"Ma, beliin aku sepeda, ya?!" desakku.
Aku bergelayut manja di lengan Mama. Beliau sempat tersentak. Namun, wanita dewasa penuh wibawa itu kembali fokus memotong-motong sayuran.
"Udah, pergi main sana! Mama lagi masak ini! Bentar lagi Bapakmu pulang," ucap Mama dengan ketus.
Aku langsung mengkeret dan melepaskan tangan Mama. Ya, salahku memang yang mengganggu beliau. Tak ingin berlama-lama lagi, aku segera berlalu pergi. Namun, sempat kudengar Mama berkata, "Tanyakan sama Bapakmu sebentar."
Bagiku ucapan Mama itu sudah merupakan lampu kuning. Sisa menunggu lampu hijau dari Bapak, maka sepeda kesayangan sebentar lagi akan tiba di rumah.
Sudah seminggu belakangan aku ngebet untuk dibelikan sepeda. Pasalnya teman-teman yang lain sudah punya sepeda semua, tinggal aku yang belum. Aku merasa sungkan jika terus-terusan dibonceng. Aku kan mau punya juga!
Eh, tunggu dulu! Aku kan belum terlalu lancar membawa sepeda. Sebelum Bapak membelikanku seharusnya aku sudah bisa mengendarainya.
"Kamu kok liatin aku sebegitunya?" tegur Mirna setengah sewot.
Aku sempat tertegun saat ditegur Mirna. "Memangnya mukaku kenapa?" Saat ini aku pergi ke rumah Mirna yang tak jauh dari rumah. Seringnya memang aku yang mendatangi rumah gadis itu untuk mengajaknya pergi bermain di lapangan.
"Berkerut-kerut begitu? Kamu mikirin apa sih?" tanya gadis dengan rambut sebahu itu.
Gadis itu kembali sibuk mengaduk-aduk campuran dedaunan di dalam kaleng bekas yang telah mendidih. Aku menghela napas pelan. Tidak di rumah, tidak di tempat main semuanya asyik masak-masakan.
"Aku pengen belajar bawa sepeda," jawabku jujur.
Mirna memasukkan potongan dedaunan berwarna merah, kemudian menghias lempengan besi yang mirip piring dengan potongan batang-batang kayu. "Kukira kamu mikirin apa gitu."
"Ya, kamu enak. Udah punya sepeda sendiri, udah jago balap-balap malah." Aku menatap Mirna dengan memelas, berharap ia mengerti kalau aku mau diajari. "Aku suka gak enak juga sama yang lain. Masa aku kebagian dibonceng terus."
Mirna menata masakannya dan jujur aku sedikit mual mencium baunya yang aneh. "Jadi, kamu mau ku ajari?"
Senyum semringah sontak terpatri di bibirku. "Mau banget!"
"Ya udah, kamu cobain masakanku nih!" ucap Mirna serius seraya menyodorkan masakannya yang terlihat mengerikan.
Wajahku berubah pucat pasi. Apa aku harus keracunan dulu sebelum pandai mengendarai sepeda sendiri?
Mirna tertawa dan lekas berdiri dari duduknya. Menuangkan kumpulan dedaunan itu di atas api yang masih menyala-nyala. "Becanda! Sini aku ajar sampai kamu jago."
Aku mengangguk antusias. Kami meninggalkan halaman rumah Mirna setelah yakin dapur dadakan yang dibangun gadis itu sudah bersih dan aman.
~~~