Mimpi apa Melody semalam? Seperti terkena sambaran petir yang sangat dahsyat, sampai-sampai membuat Melody tercengang tak percaya dengan apa yang sudah dia dengar langsung dari Herman. Ini 'Perjodohan' yang tak pernah ada dalam pikiran Melody sedikit pun.
Nada, siapa dia? Sangat asing sekali untuk Melody dan tidak ada terkilas sedikit pun untuk mengenal sosok Nada. Laki-laki dengan wajah yang sangat cuek, dingin, datar dan tidak ada raut wajah ramah sedikit pun. Berbanding terbalik dengan Bian yang notabene ramah dan murah senyum. Tidak terlintas dan terbayang bagaimana Melody menikah dengan lelaki yang asing macam Nada begini. Apa lagi, dalam acara perjodohan seperti ini.
Ah! Mimpi buruk!
Bisa gila Melody kalau itu benar terjadi.
“Tunggu Pa ... maksudnya apa, ya?” Melody masih berusaha untuk mencerna perkataan Herman. Barangkali, dia salah tanggap atau salah dengar. Karena bisa jadi efek lelahnya bekerja dan membutuhkan istirahat. Jadi, bisa saja telinganya sedikit agak terganggu.
Tapi, nyatanya...
“Mungkin Melody kaget. Memang Pak Herman belum memberi tahu Melody soal ini?” tanya Bapak itu.
“Belum Pak,” Herman menggeleng dan tersenyum. “Saya jarang sekali bertemu dengan Melody. Jangankan untuk mengobrol. Bersapa saja sudah jarang. Karena kesibukan kami masing-masing juga.”
“Oh, pantas saja,” Bapak itu mengangguk paham. “Memang Melody belum melihat berita yang tersebar di berbagai stasiun televisi hari ini?”
Melody menggeleng samar, betul-betul dia belum bisa mencerna apa titik permasalahan perjodohan itu. Dengan dasar dan unsur apa? Dia sedari awal bertanya-tanya dalam hatinya dengan bingung.
“B—belum, Om. Memang, berita mengenai apa, ya?”
“Pantas saja Melody belum mengetahui beritanya. Ya sudah, saya yang jelaskan ya, Pak Herman?” kata Bapak itu lagi.
“Oh iya, Pak, silakan-silakan,” kata Herman.
Dan anehnya, yang membuat Melody semakin bingung dengan apa yang sudah terjadi, dia melihat raut wajah Herman yang begitu sangat antusias dalam membahas perkara ini.
“Baik, sebelumnya terima kasih dan izinkan saya memperkenalkan diri. Perkenalkan, nama Saya Dodi, Ayah dari Nada. Dan seperti apa yang sudah saya katakan bahwa Nada ini anak tunggal saya dan tentunya pewaris Tahta perusahaan kami yang bergerak di bidang Fashion, khususnya tas branded Enisabag, seperti yang kamu pakai itu, Melody,” kata Bapak itu dengan kedua matanya melirik tas yang Melody pakai.
Apa? Pemilik saham Enisabag? Maksudnya, CEO?
Ah! Tapi Melody tidak peduli. Yang dia pedulikan sekarang, perkataan Herman yang berhasil membuat semua rasa lelahnya saat ini betul-betul hilang total!
Pandangan semua orang di sana, tertuju ke tas yang Melody pakai sekarang. Rasanya sedikit malu juga jadi pusat perhatian. Eh tapi rasa malu itu kalah dengan rasa penasaran Melody.
“Lalu?” tanya Melody penuh dengan tanda tanya yang bercokol di kepalanya.
“Nah, kamu juga sama, kan? Anak pewaris Tahta perusahaan Pak Herman juga?”
“Nggak ... maaf sekali, ya, Om, saya memotong,” sela Melody dengan suara sedikit agak ketus, didukung dengan raut wajahnya juga yang betul-betul tidak enak dilihat. “Maksud saya begini ... kenapa nggak langsung ke intinya saja? Maksud dari apa yang Papa saya bicarakan tadi itu bagaimana? Biar saya bisa langsung paham juga. Dan nggak usah bawa Tahta-Tahta segala...”
Tiba-tiba perkataan Melody terinterupsi saat mendapat cubitan kecil dari Herman di pinggangnya, sebagai peringatan agar gadis itu bisa bersikap lebih sopan. “Jaga bicara kamu!” bisik Herman di telinga Melody. “Ini tamu penting Papa. Jangan bikin malu!”
Melody memutar bola matanya malas setelah meringis kecil karena cubitan Herman.
Sementara Dodi tersenyum ramah.
Oke. Mungkin Melody terbawa suasana dan kaget juga. Pulang-pulang malah mendapat kabar begitu. Bisa dibilang itu kabar buruk. Sama saja seperti terkena sambaran petir di siang bolong. Tapi dia gemas juga dengan perkataan Dodi yang berbelit-belit. Melody ini tipikal perempuan yang tidak suka basa-basi panjang. Cukup pada intinya, supaya tidak terlalu lama menyimpan rasa penasaran dan menduga yang tidak-tidak.
Melody orangnya mudah penasaran.
“Tidak apa, Pak Herman. Saya mengerti kalau Melody masih bingung,” kata Dodi. Mungkin Dodi melihat juga raut wajah Melody dan cara dia berbicara kalau dia risi dengan topik pembicaraan kali ini. “Mungkin saya terlalu berbelit dan harus perlahan. Jadi sekarang saya akan langsung pada intinya saja, ya, Melody?”
Melody mengangguk. “Memang harusnya begitu, Om.”
“Melody!” bisik Herman, lagi. Namun untuk kali ini Melody tidak tinggal diam, dia menatap Herman dengan sorot mata sangat tajam dan galak.
“Apaan sih, Pa!” gadis itu mendelik sinis.
Herman diam, dengan memendam rasa kesal pada anak gadisnya itu. Sementara Ani, Mamanya Melody, lebih memilih menenangkan suaminya itu dengan mengelus pahanya supaya bisa meredam amarahnya.
Suasana ruang tamu itu cukup sangat menegangkan. Degup jantung Melody seolah berdetak tak karuan, dengan kedua telapak tangan tiba-tiba basah berkeringat. Itu kebiasaan Melody kalau ada di dalam mode panik, risau dan juga takut.
Begitulah yang dia rasakan malam ini.
“Sesuai acara berita hari ini yang tadi disiarkan di stasiun televisi. Bahwa perusahaan Melshoes, perusahaan produksi sepatu Papa kamu, mengalami kerugian yang bisa terbilang, besar. Kurang lebih angkanya mencapai sepuluh miliar rupiah, itu disebabkan penurunan penjualan dan omset perusahaan Papa kamu menurun drastis,” kata Dodi menjelaskan.
“Hm...” Melody mengangguk paham. “Lalu?”
“Yang menjadi permasalahan di sini sekarang, ada oknum yang benar-benar jahat dan tidak bertanggung jawab, yang sudah menipu dan meretas seluruh data perusahaan Papa kamu, dengan iming-iming seluruh barang-barang produksi Papa kamu akan dia ekspor ke luar negeri. Tentunya dengan tawaran harga yang fantastis.”
Melody terdiam. Berpaling menatap Papanya itu tidak menyangka. Apalagi saat mendengar nominal kerugian yang mencapai sampai miliaran rupiah. Bagaimana itu bisa terjadi? Dan bagaimana pula, perusahaan Papanya itu bisa kena tipu?
“Sebenarnya, bukan semata-mata Papa kamu setuju. Masalahnya, karena perusahaan Papa kamu sedang mengalami penurunan omset penjualan sehingga Papa kamu betul-betul mengalami kerugian sangat besar. Jadi tergiur dengan tawaran itu. Ditambah lagi orang yang menipu Papa kamu itu, salah satu orang yang Papa kamu percayai,” kata Dodi lagi. Seolah Dodi bisa membaca pertanyaan yang bercokol di kepala Melody, yang terpendam di wajahnya.
“Namanya Putra,” kata Dodi lagi. “Kamu pasti tahu, kan?”
“Om Putra?” tanya Melody terperangah. Menatap Herman tidak menyangka. “Om Putra sahabat Papa? Masa Om Putra sih, Pa?”
Herman menunduk. Dia diam seribu basa saat mendapat tembakan pertanyaan dari Melody.
Melody dibuat kaget setengah mampus oleh pernyataan Dodi. Dia tidak menyangka bahwa Putra akan melakukan hal setega itu pada Papanya.