Nada melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menikmati perjalanan dengan alunan musik Perfect dari Ed Sheeran berputar di audio, mengatasi suasana hening yang tercipta semenjak mobil melaju meninggalkan rumah Melody.
Sebetulnya perasaan Nada deg-degan juga menyambut makan malam pertamanya dengan Melody berduaan seperti ini. Masalahnya, ini kali pertama untuk Nada makan malam dengan perempuan yang akan berstatus menjadi istrinya dalam waktu dekat. Meski demikian, ini semua hanya karena keterpaksaan, tetapi rasanya canggung juga.
Aneh! Iya, aneh! Kenapa? Seharusnya Nada tidak usah seperti itu. Apalagi melihat sikap Melody yang sedari awal memasang wajah masam dan sangat cuek. Bahkan cewek itu sepertinya tidak menganggap Nada ada di sampingnya. Bisa jadi, yang Melody anggap hanya seorang sopir yang akan membawanya untuk makan malam buta.
Demi meminimalisir kegugupannya, Nada bersenandung mengikuti alunan musik yang dinyanyikan Ed Sheeran.
“Baby, I’m dancing in the dark
With you between my arms....”
Mendengar Nada bernyanyi, refleks menarik perhatian Melody untuk menatap nyalang pada laki-laki yang ada di sebelahnya ini. “Berisik! Suara lo sumbang! Nggak usah kepedean!”
“Lah ... suara-suara gua, mobil-mobil gua. Kenapa lu yang repot?” timpal Nada. Padahal dalam hatinya dia bergumam; aduh sial! Kenapa gua kasar?
“Gue yang denger, sakit telinga gue denger lo nyanyi. Denger suara lo aja gue nggak sudi!”
“Alah! Sebentar lagi kita satu rumah.”
Melody terdiam, dia kembali berpaling menatap pohon-pohon di pinggir jalan, yang tampak seperti berlarian mengejar Melody namun tertinggal jauh di belakang.
Perkataan Nada membuat dia kembali berpikir dan membayangkan bagaimana jadinya nanti jika sudah tinggal satu atap dengan laki-laki itu? Laki-laki asing yang Melody tidak tahu bagaimana sikap dia, bagaimana perlakuan dia dan bagaimana saat dia marah?
Apakah dia sesabar Bian?
Apakah dia sebaik Bian?
Apakah dia semenyenangkan Bian?
Apakah dia selalu mengalah sama seperti Bian?
Melody tidak tahu dan tidak bisa menduga-duga bagaimana perlakuan Nada setelah mereka menikah nantinya. Apalagi konteks dari semua ini tanpa pendekatan terlebih dulu.
Ta’aruf? Bukan! Terpaksa? Iya!
Beda konteks, kan?
“By the way, mandi lo lama banget sih. Mandi apa bertapa?” sahut Nada dengan senyuman menyeringai.
“Dih...” Melody berpaling menatap Nada. Menarik tubuhnya hingga mentok ke pintu, untuk menjaga jarak dari cowok itu. “Suka-suka gue. Kenapa lo yang repot? Lo juga, ngapain pakai outfit item-item? Mau ngelayat lo?”
“Iya ...,” Nada mengangguk dengan senyuman sarkastis, berpaling menatap Melody dan mendekat. Hingga membuat Melody harus menarik kepalanya ke belakang, untuk menjauh dari wajah Nada. Bahkan cowok itu tidak peduli dengan jalanan di depan, dengan kendaraan yang melaju di hadapannya. “Ngelayat perasaan lo yang lagi berduka karena ditinggal putus. Ha ha ha!!”
Aroma maskulin tubuh Nada menyeruak, memaksa masuk ke dalam indra penciuman Melody. Aroma itu sangat menenangkan. Terkesan seksi dan juga jantan.
Ah, shit! Kenapa aroma itu berhasil menyita perhatian Melody?
“Sialan!” Melody mendorong wajah Nada agar menjauh, berusaha mengembalikan perhatiannya lagi. “Nggak usah sok tahu! Gue nggak putus, ya, sama dia!”
Meski Melody tidak tahu juga bagaimana status hubungannya dengan Bian.
“Masa? Berarti itu cowok kuat juga, ya?”
“Nggak usah rempong deh lo! Nggak usah urusin hidup gue!”
Nada hanya tersenyum dengan bibir melengkung ke bawah, terkesan meremehkan.
Tidak ada percakapan cekcok lagi di dalam mobil sana. Hening mencuat hanya suara musik yang sudah berganti menjadi Taylor Swift mengalun indah, sampai akhirnya Nada mengarahkan mobilnya ke salah satu restoran ternama di tengah pusat kota. Belleric.
Mobil berhenti disusul dengan mesin mobil mati. Nada membuka seatbelt, begitu juga dengan Melody. Saat gadis itu hendak membuka pintu untuk turun, Nada menahan tangan Melody dan refleks gadis itu tersentak kaget.
“Nggak usah ambil kesempatan!” bentak gadis itu. Melepaskan tangan Nada kasar, dengan raut wajah bagai jijik tak sudi.
“Dengerin gua, Mel, baca bibir gua. Gua cuma mau kasih tahu lo, ini restoran milik Om gua—adik bokap—jadi gua mau dan minta sama lo, untuk jaga sikap di sana. Layaknya kita nggak dalam keadaan terpaksa. Ngerti?”
Melody memutar bola matanya malas. “Gimana nanti.”
“Nggak usah keras kepala. Di sini gua minta kerja samanya aja, sama-sama sebagai korban.”
Melody menghela napas panjang, sebelum akhirnya mau tidak mau dia mengangguk setuju.
***
“Lo mau gua peluk atau lo pegang tangan gua?”
“Dih! Ogah! Nggak mau dua-duanya!”
“Kerja sama, Mel. Nanti yang nyambut kita di pintu masuk pasti Om gua. Percaya deh!”
Melody memutar bola matanya, dengan terpaksa dia mengaitkan lengannya di antara lengan Nada. Berlagak romantis untuk kencan buta malam ini dan demi kerja sama untuk terlihat baik-baik saja di depan adik dari Dodi itu.
Meski Melody tidak yakin, apa yang dikatakan Nada itu benar, atau hanya tipu dayanya saja? Demi mengambil kesempatan dalam kesempitan?
Entah! Demi cari aman, dia menurut.
Mereka berjalan mendekat sampai tiba di depan pintu masuk restoran. Benar apa yang dikatakan Nada, terlihat laki-laki sedikit paruh baya berdiri di sana dan dari kejauhan tersenyum untuk menyambut mereka berdua. Saat sudah semakin dekat, laki-laki itu menyapa;
“Selamat malam, Nada. Apa kabar?”
“Baik, Om, baik,” mereka berjabat tangan dan tersenyum. “Om sendiri gimana?”
“Baik juga, Nad...” laki-laki itu berpaling menatap Melody. “Ini Melody?”
Melody tersenyum seramah mungkin untuk menunjukkan kesan pertama pertemuan. “Iya, Om. Saya Melody.”
“Kenalkan, saya Diki, adik dari Papanya Nada,” Diki tersenyum ramah, menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Melody. Gadis itu membalas uluran tangan Diki. “Ya sudah kalau gitu, mari masuk. Om sudah siapkan tempat istimewa untuk kalian berdua.”
“Duh, jadi ngerepotin, Om,” kata Nada kikuk sambil mengusap tengkuknya. Dia merasa malu juga, apalagi konteksnya saat ini bisa dibilang yang Nada dan Melody lakukan adalah sebuah drama.
“Nggak, Nada. Ayo mari.”
Diki berjalan, Nada dan Melody mengekor.
Suara ketukan high heels Melody menggema, menciptakan suara dramatis di restoran yang masih sepi pengunjung. Sorotan mata tertuju ke arah Melody, saat gadis itu berjalan dengan sedikit dagu yang terangkat bak seperti model yang berjalan di red carpet. Melody mengibaskan rambutnya, justru semakin menjadi-jadi menampakkan pesonanya di hadapan pengunjung restoran. Dia mengitari pandangan dan menangkap pusat perhatian orang-orang tertuju padanya, apalagi para laki-laki yang seakan terkesima dengan penampilan Melody.
Hingga sampai di suatu ruangan privat, desain elegan dengan warna emas mendominasi menciptakan kesan hangat untuk siapa pun yang berada di ruangan itu. Lampu yang redup dengan suasana klasik namun menyimpan kesan romantis.
Bunga mawar tersusun rapi di setiap sudut ruangan, meja dan kursi yang sudah dihias sedemikian rupa menambah kesan lebih hidup. Di atas meja, terdapat lilin apung dengan aroma relaksasi menenangkan dan vas bunga mini malis dengan dua tangkai mawar merah.
“Silakan, ini ruangan khusus kalian.”
Nada tersenyum. Sementara Melody tidak.