SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #16

DIA KEMBALI

Melody baru keluar dari supermarket setelah menyadari kalau di rumah Nada tidak ada makanan, dia tidak bisa hidup tanpa adanya camilan. Alhasil, dia meminta pada Bian untuk menemaninya membeli beberapa snack favoritnya. Tentu Bian tidak akan menolak.

“Banyak banget? Emang dia nggak stok makanan?” tanya Bian melihat Melody membawa satu paperbag dan satunya lagi Bian. Isinya semua camilan dan beberapa minuman kemasan dan juga susu.

Melody menghela napas jengah. “Mana ada. Di kulkasnya kosong banget, selain air mineral dingin doang.”

“Ya udah nanti kalau kamu butuh apa-apa atau mau camilan, kabarin aku aja. Aku yang anterin ke rumah kamu yang baru, daripada kamu harus capek-capek belanja kayak gini.”

“Iya-iya. Tapi, kan, aku niatnya pengen ketemu kamu,” Melody cemberut. “Rasanya kangen banget nggak ketemu kamu sehari, aku bisa uring-uringan nggak jelas.”

Bian tertawa mendengar perkataan berlebihan Melody. Cowok itu mengacak puncak kepala kekasihnya itu gemas. “Ya udah, kita ke Plaza Senayan.”

“Ngapain?”

“Nonton. Ada film baru dan incaran kamu.”

“Apa?”

“Avatar, baru rilis.”

“Wah! Serius?” tidak bisa ditutupi kalau Melody kesenangan bukan main. Karena Avatar adalah salah satu film favoritnya. “Mauuuu!! Eh tapi, kan, kamu katanya mau jaga jam sepuluh—” dia berpaling menatap jam di pergelangan tangannya. “Sekarang udah jam tujuh loh, sayang.”

Bian mengibaskan tangannya, menyunggingkan senyumnya. “Udah nggak apa-apa.”

“Serius?”

Bian mengangguk. Mengacak puncak rambut gadis itu. “Kapan lagi bisa kayak gini sama kamu?” Cowok itu melingkarkan tangan kanannya di pundak Melody, menarik tubuh kekasihnya itu mendekat hingga memupuskan jarak.

Melody mengulum senyumnya. Dia melingkarkan satu tangannya di pinggang Bian. Bahkan Bian akan melakukan apa pun demi membuat Melody senang. Sekalipun dia harus dimarahi atasan karena terlambat atau tidak masuk kerja mendadak.

***

Perkataan Dodi soal ancamannya pada Clara yang berhasil membuat pikiran serta rasa sakit bertahun-tahun lamanya tenggelam akhirnya kembali muncul. Hal pertama yang melintas di kepala Nada untuk menghilangkan semua rasa sakitnya adalah mengadakan acara minum-minum di kafe Black Brick. Tentunya dengan Aldo dan Bayu. Dia butuh sesuatu untuk mendistraksi pikirannya dari segala macam kerumitan duniawi.

Bayu hanya bisa diam dan geleng-geleng kepala melihat beberapa botol sudah habis dan tergeletak di atas meja. Bayu berpaling menatap Nada yang penampilannya jauh dari kata rapi. Kemeja putihnya sangat kusut, dasi yang semula melingkar kini hanya bertengger di lehernya. Dan rambut klimisnya tak beraturan.

“Jangan banyak-banyak, Nad,” Bayu berpaling menatap Aldo di sampingnya yang sedang meneguk botol wine yang tersisa setengah lagi. “Lu juga jangan banyak-banyak. Gua repot nanti anterin lo pada.”

Malam ini Bayu memilih untuk meneguhkan diri tidak minum banyak, karena repot juga kalau mereka bertiga mabuk apalagi sampai tidak sadarkan diri.

“Nggak—” Aldo cegukan. “—gua cuma dikit doang.”

Bayu menyenggol lengan Aldo. “Ada masalah apa sama temen lu? Minumnya nggak ngotak!”

Aldo menyipitkan matanya, dia mengedikkan bahu dan berpaling menatap Bayu. “Nggak tahu. Datang-datang dia langsung pesan minum.”

Bayu melihat pipi Nada sudah memerah, matanya teler seperti orang kobam. “Nad, udah, Nad. Nanti Melody kabur lagi kalau tahu lo mabuk parah.”

“Segini mah nggak ada apa-apanya buat gua. Lagian gua nggak mabuk,” kata Nada keras kepala. Dia menyimpan botol yang sudah kosong itu di atas meja. Dia hendak mengambil botol wine baru, namun aksinya terhenti ketika Aldo melemparkan pertanyaan.

“Gimana rumah tangga lo?” Aldo menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, merentangkan kedua tangannya ke samping. “Sikap Melody masih kayak gitu?”

Nada menghela napas jengah. Dia tidak jadi mengambil botol wine itu, memilih menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, memijat pangkal hidungnya. “Nggak ada perubahan. Melody tetap Melody, yang keras kepala dan galak.”

“Hm ... coba lo bangun pendekatan ke dia, Nad. Kali aja gitu dia luluh sama kayak cewek-cewek yang biasa lo deketin,” Bayu berkomentar sebelum akhirnya menyesap rokoknya, mengepulkan asapnya ke udara.

“Percuma. Kayaknya takdir gue sama dia cuma sebatas nikah pura-pura doang,” Nada menghela napas. Dia menyambar kotak rokok di atas meja, menjepit satu batang rokok itu di bibirnya, membakar lintingan dan mengepulkan asapnya ke udara. “Selebihnya nggak bakalan pernah ada timbul rasa.”

“Masa iya sampai kakek nenek begini terus?” tanya Bayu. “Nggak mungkin, Nad. Lu sama dia manusia biasa yang punya perasaan ...,” Bayu menarik tubuhnya, mencondongkan lebih dekat dengan Nada yang duduk di hadapannya. “Gini ya, apalagi posisinya lo sama dia tinggal satu atap meskipun nggak satu kamar. Tapi lambat laun gue yakin seratus persen, lo ataupun dia pasti timbul rasa.”

“Ya ... berarti gue harus cerai sama dia.”

“Ya nggak gitu, lah.”

“Sesuai surat perjanjian, Bro. Gua yakin Melody tipikal cewek yang nggak main-main sama ucapannya sendiri.”

“Betul!” sahut Aldo di sela dia sibuk bermain ponsel. “Eh, Nad. Melody nggak ada di rumah?” Aldo melirik Nada.

Nada mengedikkan bahu. “Mana gue tahu. Dari pagi gue di kantor dan sekarang sama kalian.”

“Emangnya nggak ada ngabarin lo gitu? Izin keluar rumah?” tanya Bayu.

Nada menggeleng, dia kembali menyesap rokoknya itu. “Boro-boro, nomor HPnya aja kagak punya gue.”

Lihat selengkapnya