SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #4

SEBUAH PILIHAN

Sebuah kafe dengan alunan musik dari Ariana Grande mengalun indah mengiringi Matahari terbenam, di temani satu cangkir moccacino panas dengan asap yang masih mengepul di udara. Sedikit demi sedikit Melody menyesap cangkir kopinya itu dengan sangat syahdu. Berharap dapat menenangkan pikirannya dari peningnya pekerjaan, apalagi peningnya masalah perjodohan.

 “Heran banget deh gue, masih ada gitu, ya, jodoh-jodohan anak pemilik perusahaan kayak begini? Di zaman modern kayak gini?” Seperti hari ini, tiap kali Melody bertemu dengan Jessie dan Pinkan sepulang bekerja, pasti Melody bercerita tentang apa-apa yang menyangkut dirinya.

“Apalagi gue, kemarin serasa ditodong golok tahu, nggak!”

Berteman dengan Melody sejak di bangku kuliah, Jessie dan Pinkan sudah hafal permasalahan keluarga Melody yang mereka anggap, sedikit agak aneh karena orang tua yang berbeda dari orang tua pada umumnya, yakni; selalu tak peduli pada Melody.

 Tentang Papanya yang gila bekerja demi mencari segudang harta. Tentang Mamanya yang sama sekali tidak pernah menganggap Melody ada sebagai anaknya. Papa dan Mama Melody yang tidak pernah ingat ulang tahun Melody. Yang tidak pernah mengajaknya untuk bicara, meski hanya sekadar bertegur sapa dan mengucapkan selamat pagi. Yang tidak pernah peduli dengan kabar baik atau buruknya Melody.

Meski begitu, Melody selalu berusaha keras untuk membangun keharmonisan keluarganya agar sama seperti keluarga orang lain pada umumnya. Meski dengan perjuangan yang bisa dibilang keras, Melody tidak pantang menyerah dengan berbagai cara dia usahakan. Dari mulai selalu menunggu Papa dan Mama pulang sampai ketiduran di sofa, meski akhirnya sia-sia karena saat mereka pulang boro-boro menegur Melody untuk pindah ke kamar, mereka tidak peduli dan memilih masuk kamar. Dan membiarkan Melody tidur di sofa itu hingga pagi.

Lalu saat Melody ulang tahun, dengan susah payah dia mengatur semua untuk makan malam bersama di sebuah restoran. Awalnya Papa dan Mama setuju dan bilang ke Melody akan datang, tapi nyatanya, sampai larut malam pukul dua belas dan sudah pergantian tanggal, mereka tidak kunjung tiba dengan alasan sibuk dengan urusan pekerjaan.

Apa-apa yang ada di pikiran Papa dan Mama hanya pekerjaan, setelah itu uang, uang, dan uang. Tidak untuk kebahagiaan serta kehadiran anaknya. Mungkin, bisa jadi, kalau Melody hilang pun, mereka tak peduli.

Tapi sayangnya, Melody belum mencoba hal itu.

“Tapi lebih heran gue, lo yang tiba-tiba disuruh jadi kambing hitam mereka. Padahal dari dulu ke mana aja? Boro-boro buat ngobrol detail masalah ini, buat manggil nama lo aja nggak pernah. Iya nggak, sih?” Pinkan menatap Jessie dan Melody bergantian. Seolah meminta persetujuan dengan ucapannya. “Dari dulu bokap sama nyokap lo selalu telantarin lo, Mel. Ya kali sekarang minta sesuatu dari lo tapi di luar nalar.”

“Tapi, Mel, masalahnya kalau dipikir-pikir lagi, ya, sama gue, mendingan lo setuju aja sama perjodohan itu. Karena apa? Karena yang dikatakan bokap lo bener. Kasihan juga bonyok lo udah kerja mati-matian demi mempertahankan harta tapi ujungnya malah dirampas sama orang lain,” Jessie menghela napas, menatap Melody dan Pinkan bergantian lalu tiba-tiba tersenyum jahil. “Tapi ada plusnya juga buat lo. Lo bisa nikah sama CEO yang paling bergengsi sejagat raya.”

“Tapi gue nggak seyakin itu kalau emang bener kehilangan sampai sepuluh miliar. Emang ada bukti?” tanya Pinkan. “Lo udah lihat buktinya apa cuma omongan mereka doang? Gue takutnya lo ini cuma dimanfaatin buat naikin cuan mereka.”

“Nggak tahu,” Melody menghela napas lelah. Dengan suara lemas nyaris tak terdengar. “Gue belum lihat bukti apa-apa.”

“Nah, itu yang gue takutin, Mel,” Pinkan menyesap cangkir kopinya. Lalu kembali menyimpannya di atas meja. “Jadi mending lo cari bukti yang kuat dulu deh sebelum ambil tindakan apa pun.”

“Tapi menurut gue nih, ya, mending Melody nurut aja. Masa iya sih orang tua bohongin anaknya demi keuntungan?” tanya Jessie menatap kedua sahabatnya itu bergantian. “Lagi pula lo di jodohin sama CEO yang bener-bener impian orang lain, Melody. Duit dia segunung dan gue yakin nggak bakalan habis sampai seratus turunan. Lebih-lebih dari Abu Rizal Bakrie sama Sisca Kohl...”

“Dih, ngaco lo!” Pinkan membantah dan mengusap wajah Jessie. “Pikiran lo duit mulu, nggak mikirin perasaan sahabat sendiri. Lo pikir ini zaman Siti Nurbaya? Udah gila lu!”

“Yeeeuu ... dunia tidak ada apa-apanya kalau nggak ada uang...”

“Dunia nggak ada apa-apanya kalau nggak ada iman!” sela Pinkan dan langsung mendapat perhatian lebih dari Melody dan juga Jessie. Mereka berdua tercengang, bahkan Melody sempat tersedak kopi.

“Religius banget lo,” kata Jessie sembari tersenyum meledek. “Di sini kita lagi bahas tentang Melody yang bakalan dijodohin sama CEO Enisabag. Lo bayangin aja, Enisabag, coy!”

“Ya elah, mau CEO atau siapa gitu kek nggak peduli. Yang jelas di sini, yang mau jalanin, kan, Melody. Dia harus pikir matang-matang gimana baiknya. Kalau soal harta, itu ujung-ujungnya juga pasti milik Melody semuanya. Buat siapa lagi kalau bukan buat Melody?”

“Pemikiran lo kuno banget, Pin,” Jessie mengibaskan tangan kanannya di depan wajah Pinkan. “Soal apa yang lo omongin emang ada benernya juga. Tapi untuk sekarang, kita bicara tentang uang. Hidup Melody kalau sama CEO itu, bakalan terjamin kesejahteraan dia. Sedangkan kalau sama Bian? Belum tentu. Kita di sini bicara realistis sebagai perempuan aja.”

“Tapi duit nggak bisa beli kebahagiaan bego!” kata Pinkan dan menoyor kepala Jessie gemas.

Biasanya, Pinkan selalu setuju-setuju saja dengan apa yang dikatakan Jessie soal realistis pada laki-laki. Tapi untuk saat ini, jawaban Pinkan berhasil membuat Jessie dan Melody keheranan dan saling berpandangan.

“Tapi bener kata Pinkan, sih,” Melody terdiam sejenak untuk mengambil napas. “Gue kalau sama Bian itu pasti bahagia banget. Kenapa? Karena gue cinta sama dia, gue bahagia sama dia, gue bisa jadi diri sendiri kalau sama dia. Kalau sama Si Nada, gue yakin gue bakalan mimpi buruk tiap hari.”

“Siapa namanya?” tanya Jessie dengan sebaris kernyitan di dahi.

“Nada.”

“Ih, cocok!” Jessie menepuk tangannya, menyunggingkan senyumnya menatap Melody. “Melody dan Nada, menjadi sebuah alunan musik yang indah...”

“Ada juga yang menyedihkan,” sela Pinkan, mendelik sinis. “Pokoknya, keputusan ada di tangan lo. Gue nggak bisa kasih saran apa pun kalau soal ini. Tapi menurut gue, ikuti kata hati lo sebelum lo menyesal di kemudian hari.”

“Ah, shit!” Melody mendongak, meringis kecil dengan kedua mata terpejam. “Gua serasa jadi tumbal.”

“Tumbal proyek?” tanya Jessie dan Pinkan bersamaan dan ujungnya tertawa.

“Lebih parah dari itu kayaknya.”

“Proyek yang lu bangun sekarang, ada tumbal, nggak?” tanya Pinkan.

“Nggak, lah, gila!” Melody melempar kentang goreng ke Pinkan.

Sementara Pinkan dan Jessie cekikikan geli.

“Nggak, Mel. Maksud gue, kalau ada, mending Si Nada yang jadiin tumbal,” kata Pinkan di sela ketawanya. “Jadi aman. Lu aman, bokap nyokap lu aman.”

“Yeeuuu! Gila lu!” kata Jessie. “Pokoknya, saran gue tetap sama. Lo turutin apa mau bokap nyokap lo, demi lo juga biar nggak selalu ditodong golok tiap lo balik ke rumah.”

Melody menghembuskan napasnya kuat-kuat, menutupi penuh wajahnya dengan telapak tangan. Dia betul-betul bingung apa yang harus dia lakukan, apa yang harus dia pikirkan. Betul-betul mumet tidak tertolong. Saran dari kedua sahabatnya justru membuat Melody semakin gila dibuatnya. Dia bingung, harus menuruti apa kata Pinkan atau Jessie?

Karena perbedaan pendapat.

“Tapi Bian udah tahu masalah ini?” tanya Pinkan di sela menyesap gelas espressonya.

“Nah!” Melody bangkit dari tempatnya semula dan terduduk tegak menatap Jessie dan Pinkan bergantian. “Gua nggak kepikiran soal itu.”

“Alah!” Jessie mengibaskan tangannya. “Nggak usah dipikirin. Biarin. Nanti juga dia tahu...”

“Nggak bisa gitu!” sela Pinkan. “Bian cowok Melody dan dia berhak tahu!”

Jessie memang tidak menyukai Bian dan dia satu-satunya sahabat Melody yang menentang hubungan antara Melody dan Bian. Dengan alasan, insting dan feeling dia mengatakan bahwa Bian tidak akan bisa membahagiakan Melody dan hanya bisanya mengumbar kemesraan tanpa adanya keseriusan.

Padahal, nyatanya tidak begitu. Melody tidak suka dengan pemikiran Jessie yang terpacu pada insting dan feeling yang tidak pernah benar terjadi. Melody sempat berantem dengan Jessie perihal itu dan ujung-ujungnya malah tidak saling sapa apalagi ngobrol. Namun Pinkan berusaha menyatukan kembali mereka berdua dengan caranya yang bisa dibilang, sedikit drama. Dengan berpura-pura sakit keras dan meminta mereka untuk datang ke rumahnya dengan dalih perpisahan.

Nyatanya, hanya ingin menyatukan kembali mereka dengan cara berbohong sebagai permintaan terakhir sebelum meninggal. Alhasil, mau tidak mau mereka berbaikan dan hingga sekarang.

“Oke,” Jessie mengangguk-angguk. “Tapi lo, Mel, udah susun rencana buat kasih tahu Bian?”

Melody menggeleng.

“Kan.”

Lihat selengkapnya