SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #10

AMBIL KENDALI

Jakarta siang ini sangat panas. Bagai Bumi mengitari Matahari sangat dekat dan membuat penduduk Jakarta serasa mandi keringat. Sudah tiga puluh menit Melody meremas ujung jas kerjanya dan sudah selama itu juga dia duduk di halaman kantor Polisi dekat patung Macan Kumbang, terkenal identik dengan maskot Kepolisian. Meski tidak terkena sinar Matahari langsung, tetapi terik Matahari siang ini berhasil menusuk kulit Melody.

Bukan tanpa alasan dia diam di sana, tidak lain hanya untuk menunggu Bian. Meski, sebelumnya dia sudah meminta tolong pada salah satu kawan Bian untuk memberitahu kalau Melody ingin bertemu. Namun, hingga saat ini, dan selama ini, Bian belum juga terlihat batang hidungnya.

Melody menyerah. Bukan karena dia tidak mau menunggu, tetapi karena di kejar waktu. Itu pun dia pintar-pintar mencuri waktu di saat jam istirahat dan memilih untuk ke tempat kerja Bian. Dia bahkan belum makan siang dan dia tidak peduli meski perutnya sedari tadi tak hentinya memberi sinyal, bahwa sudah waktunya pengisian.

Gadis itu berjalan ragu untuk masuk ke dalam kantor itu, dia mengintip ke arah dalam, berniat ingin pamit saja pada kawan Bian yang ada di sana. Namun, saat dia menengadah sekitar, pandangannya terpusat pada satu orang yang sedari tadi dia tunggu; Bian.

Laki-laki itu berjalan berdampingan dengan kawannya yang sebelumnya Melody titip pesan padanya. Refleks senyuman penuh harap itu tersungging di bibir yang dilapisi lipstik merah merona.

Hingga pandangan Bian dan Melody bertemu.

Thanks, Bro!” kata Bian ke kawannya, Egi.

“Siap!” Egi menepuk bahu Bian dan tersenyum pada Melody. “Sorry, ya, lama. Tadi di panggil Kompol dulu.”

Melody mengangguk dan tersenyum. “Nggak apa-apa. Makasih banyak, ya, Gi.”

“Oke. Kalau gitu gue pamit.” Egi pergi.

Sementara Bian melambaikan tangannya dan berpaling menatap Melody yang tersenyum.

“Ada apa?” tanya Bian. “Mau kasih undangan?”

“Bian...,” rengek Melody. Gadis itu memegang tangan Bian, membuat pandangan Bian mengikuti pergerakan tangan Melody. “Aku pengen bicara sama kamu.”

“Bicara apa?”

Bian masih tetap sama dengan ciri khasnya yang membuat Melody selalu nyaman; lembut dan juga menenangkan.

“Kita di luar, yuk? Ada hal penting buat kamu dan aku juga.” Melody menuntun tangan Bian untuk keluar dan duduk di kursi panjang yang semula Melody menunggu di sana. Dia mengeluarkan surat perjanjian yang semalam sudah dia tanda tangan bersama Nada dari dalam tasnya. “Ini ... kamu baca. Aku harap kamu paham.”

Bian mengernyit heran. Dia mengambil map itu dan membukanya, membaca poin-poin surat perjanjian Melody dengan Nada. Bian tersenyum sarkastis, dia menggeleng tidak habis pikir. “Konyol! Masa ada surat perjanjian pra-nikah kayak gini?”

“Ini buktinya?” jawab Melody. “Kamu tahu sendiri, kan, pernikahan aku sama dia itu terpaksa dan kamu tahu sendiri juga kalau aku nggak bisa buat terima ini semua? Kamu tahu sendiri juga, kan, kalau aku cuma cinta sama kamu.”

“Tapi nggak seharusnya kayak gini juga, Mel. Status kamu nanti jadi istri sah dia, loh. Nggak sepatutnya kamu bikin ginian!” kata Bian sambil mengacungkan map itu.

“Orang dia juga setuju kok. Lagian ini tanpa unsur paksaan aku dan dia fine-fine aja, dengan syarat dia tambah poin yang udah aku sepakati juga.”

Bian diam. Dia kembali membuka map itu, kembali membaca isinya meski dengan gelengan kepala tidak habis pikir. Apalagi saat membaca poin-poin tambahan Nada. “Cowok sakit!”

Melody menghela napas. Dia tak lepas menatap Bian dengan penuh harapan, Bian mengerti maksud dari apa yang Melody tunjukkan dan dari apa surat perjanjian itu dibuat.

“Jadi ... sesuai sama poin yang tercantum dan penjelasan di sana, selama aku nikah sama cowok itu, aku bisa jamin seratus persen aku nggak bakalan pernah disentuh sama dia sedikit pun. Aku sama dia bakalan jalani hidup kita masing-masing setelah menikah. Pernikahan kita hanya sebatas formalitas di depan keluarga dan sebuah drama. Selebihnya, aku sama dia udah sepakat kalau kita bakalan jadi asing meski tinggal satu rumah.”

Bian diam. Memandang Melody dan berusaha mencerna setiap penjelasan gadis itu.

“Dan yang aku mau sampai kapan pun cuma kamu, Bian. Kehilangan kamu membuat aku hilang arah.”

“Jadi?”

“Jadi ... aku mau kita tetap berhubungan meski status aku jadi istri dia—”

“Gila kamu!” sela Bian tak setuju. “Aku emang nggak pernah bisa lupain kamu. Tapi nggak kayak gini juga, Mel! Aku juga punya harga diri dan aku nggak mau dicap sebagai perusak atau penyusup rumah tangga orang—”

“Bian ... pernikahan ini hanya sebatas formalitas!” sela Melody. Dia terdiam sejenak untuk mengambil napas. “Kasih aku waktu satu tahun untuk jalani pernikahan ini. Dengan semua janji yang udah aku tulis di surat perjanjian itu dan kamu tahu sendiri, kan, aku orangnya nggak pernah ingkar janji? Dan selebihnya, aku pengen sama kamu! Bagaimanapun caranya, aku bakalan perjuangin kamu!”

Bian diam. Menyugar rambutnya frustrasi. Bahkan dia sendiri tidak mengerti dengan jalan pikiran Melody dan dia juga tidak bisa merespons apa-apa.

Memahami Melody ... Si perempuan yang punya ciri khas dari orang-orang yang disematkan khusus untuknya, yaitu; teguh pendirian dan keras kepala. Bahkan Bian sendiri, terkadang tidak bisa melawan atau memberi saran kalau Melody sudah dalam mode itu.

“Itu gila namanya, Mel—”

“Terserah kamu mau anggap aku gila atau apa, yang jelas perkataan aku nggak main-main. Dan kamu bisa lihat sendiri di sana—di bagian tanda tangan—itu ada darah aku sama cowok itu. Kurang jelas apalagi?”

Bian mengernyit. Bahkan dia tidak sadar dengan tinta darah yang dimaksud Melody. Cowok itu kembali membuka surat perjanjian itu dan melihat di bagian tanda tangan. Dia terkejut, berpaling menatap Melody dan tidak percaya dengan hal gila yang sudah Melody lakukan.

Karena pada dasarnya—selama yang Bian kenal—Melody tidak senekat ini. Tidak sebrutal ini dan Melody termasuk perempuan yang takut melihat darah bahkan dia tidak mau kalau sampai bagian tubuhnya ada yang terluka.

“Gimana?” tanya Melody memastikan. Dia menyeringai. “Sekarang aku mau, kamu buka semua akses aku buat bisa hubungi kamu yang udah kamu blokir. Masa, pacaran nggak ada kabar? Kan, nggak mungkin. Oke, sayang?” Melody mengelus lembut pipi Bian. “Mulai sekarang, nggak ada manggil nama lagi, oke? Aku sepenuhnya milik kamu, dan kamu sepenuhnya milik aku.”

Tanpa permisi, dia mengecup pipi kiri Bian lalu memeluknya. Melody bahkan tidak peduli dengan keadaan sekitar yang mungkin saja ada yang memergoki atau juga yang tak sengaja melihat tindakan Melody. Dia sungguh tak peduli!

Sementara Bian diam tak berkutik. Dia tidak bisa berkata apa pun lagi, bahkan bibirnya seperti terkunci. Yang bisa Bian lakukan hanya membalas pelukan Melody, dengan rasa bingung seperti hilang arah dan juga linglung.

***

Nada baru saja terbangun dari tidurnya, setelah curi-curi waktu untuk tertidur di ruang kerjanya. Karena semalam setelah pertemuannya dengan Bayu dan Aldo di sebuah kelab, dia pulang pukul dua dini hari—karena harus terjebak di tengah kemacetan kota Metropolitan selama satu jam lamanya—dan jarak antara kelab dan rumahnya pun terbilang lumayan. Alhasil, dia harus sembunyi-sembunyi untuk masuk ke dalam rumah. Untungnya saja, Dodi dan Lina saat itu sudah tertidur lelap, jadi cowok itu aman untuk tidak menjawab sederetan pertanyaan yang pastinya mematikan.

Dia menggeliat seperti ulat, saat tubuhnya terasa pegal-pegal. Cowok itu memijit tengkuknya yang terasa sangat sakit. Mungkin masuk angin, atau juga karena kelamaan tidur di atas meja dengan tangan terlipat sebagai bantal. Namun bersamaan dengan itu, perhatiannya tersendat saat mendengar ponsel yang disimpan di samping laptopnya berdering.

Dia menyambar benda tipis itu.

Lihat selengkapnya