Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #14

Asisten Kepala Hutagama

Sepanjang usaha mengubah kisah kehidupan Maria menjadi sebuah buku, membuat hubungan Maria dan Pak Novan menjadi semakin dekat. Namun begitu, Maria sedikit menyesali kebodohannya yang telah menumpahkan tidak hanya kebutuhannya belajar, akan tetapi sekaligus seluruh perasaannya pada pria muda, tampan, smart, dan penuh perhatian itu. Sore itu, hampir saja Maria membuat keputusan yang akan mengacaukan seluruh kehidupannya untuk kedua kalinya, hanya karena sebuah rasa kecewa.

Maria duduk seorang diri di salah satu food center mall di pusat kota. Ia baru saja membeli sebuah buku di toko buku mall yang sama, sebelum memutuskan untuk duduk seorang diri di sana, menikmati segelas es kopi sambil membaca buku barunya.

Baru empat halaman Maria membaca, perhatiannya teralihkan pada sepasang manusia yang baru memasuki restoran dan mengambil tempat lurus sejajar dengan pandangan matanya. Pak Novan, dengan seorang gadis manis berambut panjang yang terlihat begitu manja. Dia cantik, mungil, dan terlihat energik. Dan sialnya lagi, Maria mengenali betul siapa gadis itu. Itu remaja SMA di sekolah Maria. Meski anak itu jarang sekali menampakkan diri di perpustakaan umum sekolah kecuali untuk sebuah tugas, tetapi Maria tahu betul dia ada, karena keduanya pernah terlibat dalam satu pencarian buku yang dibutuhkan oleh gadis itu, yang tidak berada di rak-nya, padahal data di komputer Maria tidak menunjukkan buku itu sedang di pinjam. Itu adalah sebuah kepanikan pertama bagi Maria, selama ia bekerja di Perpustakaan umum sekolah.

Maria kembali menunduk diatas bukunya, namun beberapa kali matanya terpaksa menoleh pada dua sosok di depannya. Konsentrasinya buyar. Isi buku yang dibacanya tidak ada satupun yang mampir di kepalanya, hanya lewat dimata saja.

"Pak Novan ada hubungan apa sama anak SMA itu, kah? Pacaran?" Maria bertanya-tanya dalam hati. Pria itu terlihat begitu peduli pada gadis remaja di depannya. Menusukkan sedotan minum untuknya, membukakan bungkus burger yang bahkan tidak sulit sama sekali untuk dilakukannya sendiri, sementara gadis cilik itu sibuk menggenggam dan memainkan ponselnya.

"Manja sekali!" bisik Maria kesal.

Berkali-kali Maria berusaha berkonsentrasi pada bukunya, tetapi nyatanya usahanya untuk mengalihkan perhatian dari Pak Novan, tak semudah dirinya membalik setiap lembar-lembar kertas di hadapannya. Hatinya terasa membengkak berkali-kali lipat, giginya mengeretak kuat, dan nafasnya begitu berat. Terlebih saat ia mencuri pandang sekali lagi dari bukunya, tepat saat itu, gadis cilik itu menjatuhkan sesuatu dari atas meja. Sebelum dia sepenuhnya membungkuk untuk memungut barangnya, Pak Novan telah mengulurkan tangan untuk mencegahnya membungkuk terlalu dalam. Satu tangannya menahan ujung meja sementara gadis itu kembali mendongak. Setelah kembali ke posisinya dengan benar, barulah Pak Novan membungkuk penuh dan memungut selembar kertas berwarna merah yang terjatuh di atas lantai di samping mereka.

Sederhana memang, tetapi tidak semua laki-laki melakukan itu, dan itu membuat Maria ingin berteriak marah. Ia tahu Pak Novan memang tipe pria yang senang memberikan perhatian-perhatian kecil dan sederhana pada perempuan, termasuk dengannya. Dan justru karena itulah Maria merasa dipermainkan. Perhatian manis yang selama ini Maria pikir dia terima hanya untuknya, nyatanya kini pria itu berikan juga pada kekasihnya di sana, tepat di depan matanya.

Maria bangkit dengan kesal. Gelas kopinya masih bersisa setengah, dan makanannya masih belum tersentuh sama sekali. Tetapi ia terlalu marah untuk terus berada di sana, dengan pemandangan yang dapat lebih melukai hatinya lagi jika diteruskan lebih lama.

Gadis itu berjalan cepat melewati Pak Novan dan murid kesayangan yang sibuk memakan makanannya sambil menonton video melalui ponsel yang tersandar di depan gelas minumannya, tanpa menoleh, apalagi menyapa. Ia berjalan begitu saja melewati keduanya, seolah tak pernah mengenalnya sama sekali.

"Pergi makan dengan kekasihnya, tetapi sibuk menonton ponsel sendiri. Makan dengan menonton video, sementara Pak Novan menungguinya seperti pria tak berguna. Mau-maunya dia berkencan dengan seorang remaja yang disibukkan dengan ponsel di hadapannya seperti itu," gerutu Maria, berjalan menjauh dari food center, menuju tangga eskalator.

Belum jauh kakinya melangkah, ponsel Maria berdenting. Maria mengintip notifikasi yang muncul di atas layar. Nama Pak Novan muncul di atas sebuah tulisan pesan.

Di mana?

Maria refleks menoleh ke arah pintu dimana ia baru saja keluar, memastikan bahwa pria itu tidak sedang mengawasinya dari sana.

Kenapa? Maria balas bertanya, setelah memastikan pria itu tidak berada di sana, meskipun jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang.

Oh, tidak apa-apa. Aku hanya melihat seseorang yang mirip sepertimu. Tapi mungkin aku salah.

Maria tidak ingin membalas pesan Pak Novan, tetapi ia merasa itu tidak sopan. Pria itu pasti sudah melihatnya membaca pesan, dan kalau ia mengabaikannya, sama saja dengan ia tidak membuka pintu untuk tamu yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya.

Benarkah? Akhirnya, Maria memilih menjawab singkat.

Tidak. Mungkin aku hanya sedang memikirkanmu, membuatku salah saat aku melihat seseorang, membayangkannya seperti dirimu. Haha.

Maria memutar bola matanya dengan kesal. Kakinya melangkah menaiki eskalator, bergerak turun menjauhi tempat di mana Pak Novan sedang bersama wanitanya. "Sudah duduk bersama perempuan, masih juga memikirkan perempuan lain," gerutu Maria dalam hati.

Duduk di sebuah coffee shop lain di bagian luar lantai dua mall yang sama, Maria kembali memesan segelas es kopi dan camilan. Ia mengambil duduk di ujung tepi paling dekat dengan jendela kaca, tatapannya tajam mengawasi keluar, cemas kalau-kalau matanya tiba-tiba menangkap sosok Pak Novan melewati tempatnya. Jantungnya masih belum berdetak normal, tetapi nafasnya lebih ringan.

Kamu sedang apa, Maria?

Ponsel Maria kembali berdenting, sesaat setelah dirinya berhasil mengembalikan konsentrasinya pada lembar-lembar kertas di genggamannya. Maria menarik nafas panjang, nyaris berteriak saking kesalnya.

Minum kopi.

Di rumah?

Tidak.

Di mana?

Coffe shop.

Sendiri?

Maria menghela nafas panjang. Memangnya Pak Novan bertemu sa dimana, kah? tanya Maria, mencoba memancing kejujuran pria itu.

Di food center Mall Centra.

Sedang apa?

Makan.

Sendirian?

Tidak. Dengan adik.

Maria tertegun membaca balasan pesan Pak Novan. Adik. Benarkah gadis manja itu hanya seorang adik.

Memangnya Pak Novan punya adik, kah? tanya Maria iseng.

Ya. Dua.

Maria menelan ludah dengan susah payah, didorongnya menggunakan beberapa teguk minuman hingga tenggorokannya terasa longgar.

Ada berita baik tentang buku saya, kah, Pak? tanya Maria, mencoba mengalihkan pembicaraan tentang adiknya, meski di dalam kepala Maria masih terbayang-bayang wajah remaja SMA yang duduk bersama Pak Novan.

Ada. Sebenarnya aku perlu untuk menemuimu, tadi, tetapi adikku ingin diantar jalan-jalan ke mall. Jadi aku terpaksa menunda untuk menghubungimu.

Berita baik apa, kah? tanya Maria bersemangat. Demi mendengar adanya berita baik tentang bukunya, Maria seketika lupa sama sekali pada rasa kesalnya terhadap Pak Novan, sebelumnya.

Ada dua penerbit yang menawar bukumu untuk di cetak. Aku tidak bisa menentukannya sendiri. Aku membutuhkanmu untuk mengambil keputusan, karena buku itu milikmu.

Maria berdiri mendadak, matanya membelalak menatao ponsel di tangannya.

Sa ada di coffee shop lantai dua.

Coffee Shop?

Ya.

Mall Centra?

Betul. Sa bisa naik sekarang kalau Pak Novan ingin.

Tidak perlu. Biar aku saja yang turun. Kamu tunggu di sana saja, Maria.

Lima menit kemudian ....

"Maaf kalau aku lama, Maria." Pria muda dengan penampilan santai namun terkesan rapi itu menarik kursi di depan meja Maria.

"Pak Novan. Kemana adiknya?" tanya Maria, menatap sekeliling.

"Aku mengantarnya ke bioskop. Membelikannya tiket dan minuman dulu, sebelum kemari."

"Dia murid SMA, kan?" tanya Maria, lupa dirinya sedang berpura-pura tidak bertemu dengan mereka, tadi.

Pak Novan mengerutkan kening. "Jadi benar kamu yang keluar dari food center, tadi?"

Wajah Maria bersemu merah.

"Kenapa kamu kabur dari kami?" tanya Pak Novan langsung pada titik sensitifnya, tanpa merasa perlu untuk berbasa-basi seolah dirinya tidak tahu kenapa Maria pergi diam-diam. Tatapan matanya tajam menusuk ke dalam mata Maria, membuat gadis itu gelagapan, sibuk mencari minumannya dan cepat-cepat menghisap air yang tersisa di gelas menggunakan sedotan.

"Kamu pikir Shinta kekasihku?" tembaknya lagi, saat Maria tidak kunjung menjawab.

"Tidak. Sa pikir ... Sa ... hanya takut mengganggu, Pak Novan. Sa tra ingin Bapak malu karena su jalan sama remaja SMA, toh," jawab Maria, mencoba berkilah.

Pak Novan menatap curiga, masih menembus lurus melalui tatapan mata Maria, masuk ke dalam kepalanya dan mengobrak-abrik isinya demi menemukan sebuah kebenaran.

Satu menit kemudian, pria dengan lesung pipit yang menggoda itu tersenyum miring. "Yang benar saja aku memacari bocah SMA, sementara ada wanita yang jauh lebih menarik di mataku dari pada seorang bocah ingusan seperti Shinta," katanya.

"Sa trada maksud merendahkan, Bapak. Sa hanya tidak mau mengganggu saja, eh. Sa mana tahu Pak Novan dan Shinta satu darah."

Pak Novan menggeleng, tatapan matanya masih lebih menusuk setiap kali bertemu mata Maria, dari pada biasanya. Itu membuat Maria merasa canggung.

"Jadi, Bapak ... Penerbit mana yang su terima naskah saya, kah?" tanya Maria, mencoba mengalihkan perhatian dari tatapan meresahkan itu. Berkali-kali ia harus memperbaiki posisi duduknya karena salah tingkah melihat cara Pak Novan menatapnya.

"Satu penerbit Mayor, satu penerbit Indie dengan paket penerbitan free," jawab Pak Novan datar.

"Mana yang terbaik menurut Bapak?"

"Maaf, Maria." Pak Novan menoleh ke arah beberapa kursi yang dipenuhi pasangan muda mudi, dengan tatapan dingin merrsahkan. "Aku agak kurang menyukai sebutan resmi itu di sini. Kesannya kamu sangat menuakan aku, padahal kita sama-sama tahu usia kita tidak terpaut terlalu jauh."

Maria menatap bingung. "Terus sa harus bagaimana, kah?" tanyanya.

"Panggil Novan saja, Maria."

"Tra bisa, Bapak ee. Tidak sopan itu, toh," jawab Maria, membelalak kaget.

"Ya, ya ... teriakkan saja panggilan 'Bapak' itu, sekali lagi, Maria. Biar semua orang mengira aku sudah tua bangka, sementara kamu masih muda belia," kata Pak Novan sewot.

Maria menatap semakin bingung. "Tapi sa tra boleh kasi panggil Bapak dengan nama saja, toh. Tidak sopan, eh," kata Maria berbisik, memohon dengan iba.

"Bagaimana caramu memanggil teman-temanmu yang usianya jauh di atasmu, saat di Wamena?"

"Kakak ee."

"Kalau begitu panggil kakak saja, bisa, kan?"

"Kakak?"

"Hm. Keberatan?"

Maria menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa seperti sarang kutu rambut. Gatal, menggelitik.

"Bagus." Pak Novan mengangguk puas melihat Maria yang terdiam kebingungan. "Sekarang akan aku jelaskan padamu tentang perbedaan dua penerbit yang meminang bukumu, Maria. Tetapi sebelum itu, aku ingin tahu tujuan utama kamu dengan cerita yang akan kamu terbitkan di pasaran ini."

"Bagaimana maksudnya itu, P–" Maria mengerem kalimatnya tepat waktu, namun tetap menghindari panggilan barunya pada Pak Novan.

"Apa yang kamu harapkan dari bukumu, kalau itu menjadi bacaan banyak orang."

"Sa masih belum mengerti, eh," kata Maria.

"Uang?"

"Ah, tidak. Sa tidak mencari uang dari buku itu."

"Jadi?"

"Sa hanya ingin orang tahu tentang kisah ibu guru di Wamena dulu. Sa ingin mereka hargai guru sebagai orang yang sudah buat kitorang pintar dan sukses sekarang. Tetapi jauh dari semua itu, sa ingin buku ini dikenal banyak orang agar suatu saat bisa sampai ke tangan ibu guru Winar. Sa ingin ibu guru juga kenang kami di Wamena."

"Jadi ... Singkatnya, tujuan utama kamu dari buku ini adalah menemukan ibu gurumu itu, bukan?"

Lihat selengkapnya