Memiliki banyak respon positif, membuat Maria semakin bersemangat menulis kisah kehidupannya bersama Ibu Guru Winar. Maria menyalin apa yang ditulisnya di kertas beberapa pekan sebelumnya, mengunggahnya di laman baru sosial medianya.
Banyak respon positif yang ia dapatkan, meski juga beberapa respon negatif tak dapat ia hindari. Namun seperti kata Ibu Guru Susanti, Maria tidak boleh berkecil hati hanya karena komentar-komentar negatif yang tidak membangun diri.
"Bapak Salim. Bapak guru Bahasa Indonesia, toh." Maria duduk di depan meja Pak Salim, suatu hari.
"Ya." Pak Salim mengangguk ramah. "Kenapa, Maria?"
"Tolong ajari sa tata bahasa dan kepenulisan yang baik, kah, Bapak?"
"Maksud kamu?"
"Sa suka tulis cerita di sosial media. Tapi beberapa orang bilang tulisan sa membingungkan. Sa ingin tulis yang lebih baik, Bapak. Bisa Bapak ajari sa tulis yang baik, kah?"
Pak Salim mengerutkan kening. "Kamu menulis cerpen?"
"Tidak, Bapak."
"Lalu?"
"Hanya cerita saja tentang kehidupan sa di Wamena dulu. Awalnya sa ceritakan perang di Wamena yang buat sa terpisah dari Ibu Guru yang sekarang sedang sa cari-cari di mana, eh. Tapi kemudian banyak yang bilang senang sa pu cerita. Jadi sa tulis lagi cerita, tentang pertemuan sa dengan Ibu Guru di Wamena."
Pak Salim tersenhum lebar. "Kamu betul kepingin belajar menulis yang baik?"
Maria mengangguk bersemangat.
"Kalau begitu, hilangkan dulu kebiasaan kamu membawa-bawa sapu kemana-mana."
"Sapu? Sa trada pernah bawa-bawa sapu, toh."
"Sa pu cerita banyak yang senang." Pak Salim mengulang kalimat Maria. "Buat apa cerita kamu sapu. Biar bersih?" katanya lagi, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Maria seketika terbahak menyadari kesalahannya. "Bapak Salim bisa saja, eh. Sa pu cerita bukan sa kasih bersih cerita pakai sapu bersih lantai, kah."
Pak Salim semakin tertawa. "Nah, itu maksudku, Maria. Bukan aku bermaksud mengolok-olok bahasamu atau merendahkan, tidak. Tetapi kalau kamu mau menulis cerita, kamu harus menggunakan bahasa yang baku. Bahasa yang menurut EYD, hilangkan bahasa daerahmu pada kalimat-kalimat narasi. Kecuali dialog, ya. Kalau dialog, kamu bebas menggunakan bahasa yang bercampur kebiasaan bahasa daerahmu, atau bahasa daerah sekalipun, boleh. Tetapi kalau kamu menggunakan bahasa daerah murni, ribet. Nanti jadi harus ada catatan kaki untuk terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, biar semua orang mengerti maksudnya."
Maria mengangguk-angguk paham. "Catatan kaki seperti apa, Bapak Salim?"
"Catatan kaki itu tulisan berupa terjemahan bahasa selain bahasa Indonesia, atau referensi – misalnya dari mana kamu mengambil sebuah berita yang ada di dalam ceritamu, atau kutipan milik siapa yang kamu masukkan ke dalam naskah tulisanmu, yang dicetak di bagian bawah lembar halaman." Pak Salim meraih sebuah buku dari tumpukan di sudut mejanya, membukanya dengan cepat, lalu berhenti di satu halaman. "Nah, seperti ini," katanya, menunjukkan sebuah catatan kaki kepada Maria.
"Ah, baik. Sa mengerti, toh."
Pak Salim mengangguk senang. "Mana tulisan ceritamu, Maria. Boleh aku membacanya?"
"Ah, boleh saja, toh. Ada di akun saya, Bapak. Nama Maria Belle Salaka."
"Sebentar, sebentar, aku buka dulu, tunggu," kata Pak Salim, segera mengakses ponselnya. Kemudian pria itu mulai membaca dengan serius isi unggahan Maria, hingga beberapa kali dahinya tampak berkerut dalam. Maria menunggu dengan jantung berdebar, lebih tegang rasanya dari pada menghadapi pihak kepolisian kali lalu, saat dirinya dipanggil karena menerjang orang tua murid yang hampir menampar Ibu Kepala Sekolah.
"Aah ...." Pak Guru Salim menghela nafas panjang, setelah usai membaca unggahan cerita Maria. "Apa kamu sudah sering menulis seperti ini, Maria?"
Maria menggeleng pelan. "Baru pertama, Bapak Guru Salim," katanya ragu.
"Menurutku ceritamu ini cukup bagus, Maria. Sangat menarik. Aku suka membacanya."
"Terima kasih, Bapak. Tetapi banyak orang kasih sa komentar, orang kata ceritanya membingungkan. Sa pu bahasa belepotan, eh, seperti anak baru belajar berbicara."
Pak Salim tersenyum lebar. "Tentu saja. Itu karena yang membaca ceritamu, tidak dapat menangkap bahasa yang kamu gunakan."
"Karena buruk sekali, kah?"
"Tidak. Karena kalian beda bahasa. Beda logat. Beda kebiasaan. Kalau aku yang bisa memahami ceritamu, ya kisahmu sangat bagus. Tetapi bagi yang tidak bisa memahami bahasamu, mungkin akan sedikit bingung."
Maria kembali mengangguk paham.
"Kalau menurut saranku, Maria. Lanjutkan ceritamu. Tulis kisah-kisah baru yang lebih menyenangkan, lebih menggugah. Kalau perlu yang sarat pendidikan."
"Sarat pendidikan seperti apa, kah, Bapak Guru?"
"Yah, yang bisa mendidik pembacanya. Yang bisa mempengaruhi pembaca, supaya mereka berbuat baik."
Maria menatap bingung.
"Begini saja. Sekarang aku mau bertanya, apa tujuanmu menulis cerita itu?"
"Sa tulis ...."
Pak Salim mengangkat tangan, membuat Maria berhenti berbicara.
"Maaf, memotong," katanya. "Ayo mulai gunakan bahasa umum, Maria. Biar kamu terbiasa. Katakan saja saya, atau aku. Maaf, tidak bermaksud untuk menyinggungmu."
Maria tersenyum. "Tidak, Bapak Salim. Saya tidak tersinggung. Terima kasih su kasih ...."
Pak Sali mengangkat alis.
"Sudah ajarkan Maria dengan baik," kata Maria, memperbaiki.
Pak Salim tersenyum senang, mengangguk. "Ya, ya. Tetapi kamu harus ingat, aku sama sekali tidak bermaksud menghilangkan apapun keunikan yang ada pada dirimu, Maria. Hanya mencoba membantumu saja, karena kamu bercita-cita menjadi kreator sastra"
"Saya tahu, Bapak. Saya senang dengan itu."
"Baiklah. Jadi ... sekarang ceritakan padaku, apa yang kau inginkan dari unggahan ceritamu?"
"Saya baca kisah guru yang meninggal dipukul murid dan orang tuanya, Bapak Guru. Saya kesal, toh. Saya ingin orang tahu, kami di Wamena dulu, taruh nyawa kami untuk selamatkan bapak ibu guru, sampai Mateus mati kena peluru tentara. Memang Mateus mati tidak untuk lindungi ibu guru dan bapak guru. Tapi kami senang jaga mereka tetap selamat, Bapak. Mereka su kasih kami banyak ilmu, jadikan kami pintar dan kenal dunia luar."
Maria mengambil jeda, menelan ludah. Ia selalu saja ingin menangis, saat mengingat kematian Mateus saat itu.
"Mateus tidak mati untuk ibu guru dan bapak guru, tapi kami senang bisa jaga mereka selamat sampai kota. Bukan kami khianati suku kami, Bapak. Tidak. Kami hanya ingin hargai jasa bapak dan ibu guru kami."
"Berapa banyak bapak dan ibu guru kamu di sana, Maria? Kenapa kamu hanya melindungi dua orang saja?"
"Ah, tidak, Bapak," protes Maria. "Kami su jaga banyak guru, toh. Banyak murid-murid di sana diam-diam jaga guru kami, Bapak. Mateus bantu sa jaga Ibu Guru Winar karena waktu kami tiba, bapak angkat Mateus telah mati kena parang."
"Kenapa kamu mengambil tema peperangan itu sebagai pembanding kasus kematian guru akibat dipukuli siswa dan orang tua murid? Bukankah kematian guru-guru di sana yang kamu angkat di dalam kisah ceritamu, terkesan juga karena perlakuan suku pribumi, yang bisa saja dia juga orang tua murid?"
Maria terdiam, menunduk. Pak Salim tersenyum. "Aku tidak sedang mencari-cari kelemahan ceritamu, Maria. Tidak perlu bersedih. Kenapa aku bertanya? Karena tidak menutup kemungkinan suatu saat di dalam kolom komentarmu ada yang meninggalkan pertanyaan demikian. Mungkin dari orang-orang yang masih bekum rela kehilangan salah satu keluarganya, atau dari orang-orang yang memang tidak memahami budaya kehidupan kalian di masa lalu. Tidak memahami pencetus peperangan itu yang sebenarnya. Atau orang-orang yang hanya mendengar isu dan desas desus dari salah satu pihak saja. Maka kalau itu terjadi, kamu sudah siap untuk menghadapinya."
Maria kembali menatap Pak Guru Salim.
"Ceritamu sangat bagus, Maria. Kecil sekali kemungkinan orang-orang akan menanyakan itu, kecuali memang ada seseorang yang tidak menyukai pemilihan latar belakang ceritamu."
Maria mengangguk.
"Maukah kamu melanjutkan ceritamu, memulainya dari awal bagaimana kamu bertemu dengan ibu gurumu, hingga peperangan itu terjadi?"
"Saya sudah tulis cerita tentang pertemuan saya dengan Ibu Guru Winar, dan hari-hari pertama saya di sekolah, Bapak. Tetapi masih saya tulis di kertas. Itu saya tulis waktu saya baru datang ke Jawa."
"Boleh saya lihat?" tanya Pak Salim antusias. Maria senang melihat keantusiasan pria itu pada tulisan-tulisannya. Itu membuatnya semakin bersemangat.
"Saya ambil dulu, Pak Guru. Ada di dalam tas saja di perpustakaan."
"Biar saya kesana. Saya lebih suka membaca pada kondisi tenang. Di sini agak ramai."
Maria berjalan beriringan dengan Pak Guru Salim menuju perpustakaan. Tas noken kebanggaan Maria tersimpan di dalam laci mejanya. Ia mengeluarkannya, lalu menarik lembaran kertas yang terlipat dari dalam tasnya. Kertas itu lusuh, karena tergulung-guling di dalam tas. Maria berusaha merapikannya di atas meja.
"Wah, tulisan kamu bagus juga, Maria," kata Pak Salim, begitu menerima kertas tulisan dari tangan Maria. Maria tersipu.
Pak Salim membaca dengan seksama tulisan tangan Maria. Beberapa kali ekspresi Pak Salim terlihat tertarik, tersenyum, mengerut. Berubah-ubah sesuai dengan apa yang sedang dibacanya. Lima belas menit meresapi ceritanya, Pak Salim tersenhum lebar.
"Unggah," katanya. "Ini bagus sekali, Maria. Dan bagiku, ini sudah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah bagian Novel, karena setiap cerita yang kamu tulis telah memiliki konflik."
"Haha. Itu hanya tulisan sekedarnya, Bapak Salim. Sa sudah ... Maksud saya, saya sudah pernah membaca novel kisah nyata, milik adik sepupu saya. Bagus sekali, Bapak."
"Ya, ini juga bagus menurut saya. Hanya tinggal memperbaiki beberapa hal saja. Eh ... Kamu tahu Pak Novan, guru SMP?"
"Tidak tahu, Bapak. Memangnya kenapa, kah?"
"Dia kreator sastra juga di sosial media. Isi sosial medianya tentang puisi-puisi dan quote-quote. Bagus. Dia guru sastra, dan kalau kamu mau belajar dengannya, aku yakin dia memiliki ilmu yang lebih dari apa yang aku miliki."
Maria mengerutkan kening. "Tapi saya tidak kenal dia, Pak Guru."
"Hanya tidak tahu namanya, mungkin, Maria. Dia sering berada di perpustakaan juga. Membaca di sudut sana, biasanya. Beberapa kali aku melihat kalian saling tersenyum atau bertegur sapa."
"Ah, sa tidak hafal guru-guru SMP dan SMA, Bapak."
"Dia pria muda, tampan, memakai kacamata bulat. Wajahnya terlihat ramah. Kamu pasti tahu."
"Aah ... yang alis tebal dan ada tahi lalat di sini, kah?" Maria menunjuk sudut mata kanannya.
"Nah, betul. Coba berinteraksi dengannya kalau dia kemari, dan ... Oh, itu dia."
Wajah Maria memerah seketika, saat melihat kearah mata Pak Salim memandang. Ia sedikit menunduk untuk menyamarkan jantungnya yang berdegup kencang.
"Selamat siang, Pak Novan," sapa Pak Salim ramah, berdiri menyambut pria muda di depannya.
"Selamat siang, Pak Salim. Tumben ada di perpustakaan." Pak Novan balas menyapanya ramah, menyalami Pak Salim dengan sopan.
"Iya, ini menemani Maria."
Pak Novan menatap Maria, mengangkat alis. "Sejak kapan butuh ditemani? Selama ini kulihat selalu sendiri," katanya, tersenyum pada Maria. Kedua pipi hingga telinga Maria memanas, ia menatap Pak Salim dengan kebingungan. Melihat ekspresi malu Maria, Pak Salim tertawa.
"Bukan perlu ditemani karena takut, Pak. Ini ... dia sedang konsultasi sama saya, bagaimana caranya menulis sebuah karya sastra. Baru saja saya membicarakan Pak Novan kepada Maria, eh Bapak datang. Panjang umur, rupanya."
Pak Novan terlihat tersenyum lebar. "Wah, mungkin kodam saya bisa mendengar nama saya disebut, jadi membawa langkah kaki saya kemari. Saya tadi sebetulnya berniat pergi ke kantin, tapi ya ... tiba-tiba saja kaki saya berjalan kesini."
Kedua pria berbeda usia itu sama-sama tertawa, sementara Maria masih memanas di tempatnya.
"Suka menulis karya sastra, Maria?" tanya pria itu, langsung menatap mata Maria, membuat Maria gelagapan.
"I-iy, tidak. B-elum," jawabnya belepotan.
"Dia baru menulis kisah pribadinya di sosial media, Pak Novan. Tapi waktu saya baca, sepertinya kok berpotensi menjadi sebuah karya sastra. Hanya saja tata bahasanya belum EYD."
"Karya sastra modern, bebas, Pak Salim. Jaman sekarang, yang penting nyaman di baca dan tidak melenceng terlalu jauh dari EYD. Kecuali kamu ingin memasukkannya ke dalam percetakan besar yang masih saklek sama aturan kepenulisan."