SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #26

KABAR ANGIN

Sepasang bola mata cokelat milik Nada tidak lepas dari pemandangan hiruk-pikuk kendaraan di depan. Mobilnya melaju dengan kecepatan sedang, dia menikmati suasana malam kota Jakarta dengan gemerlap lampu jalan yang berpencar bagai lampu kunang-kunang. Barangkali salah satu penyebab kunang-kunang jadi punah karena malu dengan terangnya jalan raya.

Ucapan Clara masih terngiang di kepalanya. Entah dia harus merasa senang karena permintaan Clara atau justru merasa waswas karena kalau Nada menuruti permintaan gadis itu, sama saja dengan dia menantang maut.

Itulah yang membuat Nada tidak bereaksi apa-apa ketika Clara terus meminta supaya hubungannya kembali dekat seperti dulu lagi. Bahkan hingga Nada mengantarnya pulang, gadis itu terus saja memaksa.

Ponsel Nada berdering, jemarinya terulur mengambil benda itu di car holder lalu menempelkan di telinga. “Halo?” suaranya terdengar berat menerima telepon itu.

Dih parah lu kocak ninggalin gua.” Terdengar suara Aldo di balik ponsel sana. Sementara Nada cekikikan geli dibuatnya.

“Abisnya elu lama banget. Pakai drama goda tante-tante lagi.”

“Yeuuu namanya juga usaha. Eh by the way, lihat chat gua sekarang, cepet!”

Nada mengernyit, dia menekan loudspeaker dan mengutak-atik layar. Dilihatnya ada beberapa pesan masuk di ponselnya, salah satunya dari Aldo. Dia mengeklik chat Aldo yang mengirim sebuah foto.

Cowok itu terbelalak ketika melihat foto yang dikirim Aldo. Dia menepikan kendaraannya itu ke sisi jalan, memastikan kalau penglihatannya tidak salah.

Nad ... woi! Lu di mana sekarang?” Kembali terdengar suara Aldo di balik telepon sana.

“G—gua di jalan.”

Lu mau bilang ke Melody kagak?”

“Ya iyalah!” Nada masih memandang foto yang Aldo kirim. Bahkan men-zoom supaya betul-betul memastikan.

Jangan, lah ... kasihan.”

Nada mematikan loudspeaker dan kembali menempelkan benda itu di telinga. “Lebih kasihan kalau gua bodo amatin.”

Seharusnya lo seneng dong, Nad.”

“Nggak ... karena gua pernah ada di posisi itu.”

***

Nada dibuat semakin terbelalak ketika mobilnya sampai di depan gerbang dengan kondisi rumahnya gelap gulita. Sebetulnya bukan hanya rumah dia saja, ada beberapa rumah tetangganya yang juga gelap.

Nada menekan klakson dengan gusar sampai akhirnya gerbang perlahan terbuka dan menampakkan Pak Kendil sedang mendorong gerbang itu sampai ke ujung untuk mobil Nada masuk ke dalam.

Lelaki itu memarkirkan mobilnya di pelataran dan bergegas turun. Dia berlari menghampiri Pak Kendil yang sedang menutup kembali gerbang.

“Pak, sejak kapan mati lampu?” Pak Kendil menoleh ketika Nada mendekat. Nada menyalakan lampu flash dari ponselnya.

“Dari jam sembilan atau setengah sepuluh gitu. Antara jam segitu, Mas.”

Nada kembali terbelalak dengan kelopak mata melebar. “Serius? Sekarang udah pukul ...,” Nada melirik jam di pergelangan tangan kirinya. “Jam dua belas!” dia berpaling menatap Pak Kendil. Ada raut cemas dan khawatir di garis wajahnya. “Terus ... Bapak denger Melody manggil, nggak?”

Pak Kendil mengernyit. “Nggak sih, Mas. Kayaknya Non Melody udah tidur.”

“Ya udah kalau gitu, Pak. Makasih. Saya titip mobil masukin ke garasi, ya.” Dia menyerahkan kunci mobilnya ke Pak Kendil. Sebelum berlalu pergi dengan berlari memasuki rumahnya dan membuka pintu utama yang ternyata belum dikunci.

Dia berdecak. Sejauh pandangan yang dia lihat hanya kegelapan tanpa adanya cahaya sedikit pun. Nada melangkah menuju ruang keluarga dengan sangat hati-hati, pandangannya mengitari sekitar dengan mengandalkan cahaya flash dari ponselnya.

Dia dibuat terkejut, bahkan jantungnya hampir melompat ke luar ketika melihat Melody tergeletak tidak sadarkan diri tepat di depan pintu kamarnya yang terbuka. “Ya ampun! Melody!” dia bergegas membopong Melody masuk ke dalam kamarnya, menidurkan gadis itu di atas ranjang.

Pandangannya menjelajah sekitar, mencari sesuatu untuk bisa membangunkan Melody. Akhirnya dia menemukan minyak kayu putih di atas meja riasnya. Mungkin dengan membauinya dengan itu, bisa membuat Melody terbangun dari pingsannya.

Rasa cemas dan khawatir menjalari perasaannya sekarang.

“Mel ... gua minta maaf, Mel.” Laki-laki itu menyimpan ponselnya di atas nakas, tangan kirinya bergerak mengelus lembut rambut Melody dan beralih menepuk pelan pipi gadis itu. Pandangan Nada tertuju pada dagu Melody yang terlihat memar biru keunguan. “Ini kenapa lagi?”

Hingga akhirnya, selang lima menit, Melody membuka matanya perlahan dan menemukan Nada di hadapannya. Gadis itu refleks bangkit dari tidurnya dan melingkarkan kedua tangannya di leher Nada—memeluk laki-laki itu sangat erat—dengan tangisan memecahkan keheningan malam.

Nada menelan ludah. Dia membeku. Mendapat serangan pelukan langsung dari Melody betul-betul membuatnya tidak tahu harus bereaksi apa selain diam.

“Nad ... lo ke mana aja? Gue takut, Nad ...,” suara gadis itu terdengar lirih.

Perlahan kedua tangan Nada bergerak, membalas pelukan Melody meski ragu dan canggung. “G—gue minta maaf, Mel. Tadi ada urusan mendadak.” Laki-laki itu mengelus lembut rambut Melody.

Melody terdiam, tidak merespons. Sementara pelukannya semakin erat.

Lihat selengkapnya