Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #13

Asisten Kepala Hutagama

Sepanjang usaha mengubah kisah kehidupan Maria menjadi sebuah buku, membuat hubungan Maria dan Pak Novan menjadi semakin dekat. Namun begitu, Maria sedikit menyesali kebodohannya yang telah menumpahkan tidak hanya kebutuhannya belajar, akan tetapi sekaligus seluruh perasaannya pada pria muda, tampan, smart, dan penuh perhatian itu. Sore itu, hampir saja Maria membuat keputusan yang akan mengacaukan seluruh kehidupannya untuk kedua kalinya, hanya karena sebuah rasa kecewa.

Maria duduk seorang diri di salah satu food center mall di pusat kota. Ia baru saja membeli sebuah buku di toko buku mall yang sama, sebelum memutuskan untuk duduk seorang diri di sana, menikmati segelas es kopi sambil membaca buku barunya.

Baru empat halaman Maria membaca, perhatiannya teralihkan pada sepasang manusia yang baru memasuki restoran, dan mengambil tempat lurus dengan pandangan matanya. Pak Novan, dengan seorang gadis manis berhijab yang terlihat begitu manja. Dia cantik, mungil, dan terlihat energik. Dan sialnya lagi, Maria mengenali betul siapa gadis itu. Itu remaja SMA di sekolah Maria. Meski anak itu jarang sekali menampakkan diri di perpustakaan umum sekolah kecuali untuk sebuah tugas, tetapi Maria tahu betul dia ada, karena keduanya pernah terlibat dalam satu pencarian buku yang dibutuhkan oleh gadia itu, tetapi tidak ada di raknya padahal data di komputer Maria tidak menunjukkan buku itu sedang di pinjam. Itu sebuah kepanikan pertama bagi Maria, selama ia bekerja di Perpustakaan umum sekolah.

Perhatian Maria teralihkan sementara. Maria menunduk diatas bukunya, namun beberapa kali matanya terpaksa menoleh pada dua sosok yang sangat ia kenal. Konsentrasinya buyar. Isi buku yang dibacanya tidak ada satupun yang mampir di kepalanya, hanya lewat dimata saja.

"Pak Novan ada hubungan apa, kah, sama anak SMA itu. Pacaran, kah?" Maria bertanya-tanya dalam hati. Pria itu terlihat begitu peduli pada gadis remaja di depannya. Menusukkan sedotan minuman untuknya, membukakan bungkus burger yang bahkan tidak sulit sama sekali untuk dilakukannya sendiri.

"Manja sekali!" bisik Maria kesal.

Berkali-kali Maria berusaha berkonsentrasi pada bukunya, tetapi nyatanya usahanya untuk mengalihkan perhatian dari Pak Novan, tak semudah dirinya membalik setiap lembar-lembar kertas di hadapannya. Hatinya terasa membengkak berkali-kali lipat, giginya mengertak kuat, dan nafasnya begitu berat. Terlebih saat ia mencuri pandang sekali lagi dari bukunya, tepat saat itu, gadis cilik itu menjatuhkan sesuatu dari atas meja. Sebelum dia sepenuhnya membungkuk untuk memungut barangnya, Pak Novan telah mengulurkan tangan untuk mencegahnya membungkuk terlalu dalam. Satu tangannya menahan ujung meja sementara gadis itu kembali mendongak, setelah dia kembali ke posisinya dengan benar, barulah Pak Novan membungkuk penuh dan memungut selembar kertas berwarna merah yang terjatuh di atas lantai di samping mereka.

Sederhana memang, tetapi tidak semua laki-laki melakukan itu, dan itu membuat Maria ingin berteriak marah. Ia tahu Pak Novan memang tipe pria yang senang memberikan perhatian-perhatian kecil dan sederhana pada perempuan, termasuk dengannya. Dan justru karena itulah Maria merasa dipermainkan. Perhatian manis yang selama ini Maria pikir dia terima hanya untuknya, nyatanya kini pria itu berikan juga pada kekasihnya di sana, tepat di depan matanya.

Maria bangkit dengan kesal. Gelas kopinya masih bersisa setengah, dan makanannya masih belum tersentuh. Tetapi ia terlalu marah untuk terus berada di sana, dengan pemandangan yang dapat lebih melukai hatinya lagi jika diteruskan lebih lama.

Gadis itu berjalan cepat melewati Pak Novan dan murid kesayangan yang sibuk memakan makanannya sambil menonton video melalui ponsel yang tersandar di depan gelas minumannya, tanpa menoleh, apalagi menyapa. Ia berjalan begitu saja melewati keduanya, seolah tak pernah mengenalnya sama sekali.

"Pergi makan dengan kekasihnya, tetapi sibuk menonton hp sendiri. Makan dengan menonton video, sementara Pak Novan menungguinya seperti pria tak berguna. Mau-maunya pria itu berkencan dengan seorang remaja yang disibukkan dengan ponsel di hadapannya," gerutu Maria, berjalan menjauh dari food center, menuju tangga eskalator.

Belum jauh kakinya melangkah, ponsel Maria berdenting. Maria mengintip notifikasi yang muncul di atas layar. Nama Pak Novan muncul di atas sebuah tulisan pesan.

Di mana?

Maria refleks menoleh ke arah ia baru saja keluar, memastikan pria itu tidak sedang mengawasinya dari tengah-tengah pintu.

Kenapa? tanya Maria, malas mejawab langsung, meskipun jantungnya tiba-tiba berdetak kencang saat membaca pesan Pak Novan, takut pria itu tahu ia baru saja keluar dari dalam resto yang sama dengannya.

Oh, tidak apa-apa. Aku hanya melihat seseorang yang hampir mirip sepertimu. Tapi mungkin aku salah.

Maria tidak ingin membalas pesan Pak Novan, tetapi ia merasa itu tidak sopan. Pria itu pasti sudah melihatnya membaca pesan, dan kalau ia mengabaikannya, sama saja dengan ia tidak membuka pintu untuk tamu yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya.

Benarkah? Akhirnya, Maria memilih menjawab singkat.

Tidak. Mungkin aku hanya sedang membayangkanmu, membuatku salah saat aku melihat seseorang, membayangkannya seperti dirimu. Haha.

Maria memutar bola matanya dengan kesal. Kakinya melangkah menaiki eskalator, bergerak turun menjauhi tempat di mana Pak Novan sedang bersama wanitanya. "Sudah duduk bersama perempuan, masih juga memikirkan perempuan lain," gerutu Maria dalam hati.

Duduk di sebuah coffee shop lain di bagian luar lantai dua mall yang sama, Maria kembali memesan segelas es kopi dan camilan. Ia mengambil duduk di ujung tepi paling dekat dengan jendela kaca, tatapannya tajam mengawasi keluar, cemas kalau-kalau matanya tiba-tiba menangkap sosok Pak Novan melewati tempatnya.

Kamu sedang apa, Maria?

Ponsel Maria kembali berdenting, sesaat setelah dirinya berhasil mengembalikan konsentrasinya pada lembar-lembar kertas di genggamannya. Maria menarik nafas panjang, nyaris berteriak saking kesalnya.

Minum kopi. Maria menjawab asal.

Di rumah?

Memangnya Pak Novan bertemu sa dimana, kah? tanya Maria, mencoba memancing Pak Novan, penasaran dengan kejujuran pria itu padanya.

Di food center Mall Centra.

Sendirian?

Tidak. Dengan adik.

Maria tertegun membaca balasan pesan Pak Novan. Adik. Benarkah gadis manja itu hanya seorang adik.

Memangnya Pak Novan punya adik, kah? tanya Maria iseng.

Ya. Dua.

Maria menelan ludah dengan susah payah, didorongnya menggunakan beberapa teguk minuman hingga tenggorokannya terasa longgar.

Ada berita baik tentang buku saya, kah, Bapak? tanya Maria, mencoba mengalihkan pembicaraan tentang adiknya, meski di dalam kepala Maria masih terbayang-bayang wajah remaja SMA yang duduk bersama Pak Novan.

Ada. Sebenarnya aku perlu untuk menemuimu, tadi, tetapi adikku ingin diantar jalan-jalan ke mall. Jadi aku terpaksa menunda untuk menghubungimu. Tetapi jalan dengan adikku selalu saja membosankan. Dia sibuk makan, sambil menonton ponselnya, sementara aku dibiarkannya seperti bodyguard yang harus menjaganya baik-baik.

Berita baik apa, kah, Bapak? tanya Maria bersemangat. Demi mendengar adanya berita baik tentang bukunya, Maria seketika lupa sama sekali pada rasa kesalnya terhadap Pak Novan, sebelumnya, dan tak peduli sama sekali pada keluhan oanjang pria itu tentang kelakuan adiknya, yang memang sudah dilihat sendiri oleh Maria saat ia berjalan keluar food center, tadi.

Ada dua penerbit yang menawar bukumu untuk di cetak. Aku tidak bisa menentukannya sendiri. Aku membutuhkanmu untuk mengambil keputusan, karena buku itu milikmu.

Sa ada di coffee shop lantai satu.

Coffee Shop?

Ya.

Mall Centra?

Betul. Sa bisa naik sekarang kalau Pak Novan ingin.

Tidak perlu. Biar aku saja yang turun. Kamu tunggu di sana saja, Maria.

Lima menit kemudian ....

"Maaf kalau aku lama, Maria." Pria muda dengan penampilan santai namun terkesan rapi itu menarik kursi di depan meja Maria.

"Pak Novan. Kemana adiknya?" tanya Maria.

"Aku mengantarnya ke bioskop. Membelikannya tiket dan minuman dulu, sebelum kemari."

"Dia murid SMA, kan?" tanya Maria, lupa dirinya sedang berpura-pura tidak bertemu dengan mereka, tadi.

Pak Novan mengerutkan kening. "Jadi benar kamu yang keluar dari food center, tadi?"

Wajah Maria bersemu merah.

"Kenapa kamu kabur dari kami?" tanya Pak Novan, tatapan matanya tajam menusuk ke dalam mata Maria, membuat Maria gelagapan, sibuk mencari minumannya dan cepat-cepat menghisap air yang tersisa di gelas, menggunakan sedotan.

"Kamu pikir Shinta kekasihku?"

"Sa pikir ... Sa ... hanya takut mengganggu, Pak Novan. Sa tra ingin Bapak malu, jalan sama remaja SMA, toh," jawab Maria, mencoba berkilah.

Pak Novan menatap curiga, masih menembus lurus melalui tatapan Maria, masuk ke dalam kepalanya dan mengobrak abrik isinya demi menemukan sebuah kebenaran. Satu menit kemudian, Pak Novan tersenyum miring. "Yang benar saja aku memacari bocah SMA, sementara ada wanita yang jauh lebih menarik di mataku dari pada seorang bocah ingusan seperti Shinta," katanya.

"Sa trada maksud merendahkan, Bapak. Sa hanya tidak mau mengganggu saja, eh. Sa mana tahu Pak Novan dan Shinta satu darah."

Pak Novan menggeleng, tatapan matanya masih lebih menusuk setiap kali bertemu mata Maria, dari pada biasanya. Itu membuat Maria merasa canggung.

"Lupakan," katanya. "Jadi, mau membahas tentang bukumu?"

"Penerbit mana yang su terima naskah saya?" tanya Maria, menyambar umpan baru yang ditawarkan Pak Novan, demi terbebas dari tatapan meresahkan itu. Berkali-kali Maria harus memperbaiki posisi duduknya karena salah tingkah melihat cara Pak Novan menatapnya.

"Satu penerbit Mayor, satu penerbit Indie dengan paket penerbitan free."

"Mana yang terbaik menurut Bapak?"

"Maria, maaf." Pak Novan menoleh ke arah beberapa kursi yang dipenuhi pasangan muda mudi. "Aku agak kurang menyukai sebutan resmimu itu di sini. Kesannya, kamu sangat menuakan aku, padahal kita sama-sama tahu usia kita tidak terpaut terlalu jauh."

"Terus sa harus bagaimana, kah?" tanyaku, menatap bingung.

"Panggil Novan saja, Maria."

"Tidak mau, Pak. Tidak sopan itu, toh."

"Keraskan saja panggilan Pak itu, sekali lagi, Maria. Biar semua orang mengira aku sudah tua bangka, dan kamu masih belia," kata Pak Novan sewot.

Maria menatap semakin bingung. "Tapi sa tak boleh kasi panggil Bapak dengan nama saja, toh," kata Maria berbisik, memohon dengan iba.

"Bagaimana kamu memanggil teman-temanmu yang usianya jauh di atasmu, di Wamena?"

"Kakak."

"Kalau begitu panggil kakak saja, bisa, kan?"

"Kakak?"

"Hm. Keberatan?"

Matia menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa seperti sarang kutu rambut. Gatal, menggelitik.

"Nah, jadi apakah sekarang kita masih akan membahas tentang penyebutan penggilan, atau kita akan melanjutkan masalah bukumu?"

Maria menatap dengan bimbang, kemudian mengangguk. "Buku," katanya dengan suara tercekat.

"Bagus. Sekarang akan aku jelaskan perbedaannya, Maria. Antara apa yang disebut dengan penerbit mayor dan penerbit indie. Tetapi sebelum itu, aku ingin tahu tujuan utama kamu dengan cerita yang kamu terbitkan di pasaran."

"Bagaimana maksudnya itu, P–" Maria mengerem kalimatnya tepat waktu, namun tetap menghindari panggilan barunya pada Pak Noval.

"Apa yang kamu cari dari bukumu, kalau itu menjadi bacaan banyak orang."

"Sa masih belum mengerti," kata Maria.

"Uang?"

"Ah, tidak. Sa tidak mencari uang dari buku itu."

"Jadi?"

"Sa hanya ingin orang tahu, guru su banyak berjasa buat kitorang pintar. Sa ingin mereka menyadari, sebelum mereka pukul guru yang cubit anak mereka, dulu mereka su kena pukul sama bapak ibu guru, dan sekarang su jadi orang hebat. Tetapi jauh dari semua itu, sa ingin buku saya dikenal banyak orang, dan sampai ke tangan ibu guru Winar."

"Jadi tujuan utama kamu dari buku ini adalah menemukan ibu gurumu itu, bukan?"

"Betul, Ba–"

"Kakak."

Maria mengangguk kaku.

"Terkenal. Benar?"

"Betul."

"Uang yang didapat, tak masalah tidak terlalu besar, kan?"

"Tra masalah, P–Kakak." Suara Maria terdengar mencicipi seperti burung pipit kecil. Malu sekali rasanya, harus mengubah cara memanggil seseorang yang ia hormati sebagai seorang guru yang hebat, menjadi seperti teman biasa.

"Terima kasih," jawab Noval, tersenyum ramah.

Lihat selengkapnya