Jalanan kota Jakarta setiap malam adalah musuh terbesar para pekerja yang baru saja pulang dari kantor, karena harus berhadapan langsung dengan kemacetan diiringi dering klakson silih berganti dari setiap pengemudi yang tidak sabaran.
Sama halnya dengan Melody saat ini—saat dia baru pulang dari sebuah kafe yang sebelumnya dia kunjungi dengan Pinkan dan juga Jessie—dia harus ekstra sabar menghadapi situasi macam begini. Situasi di mana menguji kesabaran untuk terus bertahan di tengah-tengah jebakan kemacetan kota Metropolitan. Tidak ada celah untuk menyalip, apalagi untuk putar balik.
Punggung Melody sudah sangat lelah menunggu kendaraan di sekitar yang tidak bergerak, sudah dua puluh lima menit gadis itu diam di sana tanpa pergerakan sedikit pun. Benda tipis yang dia charger itu berdering di tengah-tengah alunan musik dari Oasis yang berputar dari audio, gadis itu menyambar ponselnya, menatap layar dengan penuh rasa penasaran.
Mama is calling...
Melody mendengus kasar ketika melihat siapa yang sudah menghubunginya. Pasti ada sesuatu yang tidak ingin Melody dengar. Dia tidak mengindahkan, justru dia kembali menyimpan ponselnya itu dan berpaling menatap lurus ke depan—menatap lampu-lampu kendaraan yang memancar dan menyilaukan mata—itu lebih baik ketimbang harus berseteru dengan Mama yang bisa saja membuat Melody naik pitam.
Namun, sepertinya suara dering ponsel itu lebih mengganggu daripada suara klakson kendaraan sekitar. Mau tidak mau, Melody menerima panggilan telepon itu walau di awali dengan dengusan jengkel.
“Halo, Sayang. Kamu masih di mana?”
Dih! Sayang? Tidak salah dengar?
Suara Ani terdengar di balik telepon sana, saat gadis itu baru saja menempelkan benda tipis itu di telinga.
“Di jalan,” jawab Melody datar.
“Cepat pulang ya, sayang....”
“Iya ini mau pulang.”
“Masih jauh?”
“Macet.”
“Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan....”
Melody menutup telepon tanpa menjawab perkataan terakhir Ani. Dia melempar ponselnya itu ke kursi penumpang di sampingnya, memijat dahinya yang mulai terasa pusing.
Cih! Sejak kapan Ani peduli pada Melody? Terdengar sangat aneh dan geli, tentunya, saat Ani bilang “Hati-hati di jalan” bukannya senang justru membuat Melody jengkel. Terkesan terpaksa memberi Melody perhatian seperti itu karena keinginan Ani dan Herman sudah Melody turuti. Mungkin, bisa jadi, perlakuan Ani macam begitu sebagai tanda penebus dosa karena sikapnya selama ini pada Melody yang jauh dari kata sempurna?
Jika memang begitu ... Melody tidak butuh!
Netra cokelat milik Melody yang dilapisi lensa berwarna abu-abu itu menengadah sekitar, melihat situasi dengan banyak pengamen yang menghampiri banyak kendaraan. Namun perhatian dia bukan tertuju ke sana, melainkan ke salah satu Aparat yang sedang mengatur lalu lintas, yang berjalan menyelusuri kendaraan sekitar.
Tersungging senyuman sumir di bibir tipis berlapis lipstik merah yang sudah sedikit agak pudar itu. Dia teringat Bian. Dia teringat bagaimana laki-laki itu selalu memberinya semangat di saat menghadapi situasi macet begini. Dia teringat bagaimana cara Bian menghibur Melody jika Melody merasa sedih. Dia juga teringat bagaimana perlakuan Bian yang selalu membuatnya nyaman tanpa merasakan rasa bosan.
Kini semua itu bagai hilang di telan udara dan fakta bahwa hubungan mereka sudah tidak baik-baik saja. Bahkan jauh harus kembali baik lagi seperti dahulu. Karena sejak kejadian Bian datang ke rumah Melody kemarin, sudah tidak ada kabar dari Bian lagi. Meski Melody berusaha untuk menghubunginya, namun semua itu sia-sia. Yang ada, semua akses Melody diblokir oleh Bian dan tidak ada cara untuk Melody melakukan kembali pendekatan pada kekasihnya itu.
Bahkan, apakah kata kekasih itu masih pantas Melody sematkan untuk Bian? Jika status Melody sudah menjadi tunangan bahkan calon istri orang lain?
***
Nada baru saja pulang dari kantornya. Cowok itu baru sampai di rumah, turun dari mobilnya dan berjalan menyusuri lantai granit dengan pilar-pilar tinggi ala desain Yunani, untuk sampai di pintu utama. Di sepanjang dia melangkahkan kaki, terdengar gemercik air mancur dari kejauhan dipadu dengan suara cicit burung.
Kemeja putihnya tampak kusut, jas hitam yang dia gantungkan dibahu kiri dengan celana dasar yang tidak kalah kusut seperti kemejanya, dasi merah bercorak hitam itu dia longgarkan dan memberi kesan penampilannya berantakan. Rambut yang selalu klimis itu tampak tidak beraturan posisi setiap helainya, wajahnya tampak sangat lelah. Kesan rapi yang selalu orang-orang sematkan untuk laki-laki itu bagai hilang ditelan waktu dan juga tenaga.
Cowok itu membuka pintu yang menjulang tinggi itu, dia terperanjat saat mendapati Dodi yang sudah berdiri di balik pintu dengan tatapan intens pada Nada, kedua tangan terlipat di depan dada dan berdiri tegap bagai pengawal yang menjaga pintu utama. Netra cokelat milik Dodi menari-nari menyusuri tubuh Nada dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Eh, Papa. Bikin kaget aja,” sahut Nada dengan senyuman kikuk, memecahkan perasaan yang mulai menekan.
Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres!
“Cepat mandi, ganti baju. Kamu harus berpenampilan rapi malam ini!” kata Dodi menginterupsi.
Nada mengernyit heran. Dia heran mengapa Dodi menyuruhnya demikian?
“Ada acara apalagi, Pa?” tanya Nada bagai lelah.
“Malam ini kamu ke rumah Melody, ajak dia makan malam. Papa udah reservasi restoran Belleric untuk kalian berdua.”
“Hah?!”
Wajar saja Nada terkejut. Dia baru pulang, dalam keadaan penat dan juga pusing di kepalanya. Tiba-tiba mendengar permintaan Dodi yang sama sekali tidak ada rencana sebelumnya, tidak ada kabar sebelumnya, tidak ada persiapan apa pun untuk Nada.
Ah, sial! Mengapa harus begini? Dia tidak bisa membantah, bahkan hanya mendengus saja dia tidak kuasa. Keberaniannya selalu ciut jika di depan Dodi.
Alhasil, mau tidak mau, dia menghela napas panjang kemudian mengangguk setuju dengan apa yang Dodi mau.