Seminggu berlalu setelah insiden Melody memergoki perselingkuhan Bian dengan Jessie dan yang dia lakukan adalah kembali ke rutinitas gila kerja. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan agar terlupa dari rasa sakitnya. Kesibukan ibaratnya seperti nikotin yang membuatnya kecanduan dan sejenak melupakan semua masalah.
Dan seminggu itu pula Nada sulit menemui Melody. Gadis itu selalu saja mengurung diri di dalam kamar. Dia akan keluar kamar di pagi hari ketika berangkat bekerja, ke toilet dan malam hari untuk mengambil makanan dan minum, lalu masuk lagi. Bahkan Nada berkali-kali berusaha menemui Melody dan membujuk gadis itu untuk tidak mengurung diri di dalam kamar, tetapi usahanya sia-sia.
Melody menganggap Nada seolah-olah hanya sebagai alarm yang tidak penting yang selalu saja mengganggu ketenangannya.
Melody sekarang berada di dalam kamarnya. Seluruh pekerjaannya sudah dia selesaikan. Tidak ada pekerjaan lagi selain diam dan kembali merenungkan nasibnya yang malang. Melody mengamati wajahnya di pantulan cermin rias sambil menyisir rambutnya yang berantakan. Pertengkaran dengan Jessie dan Bian masih setia menyelundup masuk ke dalam ruang ingatannya.
Meski Melody sudah berusaha keras mendistraksi segala isi kepalanya, tetap saja, kejadian itu dengan setia bercokol di sana. Bahkan dia sering kali bertanya-tanya, mengapa takdir sedemikian kejamnya hinggap dalam kehidupan Melody?
Dia tidak munafik, sering kali Melody merindukan Bian. Merindukan sosok penyayang dan hangat yang tidak pernah membentak dan tidak pernah bisa melihat Melody menangis apalagi tersakiti. Lelaki itu bukan lagi lelaki yang kerap memberinya pelukan hangat di saat Melody merasa terpuruk dengan keadaan. Bukan lagi lelaki yang selalu memberi semangat pada Melody tiap kali gadis itu ingin menyerah dengan kejamnya kehidupan.
Melody sangat ingat awal mula mereka bertemu sewaktu Melody kena tilang di lampu merah. Bian yang menilang Melody dan membuat gadis itu kesal, padahal Melody sedang buru-buru karena dia sudah ada janji dengan Pinkan akan memberi kejutan di hari ulang tahun Jessie. Malam itu, tepat pukul sembilan, mobil Melody diberhentikan di persimpangan. Memang ada operasi lalu lintas dan mobil Melody ikut diperiksa kelengkapan.
Melody mendengus kasar, membuka kaca mobilnya ketika beberapa kali kaca itu diketuk oleh seorang aparat berseragam lengkap. “Ada apa ya, Pak?”
“Selamat malam,” Bian memberi hormat dengan sedikit membungkukkan tubuhnya untuk menyejajarkan dengan kaca mobil Melody. “Boleh saya lihat surat-suratnya?”
Melody memutar bola mata malas. Dia mengeluarkan yang diminta Bian. Lelaki itu mengambil surat-suratnya. Bian mengangguk-angguk, melirik Melody. “Melody Almira Pradipta.” Bian mengeja nama itu sembari menyunggingkan senyum.
“Sudah?” tanya Melody ketus. Dia betul-betul dikejar waktu pada malam itu.
“Namanya cantik,” Bian menyerahkan surat-suratnya pada Melody. “Hati-hati di jalan, Melody,” Bian menyungging senyum dan melangkah menjauh, memberi jalan pada mobil Melody untuk melaju.
Tidak merespons apa-apa, Melody segera tancap gas meninggalkan tempat itu.
Ketika dia baru saja sampai di tempat yang sudah dia dan Pinkan rencanakan memberi kejutan pada Jessie, tiba-tiba layar ponselnya muncul notifikasi dari Instagram.
Bian Pranowo started following you
Melody mengernyit heran, awalnya dia tidak mengindahkan namun justru malah penasaran. Dia menge-klik profil Bian dan meneliti wajah laki-laki yang tertera di sana. Melody terbelalak ketika menyadari foto yang tertera ternyata foto seorang aparat yang memberhentikan mobilnya untuk meminta surat-surat.
“Ini yang tadi, kan?” Melody menarik senyum. Dia berniat tidak peduli.
Gadis itu membuka pintu mobil, melangkahkan kakinya turun. Namun, baru beberapa langkah dia masuk ke dalam restoran mewah itu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan masuk Instagram...
Bian Pranomo :
Hai Melody. Salam kenal ya, saya yang tadi. Maaf sudah ganggu waktu kamu :)
Melody mengangkat alis namun tidak bisa dia sembunyikan kalau tiba-tiba senyuman tipis tertarik di bibirnya. Melody menggeleng, berusaha mengembalikan kesadarannya dan kembali melangkah masuk ke dalam restoran.
Dan berawal dari pesan itu hingga berlanjut ke tahap pertemuan. Membuat mereka berdua semakin dekat dan memilih menjalin hubungan.
Melody menghela napas panjang. Menyadari setiap kenangannya dengan Bian selalu saja berkelebat menyelundup masuk ke dalam ingatan. Dia melirik ponselnya, bahkan tidak ada lagi notifikasi pesan atau telepon masuk dari seorang lelaki yang selalu dia tunggu-tunggu kabarnya.
Hanya sebatas angan, yang seharusnya dia lupakan.
“Mel, Melody!” terdengar ketukan dari pintunya dan berhasil merenggut lamunan Melody dan menatap ke arah pintu. “Udah malem, Mel. Makan dulu!” suara Nada menyahut dari luar.
“Belum laper.”
“Emang udah makan?”
“Gue bilang belum laper, ya, belum laper! Nggak usah maksa. Nanti juga kalau laper, ya makan!” bentak Melody.
“Ini gue udah bawain soto Lamongan kesukaan lo. Sayang banget kebuang mulu dari kemarin.”
“Nggak peduli, siapa suruh beli.”
Lalu tak terdengar lagi suara. Dia paling tidak suka kalau ada seseorang yang mengganggu ketenangannya, apalagi memaksa sesuatu yang tidak ingin Melody lakukan. Dia kembali larut dalam lamunannya. Kali ini, dia memilih membaringkan tubuhnya di atas ranjang, menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya. Dia menghadap ke kanan, menghela napas panjang sebelum akhirnya memilih memejamkan mata.
***
Nada mengurut kepalanya yang terasa pusing luar biasa. Melihat data penjualan dari merek sepatu Melshoes tidak bertambah bahkan cenderung menurun. Uang produksi tidak balik modal, justru pengeluaran membengkak dibandingkan pendapatan.
Nada keluar dari ruangan dan menuju bilik-bilik karyawan. Ketika Nada berdiri di depan, seluruh pasang mata tertuju padanya. Insting seluruh karyawan sangat kuat, pasti ada yang tidak beres.
“Tim promosi mana?”
Nada mengarahkan matanya mencari kambing hitam. Dia menghampiri seorang gadis berambut panjang diikat kuda yang menundukkan wajahnya. Nada melempar lembaran kertas yang ada di tangannya ke atas meja tepat di hadapan gadis itu. “Tugas kamu jadi pimpinan di bagian marketing kerjaannya apa?”
Hera—nama gadis itu, masih terdiam. Tidak berani berkutik apalagi kalau Nada sudah memunculkan dirinya di hadapan bilik-bilik karyawan. Kemarahan Nada bukan sesuatu yang bisa dihadapi. Kalau dilawan, sama saja menumbalkan diri untuk terhempas. Jadi, jalan satu-satunya adalah diam.
“Traffic sama engagement di sosmed nggak ada perubahan. Kamu tahu, berapa biaya produksi yang saya keluarkan untuk sepatu itu?”
Hera masih teguh pada pendirian. Diam.
“Penjualan kita dalam sebulan ini cuma lima belas sepatu. Apa-apaan itu? Kalian mau bikin saya bangkrut? Kerjaan kalian bagian marketing itu ngapain aja?”
Nada berpaling mengitari sekitar. “Bagian desain mana?” Sekelompok pekerja, sekitar lima orang, yang duduk di bagian bilik paling pojok angkat tangan. “Sini.”
Mereka bergegas menghampiri, berdiri di hadapan Nada sembari menundukkan kepala. “Untuk kalian cari desain yang cocok untuk sasaran segmen pembeli. Bikin desain yang menarik perhatian dan modern. Jangan kelihatan kuno kayak gitu!”
“Pak, maaf, boleh menyela?” Seorang laki-laki dari bagian desain itu angkat tangan.
Nada menatapnya dingin.
“Maaf, Pak, untuk desain kita ikuti dari perusahaan lama, Melshoes. Tapi ada beberapa desain juga yang kita bikin sendiri.”
“Pak, maaf ...,” Hera angkat tangan. “Saya ada saran, sebaiknya produk sepatu kita branding dengan produk tas yang produksi lama. Itu bisa menarik perhatian para suplier dan saya dengan tim akan gencar promosi di berbagai media sosial begitu juga memberi informasi pada suplier tentang acara dari perusahaan kita.”
“Ada yang lain selain media sosial?” tanya Nada dingin. Sepertinya saran dari Hera tidak menarik perhatiannya.
Mereka saling melirik.
“Nada ... ke ruangan sekarang!” terdengar suara Dodi dari arah pintu masuk bilik-bilik karyawan.
Pandangan Nada dan seluruh karyawan tertuju ke arah sumber suara.
“Iya, Pa.” Teriak nada menyahut, Nada berpaling menatap Hera dan karyawan bagian desain. “Pokoknya, ini PR untuk kalian. Senin saya akan adakan meeting buat bahas masalah ini.”
Nada berlalu pergi meninggalkan bilik karyawan dengan menyisakan sejuta bencana yang menghampiri mereka.