SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #1

AWAL KEJUTAN

"Aaaaaarrgghh...."

Teriakan seorang gadis terdengar sangat melengking di dalam kamar di lantai dua, di sebuah rumah besar nan megah. Bukan suara tetangga marah-marah, bukan juga suara paket yang datang. Alih-alih, suara Melody yang tidur terlentang dengan mata yang melebar, saat melihat ke arah jam beker di atas nakas, waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi.

"Ah shit!! Kenapa harus ada acara kesiangan mulu, sih?!"

Melody mengacak rambutnya frustasi dan segera bangkit dari tidurnya, melompat dari atas kasur lalu berlari menuju toilet meski dengan sempoyongan dan hampir saja terjatuh, untuk segera mandi.

Bukan seperti kebanyakan gadis yang mandi hanya sekadar 'basah'. Lain halnya dengan Melody, belum bisa disebut 'Mandi' kalau tidak dengan luluran dan berendam dengan air hangat, minimal tiga puluh menit untuk Melody mandi dan luluran, belum lagi berendam air hangat, butuh waktu sampai lima belas menit.

Melody harus memastikan tubuhnya wangi dan lembut, terlihat bersih membuat Melody sangat percaya diri.

Karena prinsipnya; kecantikan dan kebersihan nomor satu.

Aroma harum sabun semerbak di dalam toilet gadis itu.

Melody selesai mandi dan berpakaian. Jangan salah, sudah tahu jam menunjukkan pukul delapan pagi, tetap saja gadis itu mengulurkan waktunya untuk memoles wajahnya di hadapan cermin dan bukan waktu yang sedikit untuk Melody memakai make up, belum lagi mencatok rambut panjangnya dengan gaya andalannya, curly.

Aroma parfume mahal dengan identik harum manis dia semprotkan ke seluruh bagian tubuhnya, tanpa terkecuali. Hingga tercium aroma itu sangat tajam menusuk indra penciuman saat gadis itu membuka pintu kamar. Bukannya menenangkan, tapi justru bikin pusing. Asli!

Melody menuruni satu per satu anak tangga dengan sedikit berlari menuju dapur di lantai satu.

“Papa sama Mama kemana, Bi?” tanya Melody pada Bi Tini, Asisten rumah tangga.

“Sudah berangkat, Non. Tadi jam empat subuh,” jawab Bi Tini sambil membalikkan tubuhnya menatap Melody yang baru saja tiba.

Gadis itu menghela napas dan menarik kursi kayu di hadapan meja makan.

Itu jawaban sehari-hari, saat Melody menanyakan keberadaan kedua orang tuanya. Pasti, Bi Tini selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Sebenarnya, pertanyaan itu hanya sebagai formalitas Melody saja karena Melody sudah tahu, jawaban dari Bi Tini tidak akan jauh dari itu.

Kalau ada yang bertanya; Apa keinginan terbesar Melody?

Jawabannya sederhana; hanya ingin berkumpul dengan keluarga dan merasakan hangatnya kasih sayang dan cinta kasih dari kedua orang tua. Seperti keluarga normal pada umumnya, bercerita keluh kesah hidup kepada orang tua, sesederhana menonton televisi dan tertawa bersama, se-simple duduk di meja makan bersama dan menikmati makanan yang sama. Sangat sepele namun sulit sekali untuk Melody dapatkan.

Roti sandwich Bi Tini sajikan di atas piring di hadapan Melody, saat perhatian gadis itu sepenuhnya terpusat pada ponsel.

“Bi, aku minta dibungkusin aja. Aku mau sarapan di kantor,” katanya, sambil sedikit melirik piring sandwich itu.

“Nggak dimakan sekarang aja, Non?” tanya Bi Tini.

“Nggak, Bi, udah kesiangan.”

“Tadi Bibi sudah bangunin, Non. Tapi nggak bangun-bangun.”

“Iya nih. Capek kali, ya?” kata Melody dan senyum. Dia menepuk dahinya. “Eh iya, kunci mobil.”

Cewek itu berdiri dan berlari menuju ruang televisi. Sementara Bi Tini di dapur berteriak; “Di laci ketiga bawah televisi, Non.”

Tidak ada sahutan dari Melody. Sepertinya gadis itu tidak mendengar. Karena jarak antara dapur dan ruang televisi memang lumayan agak jauh. Sehingga sudah dipastikan, suara Bi Tini yang lembut, tidak akan terdengar oleh Melody.

Saat Bi Tini sedang menyiapkan sandwich pesanan Melody, terdengar suara teriakan dari arah ruang televisi.

“BI, LIHAT KUNCI MOBILKU, NGGAK?”

Kan, benar? Dia tidak mendengar. Bi Tini yang notabene tidak suka teriak-teriak dan menjaga image sebagai asisten rumah tangga yang lemah lembut, untuk pagi itu, Bi Tini mengeluarkan suara menggelegarnya. Mungkin bisa jadi, itu tidak sengaja juga.

“DI LACI KETIGA BAWAH TELEVISI!”

Dan inilah, kebiasaan jelek Melody, selalu lupa menyimpan barang apapun yang semula dia bawa lalu dengan teledornya, gadis itu menyimpan disembarang tempat. Padahal dia yang simpan di laci itu, tapi dia juga yang lupa.

Gadis itu kembali menghampiri Bi Tini, membawa kunci mobil dengan gantungan boneka kucing kecil. Sembari dia mainkan di sela-sela jarinya.

“Makasih, Bi,” katanya sembari senyum.

“Iya, Non. Ini makanannya udah selesai. Habiskan, ya?”

“Oke. Ya sudah, aku berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum!”

Gadis itu menyambar tas dan juga bekalnya di atas meja. Kemudian berlari keluar rumah.

“Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Non!” teriak Bi Tini sembari geleng-geleng kepala tidak habis pikir. Sebetulnya, Bi Tini sudah biasa dengan tingkah Melody macam begitu. Tetapi, lama-lama gemas juga rasanya.

***

Mobil sedan hitam pekat itu berhenti di sebuah parkiran basement. Yap benar, Melody terlambat. Sebetulnya terlambat sudah menjadi hal biasa untuk Melody. Amukan dan ceramah dari Bos sudah menjadi sarapan Melody sehari-hari. Pasrah, itu yang selalu Melody lakukan. Menghela napas mampu membuatnya sedikit tenang untuk menyiapkan mental dan pendengarannya dengan omelan yang pasti bikin sakit telinga dan kepala. 

Melody berjalan tergesa-gesa dan sedikit berlari melewati karyawan lain yang sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tetapi tidak sedikit, bahkan bisa dibilang hampir semua karyawan selalu dan pasti saja menyapa Melody saat melihat gadis itu melintas di hadapan mereka. Dan seperti biasa juga, Melody selalu tersenyum ramah dan menyapa balik dengan asyik. Tidak seperti Wakil Manager pada umumnya, kebanyakan sombong dan angkuh, merasa dirinya paling atas dan menjadikan gelar dan jabatan sebagai pembatas antara bawahan dan atasan. Namun, semua itu sama sekali tidak berlaku untuk Melody. 

Gadis itu berpikir, semua sama saja, untuk apa membedakan kalau tujuan utamanya sama-sama bekerja dan mencari uang? 

“Selamat pagi Ibu Melody, baru dateng, Bu?” tanya salah satu karyawan cewek.

“Iya nih, biasa," jawab Melody sembari tersenyum.

Banyak juga yang bertanya seperti itu dan Melody menjawab dengan hal yang sama pula.

“Gue telat ... gue telat ... mampus! tamat riwayat gue!”Gadis itu bergumam dengan langkah kaki yang lebar dan sedikit berlari.

Saat memasuki ruangan pribadinya, dia dikejutkan oleh seseorang yang sudah ada di sana.

“Bagus! Jam berapa ini?!”

Laki-laki bertubuh gemuk dan berkumis tebal, dengan jas berwarna hitam serta kemeja putih di dalamnya dilengkapi dasi biru itu menatap tajam Melody dan melipatkan kedua tangannya di depan dada. Menggeleng tidak habis pikir.

Ternyata itu Sang Bos Besar!

“Mampus gue!” umpat Melody, gadis itu tersenyum kikuk dan perlahan menghampiri Pak Angga. Menyimpan perlahan tas serta bekal sarapannya di atas meja, lalu berdiri menunduk di hadapan Sang Bos Besar. 

“Untung saja keterampilan dan kepandaian kamu yang bisa mempertahankan kamu di sini. Kalau tidak....” Pak Angga menggeleng, “Sudah saya pecat kamu!”

“Haduh, jangan gitu dong, Pak. Saya janji deh nggak bakalan ulangi lagi.”

“Halah! Saya sudah banyak makan janji kamu. Tapi tetap aja kamu begini!” cecar Pak Angga dan Melody hanya menunduk, sesekali dia menatap Bosnya itu dengan tatapan takut serta bersalah. “Saya butuh bukti bukan cuma omongan janji!”

“Iya, Pak...”

“Iya-iya mulu, tapi diulangi lagi. Nanti karyawan yang lain pikirnya saya pilih kasih sama kamu!”

“He he he... nggak dong, Pak, mereka ngerti kalau saya...”

Lihat selengkapnya