Seperti apa yang Novan perkirakan sebelumnya, Novel Maria berhasil tercetak dalam waktu singkat, berkat campur tangan Gufron. Pria itu, seperti yang sudah diduganya sejak pertama kali Novan bertemu dengannya, selalu berusaha mengambil hati Maria dengan segala cara. Mulai dari membawa Maria makan di tempat-tempat mewah, memberinya hadiah-hadiah kecil, hingga pada puncaknya, ia berhasil memaksa pihak percetakan untuk menaikkan antrian buku Maria dan di proses lebih cepat dari yang seharusnya. Ha! Menggelikan. Beruntungnya, Novan telah berhasil mendapatkan Maria, tepat sebelum pria itu sempat melakukan tindakan yang lebih jauh untuk menarik simpati Maria. Sebuah tindakan spektakuler yang belum pernah Novan lakukan kepada seorang wanita, hanya dengan didasari rasa takut kehilangan yang teramat besar.
"Ini sangat hebat, bukan?" Novan melambaikan buku bersampul putih itu di depan wajah Maria yang terlihat berbinar senang. 'Sebait Rindu Untuk Ibu Guru'. Sebuah judul yang ternyata mampu menarik perhatian banyak pembaca, hanya dari kesannya yang mendalam. Novan yang memilih judul itu untuk Novel Maria, karena ia tahu betul bahwa buku itu Maria buat untuk mengurai rasa rindunya yang teramat besar pada pasangan guru yang sangat ia sayangi sejak kecil.
"Semua ini karena ko su bantu banyak untuk buku ini terbit, toh." Maria menatap Novan penuh rasa terima kasih.
"Bukan aku, Maria. Tetapi Gufron."
"Ah, tra bisa, lah, Kakak. Gufron hanya bantu di percetakannya saja, eh. Tetapi proses penyusunan bab-bab cerita ini, hingga editing dan finishing, semuanya korang su bantu. Trada campur tangan Gufron di dalam buku itu, kecuali percetakannya saja."
"Tetapi tanpa Gufron, buku ini tidak akan dapat tercetak secepat ini, Maria. Bagaimanapun, ucapkan banyak terima kasih padanya karena telah membantumu menyelesaikan proses percetakannya sejauh ini. Itu usaha yang luar biasa, untuk menaikkan antrean bukumu dari bawah, menjadi eksklusif, kau tahu?" kata Novan, munafik. Karena jelas, dalam hati ia merasa berpuas diri karena Maria lebih menghargai usahanya dalam membantu menyelesaikan buku itu, daripada usaha Gufron untuk menaikkan antrean cetaknya ke posisi paling atas.
Namun begitu, usaha Novan belum berhenti sampai di sana. Masih ada usaha lain yang diam-diam ia lakukan, tanpa sepengetahuan Maria. Dan usahanya kali ini, Maria tidak akan pernah boleh mengetahuinya, sampai kapanpun, karena Novan yakin gadis itu tidak akan pernah setuju ia melakukannya.
Demi mewujudkan cita-cita Maria agar bukunya sampai ke tangan Ibu Guru Winar, Novan diam-diam telah membeli sebanyak 100 eksemplar buku cetakan Maria untuk ia bagikan ke setiap sekolah-sekolah yang ada di Surabaya. Hampir seluruh sekolah, dari SD hingga SMA, telah memiliki bukunya. Novan berharap, setidaknya jika di tiap-tiap sekolah ada satu orang saja yang telah membaca buku Maria secara gratis, maka besar kemungkinan si pembaca akan mempromosikan buku Maria dari mulut ke mulut, juga secara gratis.
Terkadang, sebuah promosi memang membutuhkan pengorbanan terlebih dahulu untuk bisa mencapai target yang diharapkan. Dan seperti apa yang diharapkan oleh Novan, buku setebal hampir 200 halaman itu viral dengan sangat cepat. Orang-orang berbondong-bondong mencarinya di toko buku, untuk membaca sendiri kisahnya, terutama para guru.
Bagi para guru, kisah kehidupan Maria di tanah terpencil kampung halamannya memanglah sangat pelik. Banyak, hingga detik sekarang ini, guru-guru GTT yang masih terus berjuang di daerah pelosok, tanpa akomodasi dan transportasi yang memadai. Tidak sedikit dari mereka yang masih harus bertaruh nyawa untuk bisa mencapai letak sekolah tempat mereka mengajar, di daerah pedalaman. Maka, bagi Novan, asalkan pemasaran tepat sasaran, tidaklah terlalu sulit untuk membuat kisah Maria menjadi viral dan dikejar oleh banyak orang.
Sementara Maria menikmati suara-suara yang banyak membicarakan tentang bukunya di kota tempat tinggalnya sekarang, tanpa ia sadari, di sebuah kota yang berjarak hampir 90 kilometer dari tempatnya duduk berhadapan dengan Novan di perpustakaan sekarang ini, seorang murid laki-laki bertubuh mungil tengah berlarian memasuki gerbang sekolah sambil membawa-bawa buku bersampul putih, berteriak seru.
"Bu guru, bu guru!" teriaknya, memukul pelan pinggang ibu guru yang berjalan membelakanginya. Wanita yang dipukul menoleh kaget.
"Bu, lihat ini, Bu. Di buku ini nama ibu gurunya sama seperti nama bu Asih."
Wanita itu menunduk, kemudian berjongkok di hadapan anak itu.
"Buku apa, itu?" tanyanya ramah, pada bocah kelas 2 SD di depannya.
"Novel, Bu," seru sang anak.
"Novel opo. Arek kelas 2 SD kok moco novelĀ¹). Baca itu mbok buku anak-anak. Buku dongeng itu lo, banyak di kelas, kamu baca."
"Lho, Novel ini bagus, Bu katanya mbak saya. Ini cerita tentang ibu guru yang mengajar di Wamena, Papua. Sampean tau Papua, a Bu?"
Ibu guru cantik itu tertawa lebar. "Yo eroh. Lah memangnya kamu tahu Papua itu di mana?"
"Tau, Bu. Tempatnya orang yang hitam-hitam keriting itu lo, Bu."
Ibu guru itu terbahak semakin lebar. "Hush! Tidak boleh bilang begitu. Itu namanya body shaming. Pembullyan. Bisa dipenjara."
"Lho, iya kok, Bu. Gak goroh, aku. Anak-anak itu anak Papua, kok."
"Memangnya kamu sudah baca bukunya?"
"Ya belum, Bu. Tapi pas saya baca-baca sedikit, terus nemu nama ibu gurunya sama kayak nama e bu guru. Mek di sini panggilannya Bu Guru Winar, lek ndik sekolah lak Bu Asih. Bu guru lak namanya Winar Asih pisan kan. Iso podo eĀ²)."
Ibu guru Winar mengerutkan kening. Perlahan tangannya terjulur mengambil buku di tangan bocah kecil itu. Ibu Guru Winar, Wamena, Papua. Itu mengingatkannya pada ....
Ibu Guru Winar mulai membuka-buka halaman buku dengan acak, membaca satu paragraf secara acak pula. Pikirannya seketika membawanya kembali pada masa puluhan tahun silam, saat ia pertama kali bertemu dengan gadis berambut kriting dengan mata terang berbinar. Maria. Maria Belle Salaka. Ibu Guru Winar masih bisa mengingat wajah kecilnya yang menyenangkan, dengan sangat jelas.
"Kamu dapat novel ini dari mana, Budi?" tanya Ibu Guru Winar, menatap mata Budi, muridnya.
"Kandani punya mbak saya, Bu."
"Boleh ibu pinjam?" tanyanya.
"Boleh, Bu. Tapi nanti pulang kembalikan ya, Bu. Nanti saya dimarahi sama mbak saya."
Ibu guru Winar tersenyum, mengangguk. "Iya. Nanti ibu guru kembalikan. Sekarang kamu masuk ke kelas dulu, bel sudah berbunyi."
Pagi itu, sebuah kebetulan yang menguntungkan bagi Ibu Guru Winar, karena anak-anak kelas satu berolah raga. Itu membuat ibu guru memiliki waktu setidaknya selama 90 menit untuk membaca novel yang dipinjamkan Budi kepadanya. Novel itu bersampul putih, berjudul 'Sebait Rindu Untuk Ibu Guru'.
Air mata ibu guru Winar meleleh. Ia teringat pada Maria, gadis kecil yang dulu hampir setiap hari berada di rumahnya. Satu-satunya murid sekolah yang mencuci seragam sekolahnya, dan satu-satunya murid di sekolah SD yang memakan makanan bergizi hampir setiap hari, karena ikut makan di rumahnya.
Tiba di bab Mateus, tangis Ibu Guru Winar tak dapat lagi ia tahan. Wanita itu tidak pernah mengira, Mateus benar-benar mati saat itu. Dan ia juga tidak menyangka bahwa sosok pria yang diintipnya dari balik jendela sedang mengiris telinga Pak Hamdani, guru asal Sulawesi yang mati tersabet parang saat melarikan diri dari rumahnya yang dibakar masa, ternyata adalah Mateus.
"Ada apa, Bu Asih?" tanya pak Darun, yang memasuki kelas usai mengajar di jam pelajaran pertama.
Ibu Guru Winar mendongak. "Oh, ini Pak Darun. Saya membaca novel ini," jawab bu guru, menunjukkan sampul novel pada guru laki-laki yang bertanya.
"Oh, sedang viral itu, Bu. Banyak rame dibicarakan di sosial media. Bagus katanya ceritanya, tetapi saya juga belum baca. Katanya menceritakan tentang kehidupan seorang anak dengan guru yang sangat disayanginya di Wamena. Jadi ingat waktu mengajar di Wamena, ya, Bu?" tanya Pak Darun, duduk di depan bu guru, menatap iba. Pria itu berpikir, mungkin karena buku itu menceritakan tentang kehidupan seorang anak di Wamena, membuat Ibu Guru Winar teringat pada masa-masa sulitnya, saat mengajar di pulau terpencil di pedalaman itu. Mengingat cerita ibu guru saat ia baru datang ke sekolah itu, beberapa tahun silam, kehidupan di daerah itu sepertinya teramat sulit. Belum lagi peperangan yang membuatnya pulang ketakutan. Tentu dengan adanya novel yang mengangkat kehidupan seorang guru di Wamena, akan lebih mudah membuatnya tersentuh, dari pada orang lain yang belum pernah menjalani kehidupannya secara langsung.
"Ndak, Pak Darun. Ini ... Ini murid saya dulu. Penulisnya," kata Ibu Guru Winar diantara isaknya, dan tangisnya kembali pecah. "Dia datang ke Jawa untuk cari saya, tetapi tidak ketemu karena alamatnya hilang."
"Lho, lhaa ... bener toh, Bu?"
Bu guru mengangguk yakin.
"Lah, dari mana Bu Asih tahu kalo dia mencari bu guru?"
"Diceritakan di dalam sini, Pak. Dia kepingin banget ketemu sama saya. Kalo dilihat dari ceritanya, sepertinya dia tinggal di Surabaya. Tapi Surabayanya mana, tidak dikatakan di sini." Ibu Guru Winar membuka kacamatanya, mengusap air mata menggunakan selembar tisu.
"Sik, sik, sebentar. Kayaknya anak saya kemarin ngotot minta pergi ke Surabaya. Katanya mau beli buku yang viral itu, yang ada tanda tangannya, gitu lo bu. Sebentar toh, coba saya tanyakan ke anak saya." Pak Darun antusias membantu, ia segera mencari ponselnya dan menelepon putri sulungnya.
"Lho, iya bener, Bu. Di toko buku Indobook Store Pusat, kata anak saya, Bu. Pas hari guru nanti, penulisnya akan datang dan ada 100 buku yang mau ditandatangani secara langsung di lokasi pembelian."
"Bener, itu, Pak Darun?" Tanya Ibu Guru Winar antusias.
"Leres, Bu Asih. Anak saya juga ngotot minta berangkat kesana itu. Pas di hari guru nanti itu lo, Bu. Sekalian untuk menyambut Hari Guru Nasional, katanya."
Ibu Guru Winar berbinar senang. Rasanya ada sesuatu yang berusaha melompat keluar dari dalam dadanya, saking senangnya ia, memiliki harapan untuk bisa bertemu lagi dengan Maria. Maria, sudah seperti anaknya sendiri, memang. Gadis yang baik, pintar, dan pantang menyerah. Rasa ingin tahunya tinggi, dan keinginannya untuk berubah menjadi yang lebih baik, begitu besar tumbuh di dalam dirinya.
Pulang kerumah sepulang sekolah, Ibu Guru Winar berlari menemui suaminya. Berbekal buku yang berhasil dipinjamnya dari orang tua Budi, ibu guru memberitahu suaminya tentang keberadaan Maria di Surabaya.
"Ayo, Pa. Kita pergi temui Maria, hari guru nanti di Surabaya. Saya kangen sekali sama dia."
"Ya, ya. Kita akan pergi nanti," jawab Pak Guru Priyo, matanya masih fokus membaca lembar demi lembar novel yang kini terbuka di tangannya.
"Siapa Maria, Ma?" tanya anak laki-laki ibu guru Winar, muncul dari balik pintu kamarnya.
"Kamu ingat anak perempuan yang dulu sering menemanimu saat Mama dan Papa ke kota, di Wamena?"
"Kakak Maria?"
"Ya. Dia sudah lama berada di Surabaya, mencari kita."
"Kenapa tidak langsung datang ke sini saja?"
"Karena dia kehilangan alamat rumah kita, saat di bandara. Jadi dia tidak bisa menemukan kita."
"Apa kita akan pergi menemuinya?" Tanya anak laki-laki itu menatap senang.
"Hari guru nanti, dia akan ada di salah satu toko buku di Surabaya. Kamu mau ikut?"
"Tentu saja aku ikut. Kira-kira, apa Kak Maria masih bisa mengingatku, ya?" Anak itu bertanya-tanya, senyumnya terkembang lebar.
"Yang jelas, tidak. Kamu masih sangat kecil dulu, waktu kalian terpisah. Tetapi aku yakin dia masih tetap menyayangimu, Andra."
Pria remaja dengan wajah mungil dan tampan itu tersenyum miring. "Aku tidak sabar bertemu dengannya. Seperti apa dia sekarang, ya?" katanya, tatapannya menerawang jauh ke awang-awang.
Sementara itu di Surabaya ....
Maria melangkah memasuki kantor Gufron, seperi biasa, tak pernah lepas dari dampingan Novan. Semenjak pria itu mengakui perasaannya dan Maria bersedia membalasnya, ia tidak pernah lagi membiarkan Maria pergi seorang diri kemanapun. Kecuali maria memiliki teman bepergian, Novan akan selalu menemaninya dan tidak pernah membiarkan Maria bepergian sendirian.
"Buku pertama dalam waktu dua bulan, itu benar-benar luar biasa, Maria." Gufron melangkah mantap menghampiri Maria yang duduk di atas sofa, siang itu. "Seribu eksemplar nyaris habis dalam dua bulan, dan kamu adalah seorang pendatang baru," katanya mengulangi dengan kekaguman yang membuat hati Novan membara.
Gufron sengaja memanggil Maria ke kantor, terkait acara temu penulis yang akan diadakannya di toko buku mereka, pekan depan. Acara itu mereka adakan dengan tujuan untuk mendongkrak pembelian pada buku edisi cetakan kedua milik Maria, yang rencananya akan dicetak sebanyak 3000 eksemplar pada bulan berikutnya.
"Tapi, apa yang harus saya lakukan di acara temu penulis itu, nanti, Gufron?" tanya Maria, yang pekan sebelumnya telah diberitahu oleh Novan tentang rencana diadakannya acara itu.
"Kamu hanya perlu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh setiap orang, Maria. Dan akan ada 100 buku baru yang harus kamu tanda tangani secara langsung, di acara itu. Dan itu bekum termasuk buku-buku edisi cetakan pertama yang mereka sodorkan padamu untuk ditandatangani. Jadi menurutku, kau mulailah belajar membuat tanda tangan yang simpel dan tidak terlalu rumit."
"Tanda tangan?" Maria menatap kaget.
"Ya. Trend seorang reader adalah memiliki buku cetakan pertama dengan tanda tangan penulis, langsung."
"Trend seperti apa, itu?" protes Maria.