Derai air mata gadis itu tak henti-hentinya mengalir membasahi kedua pipinya. Tidak hentinya juga dia berusaha untuk menghentikan itu. Sudah dengan susah payah dia menahan agar suara isak tangis tersedunya tidak terdengar oleh sopir taksi yang sekarang dia tumpangi. Meski, Melody menyadari, kalau sopir itu sesekali curi-curi pandang ke arah Melody lewat kaca spion tengah.
Namun Melody tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya; bagaimana cara terlepas dari masalah perjodohan yang mungkin benar akan terjadi dan bagaimana cara dia untuk memberi pengertian pada Bian meski itu mustahil untuk bisa Bian terima.
Mobil taksi itu berhenti tepat di depan gerbang hitam yang menjulang tinggi dan tertutup rapat hingga tidak terlihat sedikit pun bangunan seperti apa di dalamnya. Melody turun setelah membayar. Bertepatan mobil taksi itu pergi, sorot lampu mobil lain terarah pada Melody dari kejauhan dan mulai mendekat, hingga gadis itu harus mengernyit dan menutupi penglihatannya akibat silaunya lampu menusuk kedua bola mata.
Seorang laki-laki turun saat sudah memarkirkan mobilnya tepat di depan Melody dan bergegas menghampiri gadis itu. Dengan upaya untuk memperbaiki semua yang sudah terjadi. Dia Bian. Sengaja menyusul Melody saat pertengkaran di restoran tadi.
Meski dia tidak berhasil membujuk Melody untuk pulang bersamanya, tapi setidaknya dia bisa membuntuti taksi yang ditumpangi Melody tanpa kendala.
Melody mendelik dengan berusaha mengontrol semua emosi. Dia tidak mau kalau-kalau harus memarahi Bian, padahal dia juga sadar kalau ini sepenuhnya gara-gara dia. Dia sadar, sudah menyeret Bian ke dalam masalahnya. Dan Melody juga sadar, tidak seharusnya dia marah apalagi harus pergi begitu tanpa berpikir tentang hubungannya dengan Bian akan seperti apa ke depannya.
“Ada apalagi, Bian?” tanya Melody bagai putus asa dengan suara lirih.
“Aku pengen kita bicara,” kata Bian sembari memegang tangan Melody. Penuh harap agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. “Tanpa ada amarah.”
“Bicara apalagi, Bian?” tanya Melody bagai menyerah. “Udah jelas juga, kan?”
“Jelas apanya?”
“Jelas kalau kamu udah nyerah dan pasrah kalau aku nikah sama cowok asing itu.”
Bian meneguk ludah. Bahkan dia tidak bisa berkata-kata lagi.
“Bodohnya aku juga...” Melody tertawa miris, melepaskan genggaman tangan Bian dan cukup membuat Bian terkejut dibuatnya. “Kenapa aku harus bawa kamu ke dalam masalah aku, ya?”
“Aku pacar kamu...”
“Tapi ... seharusnya kalau pacar, nggak rela dong lihat pacarnya sendiri nikah sama cowok lain?” kedua alis Melody terangkat. Dia tersenyum sumir dan menghela napas untuk sedikit menenangkan emosinya yang kembali meluap. “Aku pikir pacaran kita selama lima tahun ini sia-sia, ya, Bi?”
“Ngomong apa sih kamu?!” Bian terdiam sejenak, dengan tatapan tajam pada Melody. “Aku kayak gini, bukan berarti aku pengecut yang rela kamu nikah sama cowok lain!”
“Ya udah, kalau emang bener kayak gitu ... kamu buktiin dong,” Melody tersenyum sumir, bagai menantang Bian untuk membuktikan semua yang dikatakan cowok itu benar. Untuk membuktikan juga keseriusan cowok itu soal hubungannya selama ini. “Temuin keluarga aku sekarang. Kamu bilang, kalau kamu serius. Cowok gantle pasti nggak akan takut dan cowok yang serius, pasti langsung datengin orang tuanya ke rumah. Tanpa basa-basi ini-itu.”
Merasa dirinya ditantang, Bian menyanggupi itu dengan anggukan percaya diri. Dia menarik tangan Melody untuk segera masuk ke dalam gerbang yang masih tertutup rapat itu. Tapi bisa Bian yakini, kalau di dalam sudah ada orang tua Melody.
“Sekarang aku buktiin!”
“Aku nggak mau kamu terpaksa loh, Bi ....”
Belum selesai Melody bicara, dering ponselnya terdengar di dalam tas. Dia melepaskan tangan Bian, mengambil ponsel itu dan melihat layar dengan penasaran, siapa yang sudah menghubunginya.
Papa is calling...
Melody melirik Bian yang menatapnya penuh rasa penasaran. Gadis itu menggulir tombol hijau ke atas, menempelkan benda tipis itu di telinga. Terdengar suara Herman di balik telepon sana menyapa.
“Ada apa, Pa?”
“Kata Pak Danu kamu ada di depan gerbang. Ngapain? Cepat masuk, kita udah nunggu kamu lama.”
Melody mengernyit heran. Iya, dia heran. Maksud dari menunggu itu untuk apa?
Namun dia tidak banyak bertanya. Dalam benaknya dia merasa ini waktu yang tepat untuk Bian berterus terang pada Herman dan juga Ani soal keseriusan hubungannya dengan Melody selama ini. Tidak menutup kemungkinan juga, perjodohan ini bisa saja batal dan tidak akan pernah terjadi.
Iya, Melody berpikiran begitu. Tidak ada salahnya. Meski dia tahu, pasti ada kabar buruk yang telah siap menyambutnya di dalam rumah sana. Setidaknya dia ada sedikit perlindungan kalau bersama Bian.
Sebelum itu, Melody memberi sedikit peringatan pada Bian, setelah menutup telepon Herman.
“Papa udah nunggu di dalam. Dan ini kesempatan untuk kamu buktiin ke mereka, kalau kamu serius sama aku dan kamu bakalan lamar aku...”
“Tapi nggak untuk sekarang, Mel...” sela Bian memotong perkataan Melody, dengan raut wajah yang berubah pucat sekaligus terkejut di waktu bersamaan. Rasanya seperti dimintai pertanggungjawaban dengan kesalahan fatal. “Aku nggak ada persiapan apa-apa untuk sekarang. Kamu sendiri juga tahu itu, kan?”
“Iya nggak sekarang, Bian...” Melody menghela napas, menatap Bian intens. “Sekarang kamu pokoknya yakinin orang tua aku kalau kamu serius. Itu aja udah.”
Bian menghela napas, lalu mengangguk setuju dan yakin dengan apa yang akan dia lakukan sekarang. Meski dia tidak yakin dengan pernyataannya di depan kedua orang tua Melody akan diterima apa tidaknya, tapi untuk meyakinkan itu dia harus membuktikannya sendiri.