkan waktu sampai 8 jam untuk melintasi jalan, kurang lebih sejauh lebih 30 kilometer dari desa Wamena Kota, ke kampung halaman yang kami tempati. Itu membuat kami sering kali buta informasi dari Kota, seperti saat ini.

"Maria! Ko mo ikut kitorang turun ke Kota, kah?"

Mateus. Ia berteriak dari jauh, memanggilku yang berdiri di atas batu besar di tepi lembah tinggi, menonton asap yang membumbung tinggi dari arah Wamena Kota.

Aku melompat dari atas batu besar, berlari mendekati Mateus.

"Ko mo ikut kitorang pi ke Kota, kah?" Mateus mengulangi, saat aku telah berdiri di depannya. Aku mengangguk tegas.

"Mari. Mereka butuh kita."

Kami berlarian menuruni bukit, menyeberangi padang rumput luas sebelum memasuki hutan. Di tepi hutan, pemuda-pemuda lain seusia kami atau lebih tua beberapa tahun, sudah menunggu dengan senjata lengkap. Panah, busur, tombak, termasuk kampak, parang, pisau, semua tergenggam di setiap tangan-tangan kekar mereka.

"Ah, kalian su datang. Kitorang kumpul di lapangan besar dulu. Kepala suku mo pimpin kitorang semua ke Kota, eh." Frans menyambut kedatangan kami.

"Ko tak ketemu mereka semua pi ke rumah honai adat, kah?" tanya Witenius.

"Ya, banyak. Mamak-mamak su bawa anak-anak mereka ke rumah honai adat, beberapa naik ke perbukitan untuk lihat situasi kota. Dari sana sudengar suara senjata-senjata dari Kota, eh." Mateus menjelaskan.

Lihat selengkapnya