Jam beker di atas nakas berdering di pukul tujuh pagi. Melody spontan membuka mata dan mendapati cahaya matahari yang memaksa masuk di balik celah gorden yang masih tertutup rapat. Gadis itu duduk, meregangkan tubuhnya, merasakan kondisinya pagi ini segar-bugar. Obat yang diberikan Nada sepertinya ampuh, karena semalam dia tidur begitu nyenyak setelah makan dan minum obat dan paginya rasa pusing itu hilang.
Dia menyambar ponselnya di atas nakas, mengecek benda digital itu dan mendapati ada pesan masuk dari Bian dan juga Nada. Gadis itu memilih membaca lebih dulu pesan Nada.
Nada dering :
Morning
Gmna kondisinya? Enakan?
Sarapan ada di meja dapur ya
Kalo masih pusing, obatnya dikotak P3K dideket lemari tv
Gw ngantor dlu
Kalo ada apa² tlpn gw ya
Melody berdecak. “Dasar sok perhatian!”
Dia menyingkap selimut yang menutupi kakinya, turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Tercium parfume Nada yang semerbak mengudara. Melody mengernyit heran, bukannya Nada bilang sudah berangkat? Dia menuju dapur, di sana tercium aroma parfume Nada bercampur dengan aroma nasi goreng yang sudah terhidang di atas meja, bahkan asapnya masih mengepul di udara.
Dia kembali ke ruang keluarga, netra coklatnya menengadah sekitar, mengitari setiap penjuru ruangan. Dia mendongak, menatap lantai dua. “Nada ... lo belum berangkat?”
Tidak ada jawaban.
Melody melangkah menaiki tangga. Rasanya asing juga, karena selama Melody tinggal di sana, dia tidak pernah menginjakkan kaki di tangga itu apalagi sampai di lantai atas. Bahkan Melody tidak tahu ada apa di lantai itu selain kamar Nada.
Ada dua pintu tertutup rapat di depan tangga, Melody juga tidak tahu pintu mana yang menuju kamar Nada. Dia mengitari lantai dua, Melody memasuki lorong di sebelah kanan tangga, dengan bingkai foto menggantung di sepanjang tembok lorong. Foto Nada kecil hingga dewasa dengan berbagai gaya namun tempat yang sama. Sebuah taman.
Lalu langkahnya sampai di sebuah ruangan santai—sepertinya—cukup luas tapi sayangnya di sana kosong, tidak ada apa-apa selain meja Panjang dengan berbagai guci dan piala terpajang rapi berjajar. Di dindingnya, terpajang bingkai berukuran besar dengan foto pernikahan mereka. Tampak jelas di foto itu, wajah keduanya tidak memancarkan aura kebahagiaan. Palsu.
Dia kembali berjalan lurus ke depan yang mengantarnya ke pintu kaca transparan yang ditutupi gorden tipis nyaris tembus pandang. Melody membuka gorden itu, ingin melihat jelas ada apa di balik gorden sana. Balkon yang cukup luas dengan berbagai tanaman hias. Ada dua kursi dan meja kecil. Dia berniat membuka pintu itu; terkunci.
Gadis itu mendengus sebal. “Ish! Malah dikunci.” Dengan berat hati, akhirnya dia kembali. Melewati tempat tadi dan sampai di depan pintu ruangan yang tertutup. Saling berdampingan. Melody menatap pintu itu satu-satu, jari telunjuk kanannya mengetuk dagu, tampak bingung menduga-duga kamar Nada.
Alhasil, dia memilih berteriak. “Nada! Lo di dalem?” tidak ada jawaban. Melody melangkah lebih dekat, mencoba memutar kenop pintu itu namun nihil; pintu itu dikunci. Dia beralih ke pintu lainnya, namun tetap sama; terkunci.
Akhirnya dia menyerah. Memilih kembali turun ke bawah dan meyakini Nada memang sudah pergi dari rumah tapi harum parfumenya masih tersisa. Melody menuju dapur, menarik kursi dan duduk di sana. Memandangi satu piring nasi goreng itu tanpa menyentuhnya, berpaling menatap satu gelas susu vanilla di sampingnya.
Bahkan dalam benaknya bertanya-tanya; Kenapa Nada tiba-tiba perhatian begini? Atau dia merasa bersalah karena omongannya?
Melody mendengus, menyambar ponselnya, jari-jemari lentiknya mengetik sesuatu di sana...

Melody mengernyit, tanpa disadari seulas senyuman tipis itu tersungging di bibir tipisnya, namun dia segera sadar dan mengerjapkan mata dua kali. Dia bergidik, menyimpan ponselnya. Harum nasi goreng itu berhasil menyita atensi Melody. Dia tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak mencicipi masakan Nada yang menggugah selera.
Alhasil, dia menyuap satu sendok nasi goreng itu ke dalam mulutnya, merasakan sensasi kenikmatan di setiap kunyahannya. Bahkan dia akui, Nada pintar dalam memasak.
***
Nada senyum-senyum sendiri di depan ponselnya, bahkan dia tidak mengindahkan Bianca yang sedari tadi mengoceh soal pekerjaan dan meeting yang akan dilaksanakan dua hari lagi.
Bianca mengesah panjang, percuma juga dia ngomong panjang-lebar tapi tidak didengar. “Pak Nada ....”
“Hm?” kedua alis Nada naik, dia melirik Bianca. “Apaan?”
“Ini loh yang harus Bapak kerjakan. Mau Pak Dodi yang turun tangan?”
Nada menghela napas, mau tidak mau dia harus menyimpan ponselnya dan memusatkan atensinya pada Bianca yang sedari pagi tadi sudah ke ruangannya untuk memberi daftar yang harus Nada kerjakan dan tanda tangan. “Bisanya ngadu mulu.”
“Saya hanya menjalankan tugas saja sih, Pak.”
“Jadi, gimana?” Nada berpaling menatap Bianca yang duduk tepat di hadapannya, terhalang oleh meja kerja besar. “Setelah penggantian nama, Melody langsung kerja?”
“Iya kalau harapan Pak Dodi sih begitu, Pak. Tapi itu kembali lagi ke Bu Melody.”
Nada mengangguk. “Saya yakin Melody nggak bakalan mau.”
“Tapi ... coba Bapak bujuk. Sebagai suami, pasti istri bakalan nurut dong?”
Nada menghela napas panjang, menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. “Dia beda, Bianca, nggak kayak kamu.”
Bianca diam, berpaling ke arah lain. Seolah ikut berpikir. “Tapi, Pak ...,” Bianca kembali menatap Nada. “Kalau soal meeting nanti, Bu Melody bakalan hadir, kan?”
Nada mengedikkan bahu. “Semoga.”
“Saya harap hadir sih, Pak. Soalnya menyangkut kepemilikan baru. Masa cuma salah satu?”
“Ya pengennya sih begitu. Tapi Melody—” Nada menggantungkan perkataannya. Dia menggeleng. “Oh iya, kalau soal Pak Herman ... udah nggak menduduki jabatannya lagi nanti?”
“Iya, bisa dikatakan pensiun dini.”
“Terus?”
“Kan, dilanjutin sama Bu Melody.”
“Tapi, kan, Papa saya masih menjabat juga—”
“Kemauan Pak Dodi, Pak.”
Nada menghela napas, dia memijit pangkal hidungnya. “Ya udah, kamu balik kerja. Tinggalkan ruangan saya.”
Bianca mengangguk, dia berdiri dan berlalu pergi. Namun langkahnya terhenti saat Nada menginterupsi. “Oh iya, nanti saya pulang lebih awal.”
Bianca mengernyit heran. “Kenapa?”
“Istri saya lagi sakit.”
“Oh,” Bianca mengangguk paham. “Oke. Nanti saya bilang ke Pak Dodi.”
Nada mengacungkan jempolnya. Bianca kembali melangkah pergi meninggalkan ruangan itu dan menyisakan Nada sendirian dengan segala pikiran yang mumet tak tertahan.
Laki-laki itu memijat pelipisnya, kedua matanya terpejam. “Gua harus nego lagi ke Papa.”
***
Sudah satu jam Melody berkutat di depan laptopnya. Sebelumnya gadis itu menghubungi Astri supaya mengirimkan pekerjaan yang Astri handle saat Melody cuti. Awalnya Astri tidak mau kasih, karena itu tanggung jawabnya, namun dengan paksaan dan bujuk rayu Melody, akhirnya Astri mau berbagi. Melody tidak mau kalau selama dia cuti, semua pekerjaan dia justru membebani Astri. Lagi pun, hari ini dia sudah merasa sehat dan bosan juga kalau hanya bermalas-malasan di rumah sendirian.
Bel pintu rumah berbunyi. Melody mengernyit heran, dia bingung siapa yang bertamu ke sana. Kalau Nada, tidak mungkin menekan Bel, pasti dia langsung masuk. Kalau kedua orang tuanya, pasti akan memanggil nama Melody. Kalau Pinkan dan Jessie, bahkan mereka tidak tahu alamat rumah Nada. Dan kalau Bian, tidak mungkin dia nekat masuk ke sana hanya untuk menjenguk kekasihnya.