Libur sekolah tiga hari, rasanya terlalu lama bagi Maria, karena itu artinya ia tidak bisa mendiskusikan cerita yang ditulisnya dengan Pak Novan, di perpustakaan.
Maria menelungkup di atas tempat tidur, mengigit-gigit punggung pena yang tergenggam di tangannya. Ia sedang menulis kelanjutan ceritanya tentang Ibu Guru Winar dan kehidupannya selama mengenal wanita itu.
Dua unggahannya telah menuai banyak komentar positif. Berkat bantuan Pak Novan, kalimat-kalimatnya lebih mudah dipahami, meski Pak Novan enggan menghilangkan ciri khas Maria sebagai orang Wamena.
"Aku lebih suka tidak menghilangkan ciri khasmu sebagai penulis dari Wamena, Maria. Aku suka membacanya. Itu yang membuat tulisan-tulisanmu terasa unik dan berbeda," kata Pak Novan, di hari terakhir mereka bertemu sebelum liburan panjang sekolah.
Selama libur sekolah Maria memiliki tugas khusus dari Pak Novan, ia harus menyelesaikan kelanjutan ceritanya, sehingga waktu mereka bertemu nanti Pak Novan sudah bisa mengoreksi tulisannya dan siap untuk di unggah setelah jam sekolah usai. Seharusnya. Tetapi malam ini, bukannya sibuk menulis cerita yang ditugaskan pria itu, pikiran Maria justru melayang-layang memikirkan pria itu sendiri, bagaimana hari-harinya menjadi begitu manis dan berwarna dengan kehadiran Pak Novan yang lebih sering menemaninya di perpustakaan di saat dia tidak harus berada di dalam kelas.
Kalau dulu pria itu lebih sering menyendiri di pojok perpustakaan, membaca sendirian, maka beberapa hari terakhir setelah Pak Salim memperkenalkan mereka, Pak Novan menjadi lebih senang duduk satu meja dengan Maria, di meja kerja Maria di perpustakaan.
"Pak Novan tidak membaca seperti biasa?" tanya Maria, di hari terakhir pertemuan mereka.
"Lebih asik membaca kisahmu. Lebih menarik dan menyenangkan," kata pria itu, tersenyum lebar.
"Ah, membaca cerita saya kan hanya beberapa menit saja, sudah selesai," kata Maria.
"Tidak semudah itu, Maria. Aku sepertinya memiliki rencana untuk unggahan-unggahanmu itu."
"Apa itu?" tanya Maria tertarik.
"Selesaikan dulu tugas yang aku berikan."
"Hah! Kenapa begitu, kah?"
"Setiap keinginan, harus ada usaha yang dilakukan untuk mendapatkannya, bukan?"
"Ah, Pak Novan tidak asik!" kata Maria, meniru bahasa anak-anak yang sering didengarnya. Pak Novan tertawa, kembali pada laptopnya yang sedari tadi terbuka.
"Ayo, cepat selesaikan tugasnya. Semakin cepat selesai, semakin cepat juga kamu tahu apa yang sedang kulakukan dengan karyamu."
"Sa bukan murid sekolah yang harus diberi banyak tugas, toh."
"Kamu kan berguru padaku. Jadi, sudah sepantasnya seorang guru memberikan tugas pada muridnya, kan."
"Ah!" Maria menghentakkan kaki dengan kesal.
Seiring dengan ingatannya yang sedang kesal pada Pak Novan, Maria juga membanting penanya ke atas kertas yang terbuka sejak dua jam yang lalu di hadapannya, dan masih tetap kosong.
Ting!
Maria berdiri dari tempatnya, meraih ponsel di atas meja.
Sudah sejauh mana progresnya?Sebuah Nomor tak dikenal mengirim pesan pada Maria.
Ini siapa? balas Maria.
Siapa lagi yang memberimu tugas?
Jantung Maria berdegup kencang, hingga mampu menggetarkan kaca jendela kamarnya.
Pak Novan? Maria bertanya memastikan, jemarinya bergetar hebat saat mengetikkan balasan.
Betul. Jadi, sampai mana progres penulisannya, Maria?
Oh. Sedikit lagi. Tulis Maria, berbohong. Bukan sedikit lagi. Tapi sebenarnya, sedikitpun dia belum mengerjakannya.
"Aah!" Desah Maria, membanting tubuhnya kembali ke atas tempat tidur.
Baiklah, selamat bekerja. Jangan terlalu lelah, istirahat tetap perlu dan jangan lupa makan. Oke?
Maria menelan ludah dengan sangat kasar, sebelum mengetik ucapan terima kasih dengan tangan yang semakin gemetar hebat.
Dan malam itu, Maria gunakan untuk mengejar ceritanya, hingga tanpa ia sadar mentari pagi sudah tinggi di atas peraduan dan bibinya mengetuk pintu agar dia bangun.
Maria geragapan membuka pintu kamar untuk bibinya. "Ya, Bibi. Maafkan Maria bangun kesiangan, eh," kata Maria, muncul dengan wajah awut-awutan.
"Tidak apa-apa, Maria. Sebetulnya ini masih pagi, kok. Tidur saja lagi habis ini. Bibi cuma mau pamit soalnya ada acara di sekolah adikmu pagi ini. Paman tidak pulang selama dua hari, dan bibi mungkin pulang agak malam. Tapi sudah ada makanan di dapur. Kamu jangan pergi jauh-jauh, kalau keluar jangan lupa kunci pintu yang benar, ya. Maaf, bibi harus meninggalkanmu di rumah sendirian."
"Oh." Maria menatap bingung. "Ya, Bibi. Maria akan jaga rumah. Hari ini tidak ada rencana kemana-mana. Bibi tenang saja, toh."
Wanita itu mengangguk, tersenyum ramah pada Maria sebelum meminta gadis itu mengunci pintu saat mereka pergi berangkat.
Tidak pergi ke dapur untuk makan atau mandi, Maria kembali ke kamar tidurnya dan meraih selembar kertas yang sudah digelutinya semalaman penuh. Maria membanting tubuhnya kembali rebah di atas tempat tidur, tangannya menggenggam kedua ujung kertas dan mulai membaca ulang tulisannya.
Wamena, 1990. SD Inpres Walaik.
Kami semua bersorak sorai saat mendapatkan baju seragam baru dari Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, gratis. Ibu guru membagikannya kepada kami semua, dan meminta kami untuk mengenakannya setiap kali pergi ke sekolah.
Tanpa rasa malu kami semua langsung mengenakan baju seragam berwarna merah dan putih itu, di dalam kelas. Kemeja putih bersih dan rok berwarna merah. Aku mematut diriku di depan cermin tinggi yang dibawa oleh ibu guru dari rumahnya, cantik.
Siang itu aku berlarian pulang dengan perasaan bangga. Memakai seragam sekolah baru, rasanya seperti menyandang sebuah mahkota raja di kepala. Senang, bangga, dan aku merasa menjadi sosok yang besar dan hebat.
"Mamak! Korang lihat, sa pu seragam sekolah baru. Hebat, toh!" teriakku, berlarian diantara ilalang liar, menuju tempat mamak sedang menggendong wam di bawah anak tangga kayu rumah honai kami, bersama mamak-mamak yang lain. Aku berdiri dengan bangga di hadapan mamak, kedua tanganku terentang lebar agar semua orang bisa melihat bajuku yang baru dan sangat bagus.
"Korang dapat dari mana, kah, Maria?" tanya mamak Jill yang duduk paling dekat dengan mamak.
"Pemerintah Kabupaten Jayawijaya kasih kitorang gratis, semuanya, Bibi."
"Jill juga dapat, kah?"
"Kitorang yang bersekolah su dapat semua, Bibi."
"Ah, baguslah. Mana anak itu pi sekarang?"
"Main di sungai," teriakku, kembali berlari menjauhi mamak, menyeberangi ladang ilalang dengan rumput setinggi pinggang, terus berlari menyusuri tepian hutan hingga aku tiba di tepi sungai tempat anak-anak bermain. Seperti biasa, anak-anak berlarian, berkejaran, bahkan bergulingan di lumpur. Tetapi hari ini aku tidak bergabung bersama mereka. Melihat baju mereka yang sudah kotor penuh lumpur, perlahan kakiku melangkah menjauh.
Aku naik ke atas pohon dengan sangat berhati-hati, agar tidak mengotori baju baruku. Di atas sana, aku membuka buku yang diberikan Ibu Guru Winar padaku, beberapa pekan lalu. Sebuah buku cerita bergambar dengan tulisan besar-besar, membuatku tertarik. Sekarang aku sudah sangat pintar membaca. Bukan hanya membaca buku cerita anak seperti ini, aku bahkan sudah bisa membaca beberapa sampul buku milik Bapak dan Ibu guru, sampai ke bagian tulisan-tulisan yang terkecil sekalipun, aku bisa. Ibu guru bilang, aku pasti akan menjadi anak yang hebat, kelak kalau aku sudah besar.
"Maria! Korang tra ikut pulang, kah? Hari su mulai gelap," teriak Bernard, memanggilku dari bawah pohon. Aku menunduk menatap beberapa kepala yang mendongak menatapku, lalu mengangguk. Aku melompat turun, bergabung bersama mereka di perjalanan pulang.
"Korang kenapa tra pi main tadi, kah, Maria?" tanya Yose, berjalan merendengi langkahku.
"Sa sedang baca buku cerita dari Ibu Guru Winar, saja, eh."
"Buku cerita apa, kah?"
"Prajurit naga yang menjaga telur angsa."
Teman-temanku tertawa, menertawakanku yang mempercayai cerita-cerita kocak yang bagi mereka sama sekali tidak masuk akal. Memang, buku-buku milik Ibu Guru Winar sering kali kurang masuk di akal, karena banyak menceritakan tentang hewan yang berkomunikasi seperti manusia. Tetapi Ibu Guru mengatakan, cerita seperti itu disebut dongeng fabel, dan yang harus diambil adalah hikmah di dalam ceritanya, bukan keanehannya.
Malam itu hujan turun dengan sangat lebat. Tidur dengan berbaju seragam memang hangat, tetapi aku takut bajuku kotor terkena lemak babi yang dibalurkan ke tubuh-tubuh kami untuk menjaga suhu tubuh kami tetap hangat. Aku melepas baju seragamku, menggantinya dengan baju dari kulit kayu, lalu memasukkan baju baru merah putihku ke dalam tas noken.
"Kenapa korang lepas itu baju, Maria? Tidur pakai itu saja su hangat."
"Sa tra mau, Mamak. Nanti kotor, toh."
"Ah, kotor dari mana."
"Maria pakai ini saja," kataku membantah, kemudian meringkuk tidur di samping mamak. Saat keesokan harinya aku terbangun, tubuhku sudah berseragam lengkap. Pantas saja malam tadi rasanya begitu hangat meski hujan badai menerpa seluruh bangunan hingga bergetar hebat. Ternyata ada yang sudah memakaikan baju seragam ke tubuhku, membuatku merasa hangat.
Aku berdiri dengan kesal. Baju baruku menjadi penuh warna hitam karena lemak babi yang ada di tubuhku. Baju itu menjadi kotor, seperti milik anak-anak lain yang kemarin bermain lumpur di tepi sungai.
"Mamak! Kenapa korang kasih pakai baju seragam waktu sa tidur, kah?" teriakku marah, menghampiri Mamak yang sedang membakar ubi di bawah.
"Ada apa korang teriak-teriak begitu, kah, Maria?!" Mamak menoleh padaku, memelotot.
"Mama kasi pakai baju seragam sekolah ini, kah?!" tanyaku, masih dengan nada marah.
"Memang kenapa, eh," tanya Mamak, semakin kesal.
"Korang lihat, eh, sa pu baju su kotor sekali, terkena lemak wam!"
"Kotor macam apa, kah?! Mamak pakaikan lemak wam untuk korang tidur biar tra kedinginan. Korang trada rasa terima kasih korang sama mamak, eh, baju saja ko ributkan sampe teriak-teriak!"
"Trada seperti itu, eh, Mamak. Tetapi sa pu baju untuk sekolah, eh!"
"Kawan-kawan ko pun sekolah, pakai baju itu, Maria."
"Tapi sa trada mau ini kotor, mamak ee. Baju sekolah su kasih bersih sama ibu guru, toh."
"Mamak bakar pula korang pu baju seragam itu nanti, eh!" teriak Mamak mengancam, menunjukku murka.
"Mamak tra begitu, eh. Kitorang semua pi ke sekolah pakai baju seragam, toh."
"Korang trada pi ke sekolah, sudah. Di rumah saja, ko bantu-bantu mamak bakar ubi dan rawat wam!"
Sungguh sebuah kesalahan besar, aku melawan mamak. Seharusnya aku mengalah dan membiarkan saja seragamku kotor, karena setelah meneriakkan kata pamungkasnya, mamak menarik tubuhku dan merobek seragam baruku dengan marah, melemparnya ke atas perapian.