Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #10

BAKAR BATU

"Maria!"

Maria menoleh ke arah suara yang meneriakinya.

"Hei, Maria. Aku sudah baca ceritamu. Mengharukan sekali. Aku sampai menangis waktu baca saat-saat Mateus mati. Itu mengharukan sekali."

"Oh!" Maria menatap malu pada Bu Susanti. "Apa itu bagus, kah, Ibu Guru Susanti?" tanya Maria.

"Bagus sekali, Maria. Itu kan bukan cerpen, bukan novel, jadi bahasanya sedikit berantakan pun tak masalah. Yang penting bisa dimengerti."

"Apa berantakan sekali, eh, Ibu Guru?"

"Tidak. Hanya saja, kalau karya sastra memiliki aturan-aturan bakunya sendiri. Berbeda dengan unggahan di sosial media seperti milikmu kemarin. Tak peduli itu kisah nyata atau kisah fiksi yang kamu buat-buat, selama tidak menyebut bahwa itu sebuah karya sastra, kukira semua baik-baik saja, sekarang."

"Sa takut banyak yang tidak menyukainya, Ibu."

"Banyak yang menghujat, maksudmu?"

Maria mengangguk.

"Memangnya kamu sudah membuka lagi unggahanmu atau belum?"

Maria menatap bingung, menggeleng. "Belum," katanya.

"Kalau begitu coba kamu buka sekarang. Kamu jangan membayangkan hal-hal yang kamu takutkan, sebelum melihat sendiri apa yang terjadi, Maria. Ya ... memang, untuk menjadi apapun yang dikenal banyak orang itu tidak akan mudah. Pasti ada beberapa orang, bahkan bisa jadi banyak, orang-orang yang akan menghujat dan membencimu. Kamu tidak harus mendengarkan, atau mempercayai semua komentar yang masuk. Ambil yang bermanfaat, dan tinggalkan yang membuat mental dirimu jatuh."

Maria terdiam, menatap kosong pada Bu Susanti.

"Menjadi seorang seleb atau kreator harus mempunyai mental baja, Maria."

"Mental baja itu seperti apa, kah, Ibu Guru?"

"Mental baja itu adalah perasaan tak peduli pada hujatan orang lain yang tidak mendidik."

"Masa bodoh, kah?"

"Betul. Tetapi hanya pada komentar-komentar yang tidak mendidik. Kalau komentar yang bisa membuatmu menjadi lebih baik, ikuti, dengarkan, dan respon positif semuanya. Semua, yang baik maupun yang buruk. Jangan mudah tersulut amarah pada komentar-komentar yang buruk, karena itu yang akan menunjukkan kualitasmu sebagai kreator."

Maria mengangguk, meski tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksud oleh Bu Susanti.

"Sekarang coba kamu buka unggahanmu tentang peperangan itu."

Maria membuka laman sosial medianya, membuka kembali halaman unggahannya malam kemarin. Ada angka 79 pada bilah notifikasi yang ditandai dengan lingkaran merah.

"Kamu buka kolom komentarnya. Ada banyak orang yang sudah membaca kisahmu, dan meninggalkan komentarnya di sana."

"Sa takut mereka olok-olok saya, Ibu Susanti."

"Buka dulu. Aku sudah membuka semua komentarnya. Ada beberapa yang tidak suka memang, tetapi menurutku tidak perlu di dengar."

Maria mengikuti arahan Ibu Guru Susanti. Ia membuka kolom komentar, dan mulai membaca satu per satu semua komentar yang ditinggalkan oleh pembaca di sana. Jantungnya berdegup kencang saat pertama kali ia mulai membaca.

Menarik. Jadi tahu dari sudut pandang yang lain tentang tragedi di Wamena. Komentar pertama membawa aura positif bagi Maria.

Wah, ternyata masih ada orang suku yang memiliki toleransi dan rasa peduli pada pendatang.

Ini kisah nyata, kah? Atau hanya karya fiksi yang dihubungkan dengan kisah nyata di pedalaman Wamena?

Busuk! Tetap saja mereka suku kanibal.

"Kanibal apa, Ibu Guru Susanti?" tanya Maria.

"Hanya untuk diketahui, Maria. Tidak untuk diambil hati. Kanibal itu manusia yang memakan manusia."

"Tapi kami trada makan manusia, eh!"

"Sudah kukatakan, hanya untuk diketahui, kan. Yang mengatakan itu, aku yakin adalah orang yang tidak pernah mengerti keindahan di balik satu sisi negeri yang tersembunyi. Mereka tidak pernah tahu orang-orang suku kalian ramah-ramah, baik-baik. Mungkin dia hanya membaca berita selama ini, belum pernah kenal secara langsung sepertiku."

Maria tersenyum masam.

"Bisa di saring? Mana yang penting untuk di dengar dan yamg harus diabaikan?"

Maria kembali mengangguk. Ia mulai memahami apa yang dimaksud Ibu Guru Susanti dengan masa bodoh pada komentar yang tidak mendidik.

"Jadi sa harus bagaimana, Ibu Guru?" tanya Maria, setelah membaca tuntas seluruh komentar yang ditinggalkan oleh para membacanya.

Lihat selengkapnya