Melody terpaksa harus bangun dari mimpi indahnya karena kebelet buang air kecil. Dia buru-buru berlari ke luar kamar menuju toilet—karena kamar Melody di rumah Nada tanpa toilet—jadi dia harus mengeluarkan tenaga untuk sampai di sana. Jaraknya tidak begitu jauh, dekat dapur.
Dia terperanjat sewaktu melihat seseorang sedang memasak dengan kondisi membelakanginya.
Melody berusaha tidak mengindahkan, dia buru-buru masuk ke dalam bilik air sesuai dengan tujuan utamanya dan membanting pintu cukup keras. Sebetulnya Melody tidak ada niatan membanting pintu itu, tangannya refleks akibat efek kebelet.
Nada terlonjak kaget dan berbalik, menatap ke arah sumber suara. Namun tidak ada siapa-siapa di sana tapi dia yakin kalau itu Melody. Cowok itu melangkah menuju meja makan, menyimpan roti bakar dengan potongan slice beef, keju Mozzarella, saus dan selada, yang sengaja dia buat untuk sarapannya pagi ini bersama Melody.
Pintu toilet terbuka, pandangan Nada tertuju ke sana dan melihat Melody sedang menghela napas lega. Pandangan mereka bertemu. Gadis itu mendelik dan berniat kembali masuk ke dalam kamar, tetapi langkahnya berhenti saat Nada memanggil.
“Selamat pagi Ibu Melody. Sarapan dulu, yuk?”
Melody memasang wajah dingin, dia berbalik menatap Nada. “Nggak perlu!”
“Gue udah masak loh, masa nggak dihargai? Lagian gue pakai bahan-bahan yang lo beli kemarin.”
Melody mengernyit. Dia bergegas menghampiri Nada di meja makan, menengadah roti bakar yang terhidang di sana. Masakan Nada terlihat begitu nikmat, aromanya sangat menggiurkan, bohong sekali kalau Melody tidak tergoda.
“Ih, kok nggak bilang?!” Melody berpaling menatap Nada jengkel.
Cowok itu menyodorkan sepiring untuk Melody. “Kenapa? Mau pelit lo sama gue? Yang masuk ke kulkas berarti milik bersama.”
“Nggak bisa—”
“Nanti duitnya gue ganti.” Nada menuangkan susu cair ke dalam gelas, untuk Melody dan untuk dirinya sendiri. “Sekarang sarapan dulu.”
Melody diam.
“Kenapa? Nggak ikhlas?” Nada mengeluarkan ponselnya di dalam saku celana kerja. Mengutak-atik benda tipis itu. “Mana nomor rekening lo?”
Melody mendengus, manik matanya memutar malas. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan Nada. Menuangkan air mineral ke dalam gelas, lalu meneguknya. “Kenapa lo masakin buat gue? Ngerasa salah apa penebus dosa karena semalam lo berniat melakukan marital rape?”
Nada menarik salah satu ujung bibirnya, menyimpan ponsel miliknya di atas meja. “Ngapain marital rape? Tinggal langsung aja.”
“Ih! Kurang ajar lo!” Melody menendang kaki Nada.
Cowok itu meringis, mengusap kakinya. “Bercanda ya elah!”
Melody mendelik, dia menyambar roti bakar itu. Aromanya begitu nikmat menerobos masuk ke dalam indra penciuman Melody. Dia menggigit roti itu, lidahnya mulai mencecap, merasakan lewat bintil lidah, membiarkan komponen yang ada di roti bakar itu melumer di mulut. Setelah melewati kerongkongan, dia baru mengangguk. Ternyata masakan Nada enak juga.
Nada menatap Melody. Mengamati cara gadis itu makan, mengunyah dan menggoyangkan kepalanya ketika suapan roti bakar itu masuk ke dalam mulutnya. Nada menarik senyumnya tipis.
“Kenapa kemarin nggak bilang kalau mau belanja?” tanya Nada membuka obrolan.
“Ngapain bilang?”
“Gua, kan, suami lu. Lu tanggung jawab gua, kalau lu bilang pasti gua kasih uang belanja.”
“Nggak perlu sih, gue juga ada duit.”
“Seharusnya lu tahu sih, kalau istri mau pergi ke mana-mana harus izin suami.”
“Tapi nggak berlaku buat gue.” Melody kembali menyuap roti bakar itu ke dalam mulutnya.
“Mel ... gini, ya, meskipun pernikahan kita terpaksa tapi pernikahan kita terikat agama dan negara.” Tatapan Nada tajam terpusat pada Melody. Wajahnya menampakkan keseriusan kalau obrolan kali ini tidak main-main. “Oke ... kalau soal surat perjanjian itu gua setuju. Tapi di luar itu, ada kewajiban lo maupun gua sebagai pasangan suami istri. Salah satunya, ya, itu.”
“Ribet banget sih, Nad!” Melody menyimpan roti bakar itu ke atas piringnya. Menatap netra coklat milik Nada dengan malas. “Gue nggak suka aturan dan gue nggak suka diatur. Ini masalah sepele doang. Lagian apa urusannya sama lo kalau gue bilang dan nggak?”
“Kalau ada apa-apa sama lo, yang dimintai pertanggungjawaban pasti gua, Mel. Bukan cowok lo itu. Gua ada hak penuh buat jagain lo, buat mastiin lo pergi ke mana-mana. Jadi gua ada alasan kalau semisalnya orang tua kita tanya.”
Melody diam, dia menghela napas kasar.
“Gua cuma minta itu doang kok. Nggak bakalan minta lebih dari itu.” Nada menyodorkan ponselnya ke Melody. “Masukin nomor ponsel lo, WhatsApp lo. Pokoknya semua. Gua baru sadar, ternyata gua nggak punya kontak lo sama sekali.”
Melody menatap ponsel Nada. Cewek itu menghela napas malas, mau tidak mau dia menyambar benda tipis itu, memasukkan nomor teleponnya di sana.
“Nih!” Melody menyodorkan ponsel Nada. “Mau apalagi?”
Nada mengambil ponsel itu, melihat nomor Melody di layarnya yang belum di save. Cowok itu melirik Melody, menyimpan nomor istrinya itu dan diberi nama ‘Singa Betina', dia menyunggingkan senyumnya.
Melihat Nada tersenyum sendiri di depan ponsel sewaktu sudah mendapatkan nomor Melody, otomatis mengundang kecurigaan serta menyulut emosinya. “Lo apaan sih senyum-senyum segala!” Melody hendak merebut ponsel Nada, dia curiga Nada mengambil fotonya diam-diam dengan wajah yang tidak dikontrol.
Nada menjauhkan ponselnya saat Melody berusaha merebutnya. “Apaan sih?!”
“Lo yang apaan senyum-senyum gitu! Foto gue lo, ya!”
“Apaan sih? Gue tadi chat lo.” Nada memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. “Ngapain juga gue foto cewek jelek kayak lo? Habisin memori!”
Manik mata Melody memutar malas. Dia berdiri lalu melangkah pergi meninggalkan Nada di meja makan. Tidak menghabiskan sarapan yang sudah dibuat Nada dengan susah payah. Sepertinya gadis itu tersulut emosi karena gerak-gerik Nada yang mencurigakan dan juga omongannya yang bilang Melody cewek jelek. Baru kali ini ada cowok yang bilang begitu.
“SAVE NOMOR GUA!” teriak Nada ketika Melody menjauh.
Nada tersenyum sambil geleng-geleng kepala, aneh melihat tingkah Melody yang mudah marah. Nada mengambil sisa makanan milik Melody, memilih untuk dia habiskan.
***
Semalaman Nada tidak tidur karena mendapat kabar dari Aldo soal Clara. Kepalanya dari pagi sampai siang ini sangat sakit, belum lagi banyak dokumen yang butuh tanda tangannya menumpuk di atas meja. Dia hanya bisa memijat kepalanya sendiri, berharap rasa sakit di kepalanya sedikit membaik.
Suara ketukan pintu ruangan terdengar, Nada mengangkat wajahnya menatap pintu itu dengan kernyitan di dahi. “Masuk.”
Pintu terbuka dan menampakkan Bianca, sekretarisnya di balik daun pintu.
“Ada tamu untuk Pak Nada.”
“Siapa?”
“Halo, Bro!” Belum juga Bianca menjawab, Aldo dan Bayu menyelonong masuk begitu saja.
“Ya sudah, terima kasih, Bianca,” kata Nada sambil menggerakkan tangannya, menginterupsi pada Bianca untuk segera keluar dari ruangannya.
Aldo menghempaskan punggungnya di sandaran sofa, sementara Bayu berjalan-jalan menyusuri ruangan Nada yang luas itu.
“Ruangan baru lo lebih luas, ya?” tanya Bayu sambil melihat foto-foto yang terpajang di sana. Foto Nada dan keluarganya sedang memegang piala penghargaan sebagai salah satu perusahaan tas terbesar dan sebagai penjualan terbanyak di tahun 2021.