Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #10

KENANGAN MASA LALU

Aku duduk di atas batu bundar yang menjorok di tas rerumputan, di padang luas tanah kampung kami. Mamak duduk tepat di hadapanku, memegang erat jemariku sembari mengikat benang wol kuat-kuat diantara ruas jari telunjukku. Rasanya mulai berdenyut, saat ikatan itu mulai menghambat laju aliran darah di ujung jemariku. Iki Pale – tradisi potong jari, masih menjadi kebiasaan yang melekat erat di kampung kami.

Sebenarnya aku tak harus melakukan potong jari, mengingat Mateus hanyalah saudara jauh denganku. Tradisi potong jadi biasanya hanya dilakukan jika kerabat dekat, orang tua, adik, kakak, atau kakek nenek kami meninggal dunia. Tetapi demi mengenang Mateus dan demi merasakan cinta yang teramat besar terhadap Mateus yang telah berkorban demi menyelamatkan Ibu Guru yang sangat aku cintai, aku bersikeras meminta kepada mamak agar diijinkan untuk melakukan potong jari. Akhirnya mamak mengangguk, setelah Bapak juga berniat melakukan tradisi Nasu Pale – mengiris daun teling, demi mengenang jasad Mateus.

Usai proses pemotongan jari, mamak membungkus sisa jariku dengan dedaunan untuk menghentikan laju perdarahan.

"Jangan ko buka ikatannya sampai satu bulan lagi, Maria. Nanti jari-jarimu akan kering sendiri. Kalau ko buka bungkus lukanya sebelum satu bulan, bisa keluar belatung dari dalam jarimu, nanti."

"Ah ... Betul, kah, Mamak?" tanyaku sangsi, mengernyit sedikit saat mamak mengencangkan ikatannya pada jariku yang terluka.

"Korang jan suka bantah apa mamak bilang, toh. Kalau keluar belatung betul dari dalam jari-jarimu, ko tau rasa, sudah," geram mamak, menatapku kesal.

Sepeninggal mamak, aku masih duduk mematung di atas batu besar, menatap kosong ke arah Wamena Kota. Kurang lebih tiga kilometer dari tempatku sekarang, aku yakin bangunan-bangunan batu itu telah kosong ditinggalkan semua penghuninya. Sampai saat ini, sampai satu minggu setelah kerusuhan itu, dan setelah kepergian Mateus untuk selamanya, kami belum kembali ke sekolah. Selain masih takut para tentara-tentara itu akan kembali menyerang kami, para tua-tua juga mengatakan bahwa di sekolah-sekolah tak lagi ada guru yang mengajar. Mereka banyak yang pulang ke kampung halaman masing-masing. Sisanya lagi yang tidak kembali ke kampung halaman, memilih bersembunyi di tempat pengungsian, ketakutan.

Aku menyelinap keluar dari kampung, melalui jalan hutan yang jarang dilewati orang-orang, karena jalan utama dijaga sangat ketat. Aku memutar sejauh lebih dari satu kilometer dari jarak normal, menuju bangunan sekolah. Bangunan besar itu masih berdiri kokoh, namun rumah-rumah hampir tak ada yang utuh semourna. Ada yang terbakar, hancur sebagian, atau bahkan hancur seluruhnya. Aku menatap dari kejauhan ke arah rumah Ibu Guru Winar yang setengah hancur di bagian depannya, pintu masuknya jebol. Aku menghela nafas kecewa.

Perlahan kakiku melangkah memasuki rumah Ibu Guru Winar. Tempat itu kosong dan sunyi, tetapi seluruh barang-barang di dalamnya masih utuh berada di tempatnya. Aku berjalan diantara reruntuhan dinding di sudut ruang tamunya yang jebol, entah karena apa, tetapi barang-barang di dalamnya sama sekali tak berubah tempat.

Aku berjalan mengelilingi ruangan, kemudian memasuki bagian dalam rumah ibu guru. Ada dua kamar mungil yang berhadapan, sebelum dapur. Di depan kamar dengan kelambu menutup pintu, terdapat tumpukan buku yang berserakan. Ada beberapa buku ajar, yang seketika mengingatkanku pada hari-hari kami saat aku masih di sekolah dasar. Ibu guru dengan sabar mengajarkanku beberapa pelajaran, yang belum pernah aku dapatkan di sekolah. Ibu guru bilang, aku sangat pintar dan cerdas, dibanding anak-anak yang lain. Mungkin karena aku sering ikut makan di rumah ibu guru, mendapatkan gizi yang lebih dari pada sekedar ubi jalar atau ubi kayu satu buah sehari, membuat isi kepalaku lebih mudah diajak untuk berpikir.

Ibu Guru Winar juga tunjukkan padaku beberapa artis Indonesia asal Irian Jaya – sebelum namanya berubah menjadi Papua pada tahun 2021, yang telah menyabet beberapa penghargaan, mengharumkan nama tanah kelahiran mereka. Aku ingin menjadi seperti mereka. Hebat, pintar, terkenal. Aku ingin menjadi sutradara film, ingin jadi penyanyi terkenal, atau bahkan menjadi Pahlawan Indonesia yang sanggup membela Tanah Air Tercinta, seperti semua yang telah Ibu Guru Winar ceritakan padaku.

Tanganku perlahan terjulur memungut beberapa buku yang tak tertata rapi di atas meja. Ada beberapa judul buku yang menarik perhatianku, seperti Sejarah Tanah Kelahiran, Biologi Ekosistem Biota Laut, atau Ensiklopedi Sejarah Negeri. Namun ada yang jauh lebih menarik perhatianku dari semua itu. Sebuah buku tebal bersampul hitam dengan judul Rahasia Keindahan Alam dan Keanekaragaman Pulau Cendrawasih.

Aku menarik buku setebal dinding bata rumah Bapak Guru itu dengan susah payah, dari tumpukan buku-buku yang menindihnya. Saat berhasil mengambilnya, sebuah lembaran kecil luruh dari bawahnya, jatuh ke atas lantai. Aku membungkuk untuk memungutnya, dan seketika mataku membulat saat melihat apa yang ada di baliknya.

Itu salinan Kartu Tanda Pengenal milik Ibu Guru Winar. Sebuah foto wanita yang sangat kurindukan, tersenyum dalam warna hitam putih di balik bingkai kotak. Di sampingnya terdapat nama yang belum pernah kudengar sebelumnya, nama lengkap Ibu Guru Winar. Dan di bawah baris yang bertuliskan tanggal lahirnya, tertera dengan jelas alamat rumahnya. Bukan alamatnya yang di Wamena, melainkan alamat rumahnya di Jawa.

Aku tersenyum lebar. Mataku menyusuri bagian atas kartu pengenal itu, dan membaca berulang-ulang deretan kata yang tercetak dengan huruf-huruf kapital. PROVINSI JAWA TIMUR. Kabupaten Malang. Aku membaca alamat itu sekali lagi, berusaha mengingatnya di dalam kepalaku dengan sangat baik, meski pada akhirnya aku tetap melupakannya juga, di saat aku benar-benar membutuhkan ingatan itu untuk menemukan Ibu Guru Winar di kota kelahirannya.

Aku memungut kertas kecil yang sudah hampir menguning warnanya itu, entah karena sudah disimpan berapa lama oleh ibu guru. Tanganku membuka halaman buku bersampul hitam, berhenti pada halaman 100 dan menyelipkan kertas salinan kartu tanda pengenal ibu guru di dalamnya. Aku akan menyimpan benda berharga itu baik-baik. Aku yakin suatu saat nanti aku pasti membutuhkannya, saat aku telah berhasil menyelesaikan sekolahku dan menjadi orang hebat. Aku akan merantau ke Jawa, menemui Ibu Guru Winar dengan membawa bukti dari harapan besar yang pernah digantungkannya di leherku, sebagai gadis pedalaman yang hebat. Aku akan menemui ibu guru, dengan membawa segudang prestasi seperti apa yang pernah dicita-citakannya bisa terjadi padaku.

Aku mengembalikan buku-buku yang lain ke atas lemari rendah ibu guru, merapikannya dan menyusunnya berdasarkan tinggi, seperti Bapak Guru Priyo pernah mengajarkanku dulu. Buku-buku itu kini telah berjajar rapi, meninggalkan satu buku yang akan kubawa pulang untuk kubaca dan kupelajari setiap hari.

"Ah, sa trada mencuri buku, Ibu Guru Winar. Sa hanya pinjam saja, toh. Nanti kalau sa pi ke Jawa, sa mo bawa buku ini untuk dikembalikan sama Ibu Guru, eh," kataku, berbicara sendiri. Aku takut dikatakan mencuri. Aku tidak ingin mencuri apa pun dari Ibu Guru Winar, aku hanya meminjamnya saja dan pasti akan aku kembalikan saat aku bertemu dengannya suatu hari nanti.

Setelah cukup lama berkeliling di dalam rumah ibu guru, merapikan segala sesuatu yang ada di sana, kecuali dua kamar tidur yang sama sekali tidak ku buka, aku berindap keluar. Kepalaku melongok ke kanan dan kiri, memastikan keadaan aman, sebekum berlari tunggang langgang, kembali ke dalam hutan.

Hari sudah hampir petang saat aku kembali berjalan menyusuri hutan, muncul di depan posko siaga keamanan kampung.

"Ou Maria! Korang pi kemana saja, kah?" teriak satgas keamanan dari atas mercusuar.

"Ah, Paman. Sa trada pi kemana-mana, toh."

"Ko jangan tipu kitorang, Maria. Di luar situasi masih berbahaya, toh. Mamak ko menangis, sudah, cari-cari korang dimana-mana."

Lihat selengkapnya