Melody berjalan dengan copak-capik saat keluar dari kamar, dia menjadikan tembok sebagai tumpuan pegangannya karena Melody tidak bisa berjalan tanpa pegangan. Pergelangan kaki kanannya terkilir hingga sulit untuk berjalan, pinggangnya menghantam wastafel bahkan saat Melody memakai baju, dia melihat ke arah pinggang kanannya dan kentara biru keunguan.
Memar.
Nada baru selesai menyiapkan makan malam untuk mereka di meja dapur, menyadari Melody kesusahan untuk berjalan, cowok itu dengan sigap berlari ke arah istrinya itu.
“Kenapa nggak panggil gua, sih?” Tanpa permisi, Nada menuntun Melody membimbing gadis itu berjalan hingga meja makan. Nada menarik kursi untuk Melody.
Melody duduk perlahan. Gadis itu hanya diam, dia berpaling menatap Nada. Merasa sangat canggung karena kemarin dia bertingkah menyebalkan tetapi Nada masih saja perhatian.
Nada menarik kursi di depan Melody, duduk di sana hingga lutut mereka saling bersentuhan. Cowok itu mengambil secentong nasi untuk Melody, menyodorkan piring nasi itu dan juga mangkuk soto. Dia melirik Melody yang sedari tadi tidak lepas menatap Nada. “Masih pusing, nggak?”
Raut wajah Melody berubah dingin secepat kilat. Meski dia merasa canggung dan merasa bersalah, tetap saja gengsinya lebih dominan. “Lo kasih gue apa sih semalam? Untung gue bisa bangun. Kalau nggak kebangun gimana?”
Nada menarik ujung bibirnya. “Tapi udah enakan, kan?”
“Ya ... lumayan.”
“Terus, tadi kenapa bisa jatuh?”
“Licin lantainya, jadi kepleset gara-gara sabun.”
“Kok bisa?”
Melody mengedikkan bahu. Dia menatap hidangan yang ada di hadapannya, kemudian melirik Nada. “Semalam udah soto ini, terus pagi tadi nasi goreng, sekarang soto lagi. Lo mau bikin gue gendut, ya?”
“Tapi ini soto favorit lo, kan? Katanya ... kalau lo makan soto ini, makan lo lahap banget.”
“Dih ... sok tahu!”
Nada menarik salah satu ujung bibirnya, mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Melody. “Buktinya yang kemarin malam aja habis. Iya, kan?”
“Dari pada kebuang? Kan mubazir,” kilahnya karena tidak mau dianggap rakus oleh Nada.
Nada kembali ke posisinya, duduk tegak. Cowok itu menyuap sesendok nasi itu ke dalam mulutnya, disusul dengan kuah soto yang melebur di dalam sana.
“Dimakan dong. Jangan dilihatin doang,” katanya dengan mulut penuh.
“Lo tahu dari mana gue suka ini?”
“Aldo.”
“Sudah kuduga.”
“Kaki lo sakit?”
“Dikit.”
“Sama apalagi yang sakit?”
Refleks Melody memegang pinggangnya, dia meringis. “Pinggang.”
“Ya udah sekarang abisin dulu makannya, nanti gua pijit.”
“Ih! Ogah!” Melody bergidik geli. Cewek itu menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya. “Yang ada gue misalah dipijit sama lo.”
Nada terkekeh geli. “Udah makan dulu aja. Lihat aja nanti, dijamin bakalan sembuh. Gua punya ramuan anti nyeri.”
Melody mendelik. “Whatever! Oh iya, ini terakhir kalinya, ya, lo perhatian gini sama gue. Siapin makanan, tolongin gue dan segala macam. Besok-besok nggak usah lagi.”
Nada mengernyit heran. “Why?”
“Gue nggak mau banyak hutang budi sama lo.”
“Lo pikir gue kayak gini sukarela?”
“Hah?!” Melody mengernyit heran. Menyimpan sendok dan garpunya. Memfokuskan atensinya pada Nada.
Nada ikut menyimpan sendok dan garpunya, dia menatap intens netra coklat milik Melody. “Gua mohon sama lo ... dua hari ke depan bakalan diadain meeting pergantian nama perusahaan, sama seperti yang udah gua bilang sama lo. Gua pengen, lo ikut meeting dan izin ke atasan lo buat ambil cuti satu hari lagi. Alasannya terserah lo, mau honeymoon atau apalah.”
“Honeymoon?” Melody menarik kepalanya ke belakang, mengernyit jijik.
“Alasan yang logis menurut gua, selain meeting serah terima jabatan.” Nada kembali fokus pada mangkuk soto.
Melody terdiam. Dia bingung juga, harus bagaimana?
***
“Awww, Awwww, Aawww!! Nada, Nada sakit sumpah sakit!!” Melody jerit-jerit heboh ketika Nada menyentuh pergelangan kakinya.
Sesuai perkataan Nada, dia berniat memijit kaki Melody yang terkilir dengan minyak urut. Sekarang Melody duduk di tepi ranjang, sementara Nada duduk tepat di lantai—di bawah Melody. Kaki Melody diletakkan di atas paha Nada yang bersila.
“Baru juga dipegang, belum dipijit.”
“Tapi serius, Nad, sakit banget nggak kuat!” Melody meringis, kedua matanya terpejam dan berkerut menahan sakit.
“Tahan dulu, sekali sakit tapi langsung sembuh.”
“Awas lo, ya, yang ada bikin kaki gua nggak bisa jalan!”
“Tanggung jawab, deeehhh!” Nada mengoleskan minyak urut ke pergelangan kaki Melody. “Coba kalau gue nggak ada, bisa-bisa lo lewat.”
“Ih sialan lo doain gue mati!”
“Banyak survei membuktikan, Mel, yang jatuh di kamar mandi itu kebanyakan langsung lewat. Untung aja lo nggak apa-apa.”
“Masih ada untungnya, ya?”
“Ya iyalah.”
Dengan telaten dan pelan-pelan, Nada memberi sentuhan ringan, berusaha membuat Melody tidak merasakan sakitnya sekaligus.
“Aawww! Nadaaa!!!” Melody memekik sampai memekakkan telinga Nada.
Cowok itu meringis, mendongak menatap Melody yang juga sedang mendongak, kedua mata gadis itu terpejam menahan sakit dan tangannya meremas ujung seprai. Tidak jarang juga Melody menarik kakinya agar terlepas dari pijatan Nada, namun cowok itu kembali menarik kaki itu dan memegangnya kuat supaya tidak terlepas lagi.
“Udah, Nada, please gue nggak kuat!” keluh Melody yang sudah berlinang air mata. Dia menunduk menatap Nada, menggigit bibir bawahnya. Saat Nada menekan pergelangan kaki Melody dan terdengar bunyi ‘Trek', refleks gadis itu menarik kakinya menjauh, memekik kencang dan mencengkeram bahu Nada sangat keras.
"SIALAN! LO PATAHIN KAKI GUA!!!"
Nada meringis, kembali menarik kaki Melody, dia tidak peduli meski Melody sudah menendang-nendang dan teriak-teriak heboh.
Namun, suara isak tangis Melody berhasil menghentikan pergerakan Nada. Dia mendongak menatap Melody yang sudah terisak, dengan wajah yang memerah sedang menatap Nada penuh permohonan. Cowok itu menghela napas berat, akhirnya mau tidak mau dia berhenti memijat Melody, melihat Melody menangis rasanya kasihan juga.
Alhasil, dia menyimpan minyak urut itu di atas nakas.
“Udah jangan nangis,” kata Nada dan menyeka air mata Melody menggunakan punggung pergelangan tangan, karena telapak tangannya berminyak. “Demi kesembuhan lo juga.”
“Tapi sakit,” keluh Melody dengan suara lirih.
“Iya, namanya juga diobatin, kan? Nggak mungkin nggak sakit. Besok juga pasti sembuh, kok.” Nada berdiri, membantu Melody untuk berbaring. Setelah Melody mendapatkan posisi ternyaman, barulah Nada duduk di tepi ranjang. Memandang teduh wajah sang istri yang masih menangis kesakitan. “Pinggang lo gimana?” tanyanya dengan intonasi suara yang betul-betul sangat lembut dan hangat.
Bahkan suara itu pertama kali Melody dengar dari Nada.
“Sakit,” jawab Melody di sela isak tangisnya. Dia menyeka air matanya.
“Kita ke rumah sakit aja, ya?”
Melody menggeleng. “Lo bilang katanya besok bakalan sembuh?”
Nada tersenyum simpul. “Iya, semoga. Tapi demi memastikan lo nggak apa-apa, pinggang lo, kaki lo, mending langsung diperiksa dokter.”