SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #22

KEJANGGALAN

Bulan yang menggantung di Cakrawala tampak seperti lautan hitam yang perlahan menelan mutiara raksasa. Pemandangan indah yang jarang sekali Nada nikmati sepanjang hidupnya tinggal di Ibu Kota yang penuh hiruk-pikuk kehidupan para manusia.

Dia butuh menghirup udara segar dan memilih untuk menikmati embusan angin malam yang terasa sejuk di atas balkon. Tanpa ada ocehan Melody atau apa pun yang mengganggu dirinya. Laki-laki itu butuh ketenangan untuk menyimpulkan segala pikirannya yang melanglang buana dan direnggut habis oleh seorang gadis di masa lalunya yang sekarang justru kembali muncul tanpa aba-aba.

Nada menertawai kebodohannya sendiri, bahkan saat dirinya sudah disakiti, kenapa seluruh pikirannya justru membawanya kembali ke sana?

Merasa seperti orang dungu yang sudah dipecundangi oleh pikirannya sendiri, Nada berusaha tidak ingin memikirkan lebih jauh soal Clara. Kehidupan Nada sudah berubah sekarang. Dia sudah memiliki tanggung jawab penuh sebagai suami. Dia sudah punya Melody yang tinggal satu atap dengannya, perempuan yang keras kepala dan jauh dari kata sempurna. Tapi Nada bertanggung jawab atas rumah tangganya.

Nada ingin kembali masuk ke dalam kamarnya, mungkin dengan tidur bisa menghilangkan sejenak pikirannya yang tak karuan malam ini. Namun, saat dia ingin melangkah pergi, tapi sebuah rasa penasaran kembali menguasai dirinya.

Bukannya masuk ke dalam, justru laki-laki itu duduk di sebuah kursi kayu yang ada di sana, mengutak-atik ponselnya dan meng-klik WhatsApp, mencari daftar blokir dan memandangi sebuah nomor yang dia beri nama “My Little Girl”.

Dia tersenyum miris. Ini nggak bener. Dia seharusnya nggak ada di Jakarta, kan? Dia seharusnya nggak ketemu gua lagi. Batinnya.

Nada menggeleng. Dia mengusap wajahnya frustrasi dan menghela napas panjang. “Nggak! Udah tiga tahun lu hilang dan luka itu masih basah. Sekarang lu balik bawa luka lama?”

Nada tertawa miris seperti orang linglung. Dia kembali menatap layar ponselnya. Namun sesuatu terjadi, sesuatu di luar dugaan karena jemarinya justru meng-klik nomor ponsel Clara, membuka blokir nomor gadis itu.

Clara adalah perempuan yang menyusun rasa sekaligus menggores luka. Ternyata, rasa cintanya selama ini tidak sebanding untuk membayar segala rasa sakit hatinya yang diciptakan langsung oleh Clara.

***

Sudah bisa ditebak bagaimana reaksi karyawan Astreo Magma ketika Melody untuk pertama kalinya muncul di kantor, setelah menghabiskan masa cuti selama satu Minggu. Para karyawan operasional langsung memusatkan perhatian mereka ke Melody.

Seperti gula yang dikerumuni semut. Seperti sebuah logam yang menarik magnet.

“Wah aura pengantin baru bikin silau, nih.” Salah satu karyawan meledek diikuti senyuman lebar dan telapak tangan kanan menutup kening dan mata, seperti silau melihat cahaya.

“Memancar banget, ya? Beda aja gitu,” sahut Galih dengan senyuman jahil dan siulan menyebalkan.

Melody malas menanggapi godaan para karyawan di sana, jadi Melody hanya membalas dengan senyuman tipis, tidak ingin membalas celetukan mereka yang pasti menjurus ke arah yang tidak Melody inginkan.

Eciiieeee yang baru pulang honeymoon. Sampai diperpanjang masa cuti. Keenakan, ya, Bu Melody? Cerita dooonggg!!” Nah ini biang kerok. Pak Angga. Yang tiba-tiba muncul seperti cenayang yang tak diundang.

Mendengar celetukan Pak Angga, sontak mengundang siul-siul dari yang lain.

Melody memutar bola mata malas, dia geram sekaligus geli juga. Tapi dia bersikap profesional atau lebih tepatnya, sok keren. “Mulai deh! Udah, ya, permisi.” Melody tidak mengindahkan pertanyaan Pak Angga dan memilih ke ruangannya untuk menghindar. Meski celetukan itu masih saja terdengar, Melody pura-pura tuli.

Gadis itu menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi kerja, mendongak dan memejamkan mata. Bahkan dia sekarang bingung, apa yang harus dia kerjakan? Karena seluruh pekerjaannya sudah diselesaikan oleh Astri.

Suara pintu terdengar diketuk. Melody mendengus malas, dia malas kalau Pak Angga yang justru masuk ke ruangannya dan kembali menggoda Melody soal honeymoon.

“Masuk.”

“Pagi, Bu.” Ternyata itu Astri, sambil menenteng laptop dan beberapa berkas. “Pagi-pagi gini saya ganggu nggak, nih?”

Astri duduk di kursi depan meja Melody.

“Nggak.” Melody menarik punggungnya yang bersandar, memosisikan duduknya lebih nyaman menghadap Astri. “Ada apa, As?”

“Ini, Bu, semua berkas sudah saya kerjakan. Ibu tinggal revisi lagi. Terus kemarin ada meeting soal klien yang mau bangun hotel di daerah Bali dan mau pakai jasa konstruksi kita.”

Melody mengangguk-angguk sembari melihat-lihat berkas yang dibawa Astri. “Bagus dong.”

“Tapi belum deal.

Melody mengernyit heran, menatap Astri. “Why?

“Karena nunggu persetujuan Bu Melody.”

“Loh? Seharusnya Pak Angga dong?”

“Iya, tapi Pak Angga pengennya ada persetujuan Ibu juga. Jadi besok lusa bakalan diadain meeting lagi bareng klien itu.”

“Oh gitu. Ya udah.”

Lihat selengkapnya