Melody mengendarai mobilnya gila-gilaan, tidak dia pedulikan rutukan serta sumpah serapah pengendara lain karena laju mobilnya bisa membahayakan sekitar.
Hal satu-satunya yang bercokol di kepalanya sekarang; menemui Bian.
Melody menurunkan kecepatan mobilnya ketika ponselnya berdering, ada telepon masuk dari Pinkan. Gadis itu segera menepikan mobilnya ke bahu jalan raya dan menyambar ponselnya yang ada di dashboard, menggulir tombol hijau itu ke atas. Ditempelkan benda tipis itu di telinga hingga terdengar suara Pinkan di balik telepon sana...
“Halo, Mel ... lo di mana?” terdengar suara Pinkan panik di seberang telepon.
“Di jalan,” jawab Melody ketus—mengusap wajahnya. “Ada apa?”
“Mau ke mana?”
“Ke tempat Bian.”
“Bentar deh, Mel. Baca chat gue dulu sebelum lo ke tempat Bian. Bukannya gue mau ngadu domba, tapi ini udah keterlaluan, Mel. Gue tutup teleponnya, ya?”
Belum juga Melody menjawab, panggilan telepon itu sudah terputus.
Melody mengernyitkan dahi. Bahkan dia tidak tahu kalau ada pesan masuk dari Pinkan, sebelumnya hanya pesan yang masuk berkali-kali dari nomor Nada. Maka dari itu Melody tidak peduli.
Jari-jemari lentiknya menari cepat di permukaan layar dan menampilkan sebuah chat WhatsApp dari Pinkan mengirim sebuah foto...

Mata Melody langsung terbelalak sewaktu membacanya. Jantung Melody semakin berdebar tak terkendali. Bisa-bisanya Bian bermain di belakangnya dengan perempuan lain, apalagi perempuan itu Jessie, sahabatnya sendiri.
“F*ck!” Spontan bibir Melody mengumpat, tangan kanannya mengepal dan meninju kemudi setir.
Melody seolah ditusuk dari belakang langsung oleh dua orang yang dia sayang dan dia percayai. Dikhianati sedemikian rupa berhasil menghancurkan hati Melody berkeping-keping.
Dia tidak tahu apa tujuan Jessie bisa sejahat itu dan dia juga tidak tahu apa tujuan Bian bisa setega itu?
Tidak ada kata yang bisa keluar dari bibirnya, selain air mata yang tiba-tiba saja menetes dari kelopak yang semula dia tahan dengan kuat agar tidak keluar begitu saja. Sudah berusaha kuat dan meyakinkan diri kalau yang dia lihat dari Nada itu tidak benar adanya. Namun, setelah Pinkan mengirim informasi demikian, kecurigaan Melody semakin menjadi.
Sekuat apa pun dia menahan hati, menahan emosi, menahan air mata. Tetap, pertahanan itu akhirnya hancur lebur.
Melody bergeming. Seluruh tubuhnya gemetar dan tangannya bergetar. Dia menggigit bibir bawahnya. Napasnya mendadak sesak, seolah ada kawat berduri menancap di kerongkongannya hingga terasa sakit ketika air liur menerobos masuk melewati tenggorokan, pandangannya menatap kosong jalanan di depan.
Dan masih saja berharap, kalau semua ini hanya mimpi buruk belaka.
***
Melody membanting pintu mobil dengan kencang, melangkahkan kakinya tergesa-gesa masuk ke dalam kawasan Ocean Dream Ancol sesuai petunjuk dari Pinkan. Ada Pinkan yang berlari mengejar Melody sewaktu dengan secara kebetulan mobil mereka parkir berdampingan di pelataran.
“Mel, Mel, tunggu, Mel ...,” Pinkan berusaha menarik tangan Melody supaya tidak gegabah melabrak Bian dan Jessie di depan umum. “Sabar dulu—”
Melody akhirnya menghentikan langkah, berpaling menatap tajam Pinkan dengan air mata masih mengalir dan wajahnya merah padam.
“Mana bisa gue sabar!” Melody menghempas lengan Pinkan keras-keras. Dia bahkan tidak sadar sudah membentak Pinkan di depan banyak orang, sampai menjadi pusat perhatian. “Eh ... di dalam, cowok gue lagi enak-enak selingkuh sama cewek yang udah gue anggap saudara sendiri!”
“Oke, oke ...,” Pinkan mengangkat tangan bagai menyerah. “Mel ... gue tahu lo pasti emosi banget sekarang. Tapi lo harus tahu aturan—”
“Aturan apa? Hah? Aturan apa!”
“Tenangin dulu diri lo—”
“Gue nggak bisa tenang, Pinkan!”
Pinkan menyentuh kedua bahu Melody, berusaha menenangkan sahabatnya itu yang sudah kalap tersulut emosi. Ditariknya tubuh Melody ke dalam dekapannya, hingga tangis Melody semakin pecah. Pinkan mengelus punggung Melody yang naik turun karena isakan.
“Lo harus tahu aturan kalau mau ngelabrak cowok lo selingkuh.”
Melody mengernyit heran.
“Dengan cara elegan dan jangan terlihat diri lo kalah. Gua bakalan ada di pihak lo, Mel.”
Tidak butuh waktu lama untuk Melody mencerna perkataan itu di kepalanya. Dia bisa menangkap apa yang harus dia lakukan di dalam pada Bian dan Jessie.
***
Langit biru dengan ukiran awan putih menggumpal seperti kapas terlihat sangat indah dan menampilkan pemandangan memukau mata. Terik matahari yang menyorot namun tidak terasa begitu menyengat terasa hangat. Jessie sedang asyik bermain dengan lumba-lumba yang dengan lincah naik ke permukaan untuk menuruti instruksi dari sang pawang untuk mencium pipi Jessie. Tidak jarang juga gadis itu memekik gemas ketika pipinya berhasil dikecup sang lumba-lumba.
Sementara Bian hanya menonton di tepi kolam jauh dari tempat Jessie berdiri sembari mengabadikan momen Jessie dengan lumba-lumba itu melalui foto dan video. Sembari tertawa riang melihat Jessie kegirangan.
“Jes, udah dulu, yuk?” Bian menghampiri, mengernyitkan dahi karena dia tidak kuat dengan teriknya matahari.
Jessie mencibirkan bibir. “Bentar ... lumba-lumbanya masih pengen cium.”
“Mending dicium lumba-lumba apa dicium aku?” Bian menggoda dengan senyuman jahil yang berhasil membuat rona di pipi Jessie muncul seperti tomat ranum.
Jessie memukul gemas lengan Bian, tersenyum malu. “Apaan sih?!”
“Ya udah, yuk? Lagian panas juga,” Bian menjulurkan tangan. “Nanti pusing, lho, kan belum makan apa-apa tadi?”
“Hm ...,” Jessie melirik lumba-lumba itu, mengamit tangan Bian. “Ya udah deehhh. Tapi setelah makan, main lagi sama lumba-lumba, ya?”
“Iya,” Bian mengangguk.
“Kita berenang lagi ....”
“Apa pun, deehhh, yuk?”
Jessie tersenyum, Bian juga. Akhirnya mereka berdua keluar dari kawasan kolam renang untuk menuju stan makanan.