Tidak ada selera untuk berganti pakaian, apalagi selera untuk makan.
Melody sedari tadi hanya terduduk dan sesekali mengeluarkan kata umpatan sebagai tanda kekesalannya kali ini. Tatapannya tertuju pada Herman yang mondar-mandir tepat di depan Melody dan juga Ani.
Selepas keluarga Dodi pamit untuk pulang, Melody disidang habis-habisan oleh Herman soal perilaku dan sikapnya yang menurut Herman tidak sopan. Apalagi ketika Melody membantah dengan sangat brutal saat sebelumnya dia dan Nada adu cekcok di halaman belakang rumah.
Perjodohan yang mungkin menjadi mimpi buruk bagi Melody itu berhasil menyita seluruh perhatian bahkan isi kepala gadis itu, tidak ada yang dia pikirkan selain perkara perjodohan. Rasa lelahnya kali ini lenyap seketika ditelan amarah. Bahkan juga memaksa Melody untuk bersikap tidak sopan macam begitu. Layaknya seorang pemberontak yang tidak terima ketika akan diadili.
Kepalanya serasa mau pecah. Rasanya Melody ingin pingsan detik ini juga dan berharap semua ini hanya mimpi buruk baginya. Dan terbangun dengan hari-hari biasanya yang serasa hampa namun terkesan menyenangkan.
Tapi mau bagaimanapun, ini kenyataan!
“Sopan kamu tadi bersikap seperti itu di depan mereka, hah?! Sopan?!” bentak Herman dan berhasil membuat Melody tersentak kaget dibuatnya.
Karena seumur-umur Melody hidup, dia tidak pernah mendapat bentakan kecil pun dari Herman. Apalagi bentakan keras macam begitu. Hatinya sungguh sangat sakit, lebih sakit daripada ditinggal putus.
“Wajar dong, Pa, Melody kayak gitu!” timpalnya dengan suara parau dan air mata yang menggenang di kelopak. Bahkan dengan hitungan detik saja, air mata itu bisa terjun bebas. “Wajar kalau Melody tolak perjodohan itu!”
“Nggak bisa kayak gitu...”
“Apa yang nggak bisanya?” tanya Melody memotong. “Melody di sini nggak tahu apa-apa, loh, masalah Papa sama Mama. Seenak hati Papa sama Mama malah jadiin Melody korban. Melody kayak jadi tumbal Mama sama Papa tahu, nggak! Melody bukan barang yang bisa Papa dan Mama jual seenaknya!”
“Jaga omongan kamu!” bentak Herman dengan telunjuk mengarah pada Melody. Dengan raut wajah yang begitu amat sangat menyeramkan. Lebih menyeramkan Herman ketimbang Thanos yang ada di film Avengers. Napasnya menderu tak beraturan, kedua bola matanya memerah bagai sedang sakit mata.
Itu pemandangan terseram sekaligus mencengangkan bagi Melody seumur hidupnya!
Air mata yang sedari tadi susah payah Melody tahan, kini menetes. Satu tetes, dua tetes, hingga mengalir bagai tak bisa Melody hentikan. Belum lagi dengan tiba-tiba suara tersedu itu jelas terdengar. Terdengar sangat sesak.
“Nak, pikiran kamu terlalu jauh...” kata Ani membuka suara. “Kita di sini bukan untuk jual kamu, tapi untuk meminta bantuan kamu. Mama sama Papa harus minta bantuan sama siapa lagi, kalau bukan sama kamu?”
“Ya ... tapi nggak gini juga, Ma,” kata Melody membantah, menatap Ani yang duduk di sebelahnya. “Sebelumnya Mama sama Papa ke mana aja? Mana Mama sama Papa kasih tahu aku, ajak ngobrol aku masalah perusahaan Papa? Nggak pernah! Melody nggak pernah tahu, bisnis yang Papa jalani lagi di atas atau di bawah.”
“Papa sudah sering minta sama kamu untuk ikut bekerja di perusahaan Papa. Tapi kamu sendiri malah memilih cari jalan hidup masing-masing begini. Untuk apa kamu jadi bawahan, kalau kamu bisa jadi pemilik perusahaan!” kata Herman dengan suara yang meninggi.
“Pa ... Melody memilih jalan hidup Melody begini, karena Melody mau meneruskan apa yang sudah Melody ambil di jurusan kuliah. Untuk apa Melody kuliah tinggi-tinggi sampai S2 dengan jurusan arsitektur kalau hasilnya nggak Melody pakai?”
“Papa dari dulu nggak setuju kamu masuk jurusan itu!” bentak Herman dengan mengarahkan telunjuknya pada Melody. “Jurusan itu hanya pantas untuk laki-laki. Seharusnya kamu tahu itu, Melody!”
“Ngga kok, Pa...” kata Melody, cewek itu mengusap air matanya dengan punggung telapak tangan. “Banyak teman Melody perempuan juga yang satu kelas sama Melody dan mereka juga kerja di bagian sama kayak Melody sekarang. Nggak semua arsitek itu cowok, Pa.”
Herman terdiam membatu tak berkutik. Namun tatapannya masih tajam pada Melody, dengan napas yang menderu tak beraturan itu terdengar amat sangat jelas. Bahkan siapa pun yang mendengarnya, akan merasakan rasa sesak yang tertahan.
“Nak, Mama mohon untuk kali ini saja,” kata Ani dengan wajah memelas. “Mama dan Papa nggak pernah minta apa pun sama kamu, kan?”
“Iya sekalinya minta bikin aku gila!” timpal Melody dengan suara agak tinggi. Itu untuk pertama kali Melody merasakan dirinya bukan menjadi diri dia seperti biasanya. Melody sadar kalau saat ini dia sedang ada di mode durhaka karena membentak kedua orang tua. “Kemarin-kemarin ke mana aja? Jujur aja, Ma, Pa, dari dulu sampai sekarang aku merasa kehilangan figur orang tua. Aku merasa hidup sendiri. Papa dan Mama ada, tapi bagai nggak ada.”
“Kamu sendiri tahu kita ini sibuk!” kata Herman. “Kamu juga sibuk sama pekerjaan kamu.”
“Sesibuk-sibuknya Papa dan Mama, seharusnya luangin waktu untuk aku. Hari Sabtu dan Minggu Aku libur, Papa dan Mama juga, kan? Tapi di hari itu Papa dan Mama nggak ada. Dengan alasan sibuk urusin pekerjaan yang lain,” Melody terdiam sejenak, mengambil napas untuk melanjutkan dengan menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. “Seharusnya kalau Papa dan Mama anggap Melody ada, anggap Melody anak kalian, seharusnya sempetin waktu buat sekadar ngobrol atau sarapan doang. Ini mana? Nggak ada!”