SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #5

JALAN BUNTU

Kepala Nada sakit luar biasa setelah memikirkan perkataan Aldo soal Clara. Padahal, selama di kelab mereka have fun-have fun saja dan tidak ada menyinggung sedikit pun lagi soal Clara. Karena setelah melihat reaksi Nada yang cukup terkejut, akhirnya Bayu mengalihkan perhatian serta pusat obrolan agar tidak menjurus ke Clara, dengan cara mengajak Aldo dan juga Nada bergabung dengan pengunjung lain untuk berjoget di bawah alunan musik yang dimainkan disk joki yang semakin malam suasana semakin tak terkendali.

Akhirnya mereka setuju.

Tapi nyatanya, di balik tingkah Nada yang seolah menikmati suasana, terselip pikirannya yang ke mana-mana. Maksudnya, pikiran dia berkelana ke tempat lain dan betul-betul tidak menikmati suasana kelab malam ini. Dia menutupi semua itu dengan tertawa riang gembira dan berpura-pura memasang topeng bahagia seolah tak terjadi apa-apa dengan dirinya.

Bahkan dia tidak menikmati perempuan yang sudah dia siapkan untuknya, dan juga untuk kedua temannya itu. Rasanya seperti hambar. Bukan karena dia tidak bernafsu, tetapi justru semua pusat perhatiannya disita habis oleh satu nama, Clara.

Seperti halnya sekarang, saat dia mengemudi mobil untuk pulang ke rumah di pukul tiga dini hari, di tengah-tengah kota Metropolitan dengan kendaraan seliweran dan suara klakson silih berganti tak karuan. Lampu-lampu gemerlap memancar dari semua kendaraan yang menyilaukan mata. Sampai akhirnya Nada memilih untuk menepikan mobilnya ke bahu jalan, karena kepalanya yang amat sangat sakit sungguh terasa.

Sepertinya cowok itu cukup mabuk malam ini. Dia tidak bisa mengondisikan dan mengontrol lagi dirinya agar tetap bisa sedikit sadar untuk pulang ke rumah. Tapi nyatanya dia tidak kuat.

Cowok itu menenggelamkan seluruh wajahnya dikemudi setir. Dengan bibir tak henti-hentinya bergumam satu nama...

“Clara...”

Luka yang dihadirkan Clara belum sembuh, masih sangat basah terasa oleh Nada. Bertahun-tahun dia mencari cara untuk bertahan dalam situasi yang menyita seluruh kewarasannya dan kepercayaannya kepada perempuan.

 Berbagai pelarian sudah dia lakukan untuk bisa melupakan. Kadang dia harus bersusah payah mencari sisi dunia yang menyenangkan hati dan bisa membuatnya tertawa terbahak-bahak, untuk sekadar meluapkan segala emosi yang tertahan. Padahal nyatanya di balik itu semua ada luka yang sangat melekat dalam dada.

***

Sesuai saran dari Pinkan, akhirnya Melody mengajak Bian untuk bertemu sore ini, selepas dia pulang bekerja sekitar pukul lima sore. Di sebuah restoran cepat saji yang biasa Melody dan Bian kunjungi. Sekitar sepuluh menit Melody menunggu, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga.

Bian melambaikan tangan dari kejauhan saat sudah melihat Melody duduk di sebuah meja yang sudah Bian reservasi sebelumnya. Cowok itu menghampiri Melody dengan wajah yang semringah.

“Hai, sayang...” Bian mencium kening Melody saat gadis itu sudah berdiri untuk menyambut Bian. “Kamu udah lama nunggu?’

“Em ... lumayan,” Melody tersenyum dan kembali duduk. Disusul Bian yang duduk di hadapan Melody. “Maaf banget aku ganggu kamu.”

“Nggak apa-apa sayang. Lagian aku udah lepas jaga kok,” Bian tersenyum, mengacak puncak kepala Melody gemas. Sama seperti yang selalu dia lakukan pada kekasihnya itu. “Eh kamu parkir mobil di mana? Aku kok nggak lihat mobil kamu tadi?”

“Aku nggak bawa mobil.”

Bian sedikit terkejut, cowok itu menarik kepalanya ke belakang. “Loh? Kenapa nggak bilang? Tahu gitu aku jemput kamu tadi.”

“Nggak apa,” Melody tersenyum. “Aku nggak mau repotin kamu.”

“Sama sekali nggak,” Bian tersenyum, menatap teduh kekasihnya itu.

Tatapan penuh cinta dan ketulusan. Tatapan yang tidak pernah Melody dapat dari laki-laki lain. Tatapan yang berhasil membuat Melody selalu tenang dan merasa sangat dicintai.

Sungguh, dalam hati terdalam, Melody sangat betul-betul tidak tega untuk memberi tahu Bian masalah yang sedang melilitnya saat ini. Apalagi ini akan sangat menyakiti hati Bian. Melody tidak sanggup untuk melihat bagaimana reaksi Bian setelahnya, setelah tahu apa tujuan Melody untuk bertemu.

Bukan karena rindu. Tetapi karena sebuah kabar yang sangat serius.

“Sayang, kita pesan makan dulu, ya?” tatapan Bian menengadah sekitar untuk mencari seorang waiters.

Melody memegang tangan Bian, refleks menahan laki-laki itu untuk tidak mengalihkan perhatiannya ke yang lain, selain dirinya.

“Nggak ... emm Bian ... aku mau bicara sesuatu.”

Bian berpaling menatap Melody, dia sedikit agak terkejut saat Melody menyebut namanya. Pasalnya, selama mereka berpacaran, tidak pernah satu kali pun mereka memanggil nama satu sama lain, terkecuali dalam konteks bertengkar.

Bian bingung dengan yang Melody bicarakan. Terlebih, Bian menganggap ada yang salah pada Melody atau juga dirinya.

“Hei ... kamu marah sama aku?” tanya Bian dengan senyuman sumir. “Aku ada salah?”

Lihat selengkapnya