Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #4

MURID SEKOLAH

TAHUN AJARAN BARU

Akhirnya, setelah melalui perjuangan panjang merengek dan menangis setiap malam, hingga kabur ke rumah Ibu Guru Winar setiap sore, mamak bersedia mendaftarkan aku ke sekolah. Hari ini, adalah hari pertamaku masuk sekolah, kelas satu.

"Selamat pagi, Maria." Ibu guru menyapaku riang di balik punggungku, saat aku sedang bermain dengan wam yang berkeliaran di sekolah, sembari menunggu yang lainnya datang. Aku adalah siswa pertama yang tiba di sekolah pagi itu, di sana hanya ada Ibu Guru Winar dan Pak Guru Priyo, suaminya.

"Kita belajar apa sekarang, eh, Ibu Guru?" tanyaku bersemangat.

"Kita mo pi ke sungai dulu." Ibu Guru Winar membungkuk di hadapanku, menatapku dengan senyum lebar. Senyum yang hingga kini masih selalu aku rindukan.

"Ke sungai?" tanyaku.

"Betul. Ibu punya sabun yang baunya wangi. Ko mo pi mandi di sungai, kah?" tanya Ibu Guru Winar.

Mandi. Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan mandi, tetapi aku tidak ingin mengecewakan ibu guru dengan menggeleng. Nanti aku bisa bertanya padanya apa itu mandi, kalau setelah melihatnya aku masih tidak mengerti.

"Aah. Ko tunggu dulu ko pu kawan tiba, eh. Ibu siapkan dulu peralatannya, nanti kita berangkat sama-sama."

Setelah bel berdentang, ibu guru membawa kami semua – kelas satu, ke sungai yang ada di dekat sekolah. Tangannya menggenggam sebuah ember besar dengan gayung kecil di dalamnya dan beberapa benda berwarna coklat juga sesuatu di dalam bungkus biru berbau segar dan harum. Aku mengambil barang-barang di tangan ibu guru, membantu membawakannya ke tepi sungai.

"Jangan ada yang masuk ke dalam sungai. Air sungai untuk minum, makan, jangan kasih kotor airnya." Ibu guru mengingatkan kami semua, untuk tidak mencemari air sungai. Kami mengangguk, menurut apa yang ibu guru sampaikan, karena air sungai memang untuk kami makan dan minum setiap hari, jadi harus dijaga kebersihannya.

"Ibu Guru! Ini untuk apa, kah?" tanya Hosea, mengangkat sebentuk benda berwarna coklat dengan tekstur kasar dari dalam ember besar. Benda yang sedari tadi sudah kuperhatikan dengan rasa penasaran.

"Untuk gosok ko pu badan itu, biar bersih, Hosea!" teriak ibu guru. Wanita itu susah payah mengangkat air dari sungai menggunakan ember, dibawanya ke tepi.

"Biar sa saja yang angkat air, sudah. Ibu Guru duduk-duduk saja di tepi, kah?" Aku mengambil ember air dari tangan Ibu Guru Winar. Wanita itu tersenyum, mengangguk. Setelah dua ember besar penuh dengan air bersih, kami mulai membasahi tubuh dengan air.

"Eeh! Tra begitu, eh, Matias!" Ibu Guru Winar melompat ke arah Matias yang sedang menjilati sabun berwarna biru di tangannya. Ia buru-buru meraih air di ember, mencuci mulut Matias dengan air bersih.

"Trada boleh kasi masuk ke dalam mulut, eh. Mati ko keracunan, nanti, Matias," katanya. Tawanya menggema, menular kepada kami semua. Aku senang sekali melihat wajah ibu guru yang selalu penuh tawa.

"Semuanya! Ambil sedikit sabun biru dengan ujung jari. Macam begini, eh, lihat ibu guru." Ibu Guru Winar memberi instruksi, mengambil sabun berwarna biru dari dalam wadah. Benda di dalam bungkus plastik menarik, yang tadi kulihat ada di dalam ember. Kami semua mencontoh apa yang Ibu Guru Winar lakukan, mengambil sejumput sabun di ujung jari, lalu mengacungkannya ke atas.

"Kalau sudah, kasi tempel ke kepala dan badan macam ini."

Kami kembali mencontoh gerakan tangan ibu guru.

"Lalu gosok pakai sabut. Begini."

Ibu guru mengajarkan cara menggunakan sabun kepada Matias, dengan sabar. Kami semua menirunya. Dia juga mengajarkan kami semua menggosok gigi, memberikan kepada kami semua yang namanya sikat gigi dan pasta pedas. Kami semua bermain di air, menggosok badan satu sama lain secara bergantian menggunakan sabut berwarna coklat yang ibu guru bawa.

Lihat selengkapnya