Nada mematikan mesin mobil ketika kendaraan roda empat itu sudah terparkir sempurna di dalam garasi. Dia menjulurkan tangan untuk membuka pintu mobil, melangkah keluar dengan jas kerja berwarna hitam itu bertengger di bahu sebelah kanan. Sementara tangan kirinya memijit dahi yang terasa pening.
Dia membuka pintu utama, melangkah masuk melewati ruang tamu dan ruang keluarga untuk menuju dapur. Dia melihat Melody sedang duduk di ruang keluarga, menonton televisi. Dan ketika menyadari Nada tiba, Melody refleks memusatkan perhatiannya pada Nada.
Nada hanya menatap sekilas istrinya itu dan kembali fokus berjalan melewatinya. Tumben, biasanya jam sepuluh malam gadis itu sudah mengunci diri di dalam kamar. Tapi malam ini justru begadang sembari menonton serial film di Netflix sendirian.
Nada tidak peduli, dia melepas sepatu lalu meletakkan di rak. Dia melangkah menuju dispenser untuk mengambil minum dan sempat membuka tudung saji. Tidak ada apa-apa di sana. Dia mendesah, percuma juga dia berharap ada piring makanan tersedia di dalam tudung sana, padahal biasanya tiap hari juga tidak pernah ada makanan tersaji.
Sebuah keajaiban kalau ada, apalagi Melody yang memasak. Sepertinya mustahil jika memang kejadian.
“Lo ke mana aja?” Tiba-tiba terdengar suara Melody dari arah belakangnya dan refleks Nada menoleh dan benar, ada Melody yang berdiri di sana.
Nada mengernyit heran. Dia heran mengapa tumben Melody bertanya demikian. Dia membalikkan badan sepenuhnya menghadap Melody dengan sebaris kernyitan di dahi. “Kenapa?” tanyanya dingin.
“Ada yang mau gue tanyain sama lo.” Melody meneguk ludah, dia bingung juga harus dimulai dari mana. Rasa penasaran soal penemuannya di ruangan Nada seolah mendorong Melody untuk memastikan sebuah tanda tanya besar yang membubung di kepalanya supaya terpecah segera.
“Apa?”
“Soal—”
Perkataan Melody terinterupsi ketika suara dering ponsel Nada memecah ketegangan antara Melody dan Nada. Laki-laki itu memberikan isyarat pada Melody untuk diam sekejap dengan telapak tangan kanannya, sebelum akhirnya tangan kirinya itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan benda tipis yang sedari tadi berdering. Menatap layarnya dan menampakkan sebuah panggilan telepon dengan nama...
My little girl
Nada meneguk ludah, dia melirik Melody. Sebelum akhirnya memilih melangkah, meninggalkan Melody, menggulir tombol hijau itu ke atas dan menempelkan benda tipis itu di telinga...
“Halo ....”
Melody mengernyit. Dia bergeming. Gadis itu hanya menatap Nada yang berjalan melewatinya sampai laki-laki itu melangkah menaiki tangga dan hilang seiring pintu kamar itu tertutup rapat.
Tanpa mengindahkan pertanyaan Melody. Hingga gadis itu kembali tersadar dan mengerucutkan bibirnya kesal. Mengentakkan kakinya geram.
“Ih! Nyebelin itu cowok sarap!”
***
“Iya, ini aku baru masuk kamar.” Nada mengembuskan napas pelan lewat bibirnya seraya tangan kirinya menyikap gorden kamar dan menampakkan pemandangan luar yang gelap. Hanya diterangi lampu dari halaman rumah Nada. Matanya tertuju ke langit sehitam jelaga itu, yang dihiasi bintang-bintang yang mengelilingi bulan. Terlihat indah untuk dipandang dan terasa menenangkan.
Namun tidak untuk perasaan Nada malam ini.
Sambil mengusap tengkuknya, dia merasakan sensasi aneh. Sensasi bimbang, senang, takut, kecewa, bercampur aduk menjadi satu. Dia tidak tahu harus mendeskripsikan perasaannya bagaimana lagi.
Kepalanya berhasil terkecoh oleh satu nama; Clara.
Bagi Nada, Clara bagai bunga Foxglove; bunga indah nan cantik ini memiliki simbol ketidaktulusan dan ketidakabadian dan dipercayai memiliki manfaat sebagai obat namun juga mengandung racun yang mematikan. Sangat cocok mendeskripsikan seorang Clara Renata, dia perempuan yang mengandung racun mematikan namun dia juga yang memiliki obat yang ampuh sebagai penangkal racun itu.
Nada teringat senyum indah Clara, senyum yang entah mengapa bagai menghipnotis Nada, membuatnya ingin selalu melihat senyum itu terurai setiap harinya. Sebagai obat penyemangat setiap kali menghadapi dunia yang terasa amat kejam.
“Oke, kenapa ketemu kok nggak bisa? Sibuk banget, ya?”
Nada menipiskan bibirnya, dia menunduk. Laki-laki itu sengaja lembur sendirian di kantor untuk menimbang ajakan Clara bertemu. Hari itu seolah pikirannya terpaku hanya pada Clara, segala pekerjaan tidak berhasil mendistraksi segala kekacauan yang bersarang di kepalanya yang diciptakan oleh dirinya sendiri.
Nada kembali memutuskan menghubungi Clara, meski tidak jarang Melody selalu saja terlintas dalam pikirannya. Rasa penasaran sekaligus rindu yang amat dalam berhasil mengoyak perasaan Nada untuk kembali menghubungi gadis itu. Berawal menanyakan kabar, hingga berakhir mengobrol panjang lebar.
“Iya ... aku sibuk.” Nada menyunggingkan senyumnya tipis, dalam hati dia membatin; sibuk mikirin lu, La. Mikirin rumah tangga gua juga.
“Sorry aku ganggu kamu. Pasti sekarang kamu capek banget, ya? Udah makan?”
Entah mengapa mendengar perhatian kecil Clara, perihal menanyakan keadaan dan menanyakan makan, jantung Nada kembali berdebar kencang. Detakan asing yang terkubur selama dua tahun itu kembali hidup.
“Ini baru mau makan.” Dia terpaksa berbohong. Dia tahu kalau dulu—saat mereka menjalin hubungan—kalau Clara tahu Nada tidak memerhatikan kesehatan dirinya sendiri, lupa makan, atau bahkan kecapekan, Clara pasti akan mengomel habis-habisan sampai telinga Nada memerah dan terasa panas.
Untuk malam ini dia tidak mau mendengar omelan Clara, bukan karena dia tidak siap, justru karena dia sangat rindu diperhatikan sedemikian paniknya oleh seorang gadis. Namun, malam ini dia ingin mendengar perlakuan manis dari Clara.
“Syukur deh. By the way, aku ganggu nggak?”
“Nggak kok.”
“Lagi ngapain?”
“Lagi ... denger suara kamu.”
“Dih, cheesy banget. Hahaha ....”
Mendengar tawa Clara, dada Nada berdesir. Dia tersenyum tipis.
“Biar cheesy yang penting ganteng.”