Jangan pikir Nada akan canggung satu kamar dengan perempuan, tentu saja tidak. Dia pernah hidup di Amerika dengan pergaulan bebas. Di mana berpakaian terbuka atau satu kamar dengan perempuan sudah menjadi hal yang lumrah untuk Nada dan suatu hal yang biasa.
Berbeda dengan Melody tentunya. Melody membuka kelopak mata ketika cahaya matahari menggelitik wajahnya, diiringi suara gorden terbuka. Hingga cahaya matahari itu sepenuhnya masuk ke dalam kamar dan memaksa Melody untuk bangun. Terlihat siluet hitam karena pantulan sinar matahari menampakkan sosok laki-laki tinggi besar sedang membelakanginya. Dia mengerjapkan mata berkali-kali berharap pandangannya salah, berusaha mengumpulkan nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul. Pikirannya ngawang, mengucek kedua matanya dan saat sudah terlihat jelas. Dia berteriak.
“Aaaaaarrggghhh!!!” gadis itu menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut, hanya memperlihatkan setengah kepalanya sampai mata. Dia betul-betul kaget ada sosok laki-laki di kamar itu. “Siapa lo?!”
Sosok itu berbalik dengan manik mata memutar malas. Dia berkacak pinggang. Siapa lagi kalau bukan Nada, suaminya.
“Nggak usah sok amnesia deh lo! Lebay pagi-pagi jerit-jerit, kayak lihat monster aja.”
Rupanya Melody tidak ingat kalau dia sudah menikah. Dia menghela napas diikuti menurunkan selimutnya. Dia berusaha mengatur detak jantungnya yang hampir saja copot.
“Ini real gua kaget. Nggak ada amnesia atau dibuat-buat. Lagian lo ngapain lagi ngagetin di sana?”
“Ini udah siang, matahari aja udah nyuruh lo bangun. Dasar kebo cewek-cewek!” Nada berjalan menuju sofa, menyambar remot televisi di atas meja dan menyalakan televisi itu.
“Mau mandi dulu apa sarapan?” tanya Nada.
“Mandi.” Melody bergegas menuju toilet.
Nada mendesis, mengikuti arah pergerakan Melody. Dia berpaling menatap tempat tidur Melody, cowok itu berdecak. “Cewek-cewek bukannya langsung diberesin malah ditinggal. Dia yang tidurin, orang yang beresin. Gua yakin dia nggak bakalan beresin ini tempat tidur. Anak manja begitu!” Nada bermonolog.
Dia bangkit dan merapikan bantal dan selimut Melody, tidak lupa juga merapikan seprei yang acak-acakan. Bahkan Nada saja tidak paham bagaimana gadis itu tidur sampai kondisi kasurnya seperti ini.
Jangan salah, meski Nada di rumahnya selalu diRajakan oleh Mbok Yem, semua apa pun yang Nada butuhkan bahkan merapikan kamar saja tugas Mbok Yem, tapi perlu digaris bawahi kalau Nada tinggal di Amerika sudah hampir lima tahun dan sendiri. Jadi, kalau hanya untuk merapikan kamar sudah menjadi rutinitas sehari-harinya di sana. Berbeda dengan Melody, kamar gadis itu pasti saja selalu dirapikan oleh Bi Tini. Tidak pernah Melody merapikannya sekalipun.
Tidak terlalu buruk hasil dari beberes Nada. Dia kembali menonton televisi. Terdengar suara senandung gadis itu di dalam toilet, tapi anehnya Nada tidak mendengar suara percikan air jatuh menyentuh lantai. Oh, atau mungkin Melody berendam? Entahlah!
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan, sementara Melody sudah ada di toilet sejak satu jam yang lalu. Nada berdecak, masalahnya di sini mereka mau sarapan. Sementara kondisi Nada belum mandi dan sekarang Melody belum juga keluar. Bagaimana ceritanya kalau sarapan mereka kesiangan? Dan perut Nada sedari tadi tidak hentinya memberi sinyal.
“Ck! Lama banget sih!”
Nada berjalan menuju toilet, berniat untuk mengetuk pintu dan memperingati Melody untuk segera menyelesaikan mandinya. Baru saja tangannya terangkat, kenop pintu itu berputar dan pintu terbuka. Nada meneguk ludah, tatapannya langsung tertuju ke satu objek, tubuh Melody yang di balut bathrobe memperlihatkan belahan dadanya yang begitu jelas. Nada mencoba mengembalikan konsentrasinya, jangan sampai dia lupa dengan tujuan dia di depan pintu sana.
“Ih! Ngapain lo! Mau ngintip, ya?!” Melody refleks menutup dadanya dengan menelungkupkan kedua tangan.
“Mandi lo lama!” kini pandangan Nada menunduk. “Gimana ceritanya sarapan siang-siang begini.”
Melody memiringkan tubuhnya, menatap jam yang menempel di dinding dekat sofa. “Dih, baru jam delapan juga.”
“Ya udah awas, gue mau mandi!” Nada sedikit mendorong pelan Melody ke samping. Membuka jalan untuk dirinya masuk ke dalam toilet.
Melody mendelik, gadis itu berjalan menuju koper, memilih baju yang akan dipakai. Nada perlahan menoleh untuk menatap Melody, gadis itu sedang berjongkok, ujung bathrobe-nya sedikit tersingkap, memperlihatkan kaki serta paha Melody yang jenjang nan putih mulus. Nada melebarkan kelopak matanya dan segera memasuki toilet. Tidak ingin berlama-lama menatap Melody yang mustahil kalau imannya tidak goyah.
***
Melody sibuk memainkan ponsel dan berdiri menghadap balkon dengan jendela yang terbuka, hingga embusan angin menyelundup masuk ke dalam kamar. Dia sibuk membalas pesan masuk dari teman dan rekan kerja mengucap kata selamat atas pernikahan.
Benar saja dugaan Melody, untung saja semalam dia tidak membuka ponsel karena di grup Astreo Magma gempar menggoda Melody soal pengalaman malam pertamanya dengan Nada. Jelas membuat Melody geli membacanya.

Gadis itu terlalu asyik dengan ponselnya sampai tidak menyadari bahwa Nada sudah keluar dari toilet. Cowok itu telanjang dada, dengan balutan handuk yang melingkar di pinggangnya. Melody berbalik, perhatiannya masih disita habis oleh benda digital itu. Gadis itu berjalan menuju sofa, bertepatan Melody mengangkat wajah, Nada baru saja berdiri saat sudah mengambil bajunya di dalam koper sana.
“ASTAGA!” Melody memekik. Bahkan ponselnya hampir saja terjatuh. Pandangannya terpusat pada dada bidang Nada, begitu tegap dan berbulu, pandangannya turun ke bawah—ke perut rata Nada yang kotak-kotak. Dia kembali memekik dan menutup mata. “Sialan lo! Kenapa nggak pakai baju!”
“Lupa. Lagian lo juga tadi pakai baju di kamar.” Nada melengos pergi menuju toilet.
“Beda! Tadi kan lo langsung masuk ke toilet, gantian mandi. Kalau sekarang gue, kan, ada di sini,” Melody bagai bermonolog karena Nada sudah masuk kembali ke dalam toilet.
Sudah dipastikan Nada tidak mendengar ocehan Melody.
Sampai Nada kembali, melihat Melody masih dalam posisinya dengan mata yang masih terpejam. Lucu juga melihatnya, Nada ingin menjahili Melody. Dia bahkan tidak bersuara sampai suasana di dalam kamar hotel itu hening.
Cowok itu menyemprotkan parfume ke bagian tubuhnya. Mencium parfume Nada, Melody curiga kalau Nada sudah selesai memakai baju. Tapi dia masih ragu juga, bagaimana kalau saat dia membuka mata justru yang terlihat Nada masih belum pakai baju?
Ih! Ngeri!
Nada menarik ujung bibirnya menatap Melody yang masih setia dalam posisi. Cowok itu membuka pintu hotel. “Gitu aja terus sampai check-out.” Cowok itu keluar kamar dan kembali menutup pintu.
Melody yang tersadar sudah dikerjai Nada, dia membuka matanya. “Sialan itu cowok, malah ninggalin gue lagi!” Melody merutuk kesal, dia menjejakkan kakinya ke lantai penuh tekanan. Sebelum akhirnya menyusul Nada keluar.
***
Sesuai dugaan Nada, hanya tinggal sedikit orang yang sarapan di jam sembilan. Tapi syukurlah, itu artinya dia tidak usah berdesak-desakan untuk mengambil makanan. Atensi Melody terpusat pada ponsel sedari tadi, bahkan dia mengabaikan makanan yang ada di hadapannya ini. Nada gemas sendiri melihat kelakuan istrinya yang lelet dalam segala hal.
“Main hp bisa ditunda dulu, nggak?” Nada bertanya sedikit ketus. Bagaimana tidak kesal, sudah setengah jam Melody baru mencicipi makanan itu tiga suap sedangkan Nada sudah beberapa kali refill makanan.
Melody melirik Nada yang ada di hadapannya. “Terus?”
“Habisin dulu makannya. Gua mau bicara. Ada hal penting.”
“Ya udah ngomong aja,” pandangan gadis itu kembali pada ponsel. Jari-jemarinya menari indah di sana. “Gua denger kok.”
“Masa gua harus ajari lo adab bicara di depan orang?”
Melody menghela napas. Terpaksa dia menyimpan ponselnya dan kedua tangan bersidakep di atas meja, menatap Nada. “Silakan.”
Nada menghela napas sebelum memulai. “Jadi begini, Minggu depan kita adain meeting buat penggantian nama perusahaan.”
“Oh, ya udah,” cewek itu mengangguk-angguk. Kembali menyantap makanan yang sempat diabaikan itu. “Minggu depan gue masuk kerja. Jadi lo aja.”
“Nggak bisa gitu dong. Ini, kan, perusahaan kita. Yang urus kita. Nggak mungkin gua doang, kan? Sekalian serah terima jabatan juga.”