SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #29

PELIPUR LARA

Setelah selesai makan nasi goreng, Nada mengajak Melody muter-muter untuk menikmati jalanan kota Jakarta di malam hari.

Langit Jakarta dipenuhi bintang dengan bulatan bulan yang menggantung di cakrawala terlihat sangat memukau mata. Nada membuka sunroof karena tidak tega melihat Melody harus membungkukkan badannya dan mendongak untuk melihat langit.

“Lain kali kita motoran, yuk?” Nada melirik Melody yang kini juga sedang menatapnya. “Biar lebih leluasa lihat pemandangan kota.”

“Emang bisa?”

“Bisa apa?”

“Motor.” Dengan polos Melody bertanya demikian membuat Nada tidak bisa untuk tidak menahan tawanya meledak keluar.

“Mel ... sebelum gua bisa mobil, diawali dari motor dulu.”

Melody mencibirkan bibir, mengangguk-angguk. “Emangnya ada motor?”

“Ada dong. Di rumah bokap, besok gua ambil.” Bukannya berakhir ke rumah, Nada justru memutar mobilnya menuju gerai Starbucks.

“Kok malah ke sini, sih? Bukannya pulang?”

Nada mematikan mesin mobil. Membuka seatbelt. “Sebentar doang, Mel. Kita nongkrong, biar kayak anak muda.”

Melody terkekeh mendengar celetukan Nada. Tangannya bergerak membuka seatbelt. “Gue masih muda kali. Lo yang udah tua.”

“Nggak apa tua, yang penting tetep ganteng,” celetuknya percaya diri. “Yuk?”

Nada membuka pintu mobil, melangkah turun. Diikuti Melody. Mereka berjalan memasuki gerai Starbucks. Aroma kopi menyeruak memenuhi ruangan. Suara alunan musik Lets go Surfing dari The Drums berpadu dengan suara cengkerama manusia. Seorang barista menyambut dengan ramah, senyuman tidak lepas dari wajah. Nada mengajak Melody duduk di pojok ruangan sembari membawa dua kopi berukuran large.

“Lo suka ke sini, Nad?”

“Jarang sih ...,” Nada menyeruput kopinya.

“Apa enaknya sih kopi ini?”

“Banyak yang lebih enak dari ini sih, Mel. Tapi gue suka ke sini itu karena pelayanannya. Mereka selalu ramah meskipun mukanya kelihatan lelah. Tapi mereka tetep profesional dan menyembunyikan rasa lelah mereka dengan senyuman.”

Melody mengangguk-angguk.

“Mel ... dalam hidup ini, ada yang bisa di bawah kendali kita, ada juga yang nggak bisa kita kendaliin. Apa yang udah ditakdirkan dalam hidup lo, itu di luar kendali lo. Tapi reaksi lo terhadap takdir lo, itu bisa lo kendaliin, Mel.”

Melody mengesah panjang.

“Padahal gue sebelum nikah sama lo, udah punya plan panjang banget. Di umur gue yang 27 tahun, gue udah rencanain pernikahan sama Bian. Bahkan dari wedding organizer, butik sampai dekorasi gedung kita punya impian yang sama. Terus setelah nikah, gue sama Bian mau ambil rumah dan cicil bareng-bareng dan udah rencanain punya anak empat. Tapi nyatanya malah gagal.” Gadis itu mengaduk minuman di hadapannya dengan tatapan kosong.

Nada menipiskan bibir. Dia merasa bersalah mendengar perkataan Melody. Nada merasa sudah menghancurkan impian terbesar Melody. Dia terdiam beberapa detik sampai akhirnya menghela napas. “Gua minta maaf, Mel.”

Melody mengerjapkan mata dua kali. Seolah dia baru tersadar apa yang baru saja dia ucapkan menyakiti hati Nada. Dia jadi tidak enak. “Eh ... nggak gitu, Nad ...,” Refleks Melody memegang tangan Nada. Mata lelaki itu melirik ke arah tangan Melody. “Gue nggak nyesel. Justru ini takdir Tuhan, kan? Mau bagaimanapun gue nolak atau sampai nangis darah sekalipun, gue nggak bisa keluar dari garis takdir-Nya.”

Nada mengarahkan matanya ke Melody yang juga menatapnya.

“Tapi gue merasa udah hancurin impian lo karena keegoisan orang tua gue.”

Melody menggeleng. “Bukan karena orang tua lo atau karena lo ... tapi apa yang lo bilang tadi ada benernya. Setelah gue pikir-pikir ... Tuhan kasih cobaan kayak gini ke gue biar gue lebih sadar dan buka mata, kalau orang yang gue percaya dan gue anggap saudara nggak selamanya berpihak sama kita.

“Gue selalu melambangkan persahabatan gue sama Pinkan dan juga dia dengan bunga mawar kuning karena memiliki simbol persahabatan. Tapi lo juga harus ingat, kalau bunga mawar itu punya duri yang bisa melukai orang, kan?”

Nada menganggukkan kepala.

“Begitu juga dengan hubungan gue sama Bian, kalau gue tetap nekat buat lanjutin hubungan terlarang ini, mau sampai kapan? Justru dengan adanya masalah ini, pikiran gue jadi terbuka soal takdir Tuhan yang udah ditetapkan ke gue. Mau gue lari sejauh apa pun dan menentang semuanya, kalau memang bukan dituliskan buat gue ... gue bisa apa? Pasti akan gagal. Karena rencana manusia nggak bakalan bisa tercapai kalau Tuhan nggak mengizinkan, iya, kan?”

Nada terenyuh mendengar penuturan Melody. Dia bahkan tidak percaya dari masalah yang Melody alami, justru bisa mengubah cara pandang gadis itu menjadi lebih dewasa dan terbuka. Nada menenggak kopinya perlahan, tidak lepas pandangannya menatap Melody.

“Kayaknya dengan masalah ini, lo jadi tahu resep untuk hidup lebih bahagia.”

Melody mengernyit heran, menyimpan kopinya yang semula dia minum. “Maksudnya?”

Nada berdeham, dia menarik kursinya lebih dekat. Manik matanya yang cokelat memandang Melody lebih lekat. Seolah Melody terhanyut dalam tatapan itu. Lalu Nada membisikkan kata-kata. “Amor Fati, Mel. Itu resep untuk hidup lebih bahagia.”

***

Lihat selengkapnya