Perasaan manusia itu seperti cuaca. Bisa berubah-ubah. Sebagaimana Melody yang dingin dan menyebalkan, yang selalu menebarkan hawa panas tiap kali berhadapan dengan Nada. Namun sekarang justru sebaliknya. Dia bisa beradaptasi dengan keadaan.
Memang benar kata Nada, Amor Fati adalah kunci dari kebahagiaan dan kedamaian.
Langit begitu cerah, seolah sedang memberi penyambutan meriah untuk kedatangan Melody. Gadis itu begitu girang saat kakinya merasakan butiran pasir pantai menyelusup di sela-sela jari-jemari kakinya. Di hadapannya, terbentang pemandangan langit biru dan deburan ombak, menimbulkan buih-buih di bibir pantai.
Pandangan Melody berpencar dan menemukan Nada sedang berjalan menghampirinya, lumayan jauh dari posisinya. Lelaki itu menggunakan kemeja pantai berwarna biru dengan dua kancing atasnya terbuka, berpadu dengan celana pendek berwarna krem. Satu tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku celana sementara tangan lainnya merapikan rambut yang beterbangan tertiup angin.
“Happy?” Nada berdiri tepat di sebelah Melody, menyunggingkan senyum.
Melody mengangguk. Dia memperhatikan sekeliling, terpesona dengan keindahan alam yang memanjakan mata. Ingatannya seperti ditarik mundur ke belakang. Pantai ini, Bian pernah membawanya ke sini bersama keluarga Bian. Namun, Melody berusaha menghilangkan semua kenangan tentang Bian yang menyerbu masuk ke pikirannya.
“Syukur deh kalau happy ...,” Nada menghela napas. Dia menghadap ke lautan. “Ke sana, yuk?” Tangan Melody di genggamnya, digiringnya lebih dekat ke bibir pantai.
Karena tidak punya pilihan, Melody menuruti kemauan lelaki itu. Jemari itu bertaut. Anehnya ... tangan lelaki itu serasa begitu pas dan—hangat dalam genggamannya. Melody meneguk ludah, merasakan sensasi familier di dadanya.
Gadis itu menatap jejak-jejak kakinya yang tercetak di permukaan pasir yang kemudian lenyap karena sapuan ombak. Jemari kakinya merasakan sensasi tergelitik karena perpaduan dinginnya air dan gelitik pasir. Dia menatap lautan yang membentang luas.
“Bagus, ya?” Nada melirik Melody.
“Bangeeeet!” gadis itu mengangguk riang.
“Gue fotoin, ya?” Nada mengeluarkan ponselnya di dalam saku, mengeklik fitur kamera. Dia melangkah mundur, dengan senyuman sumringah menatap layar ponselnya.
“Ish, nggak mau ah ...,” Melody mengusap tengkuknya malu. “Lo aja sini gue fotoin.”
“Gantian aja nanti.”
Nada meneguk ludah, dia terpongah menatap Melody mengenakan mini dress berwarna putih terlihat menyatu dengan kulitnya. Kalau katanya bidadari hanya ada di Surga, maka kali ini Nada bisa bilang di Dunia pun ada.
“Nada ... hellow!” Melody berteriak.
Nada mengerjapkan mata, tersadar dari lamunannya. “Eh, iya.”
“Udah dapet fotonya? Ayok gantian.” Melody melangkah, berniat mendekati Nada.
“Eh ... belum,” Nada merentangkan tangan kanan ke depan—menahan Melody untuk mendekat. “Foto lagi, tadi cari angel yang pas.”
“Oh,” Melody mengangguk. Kembali ke posisinya. Dia kembali berpose. Pose pertama, dia tersenyum ke kamera dengan rentetan putih giginya terlihat bersinar. “Gimana? Udah?”
Bahkan Nada terus memotret Melody dengan berbagai pose. Padahal dia tidak sedang berpose, tapi Nada tetap mengabadikannya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya untuk bisa menyimpan foto Melody di ponselnya.
“Coba pakai kacamata ini, Mel.” Nada menyerahkan kacamata hitam yang menggantung di belahan kerah kemejanya.
Melody meraih kacamata itu dan memakainya. Rupanya, kacamata itu sangat cocok dipakai Melody, kecantikannya semakin memancar dan berhasil membuat Nada terpana tak berkedip.
“Nadaaa ... kok malah bengong?” teriak Melody yang sudah mulai jengkel.
Nada menggeleng, dia kembali fokus pada ponselnya. “Ayok, gaya apa pun.”
Melody duduk di permukaan pasir dan menoleh sedikit ke kanan. Seolah candid. Nada menyungging senyum dan klik. Nada mengabadikan gambar.
“Gimana? Bagus?” Melody bangkit, berlari kecil menghampiri Nada. Berdiri di samping lelaki itu dan menatap layar ponsel dengan saksama. Gadis itu mengacungkan jempolnya. “Baguusss.”
“Fotografernya mahal, lho, ini, Mel.”
Melody mengernyit, berpaling menatap Nada. “Oh gitu? Mau gue bayar?”
Alis Nada bergerak naik-turun dengan senyuman jahil.
Melody semakin mengernyit heran, dia membuka kacamata yang melekat di kedua matanya. “Apaan?”
“Nanti malam aja bayarnya.”
“Hah?”
“Masakin gue.”
“Oh ...,” Melody mengangguk-angguk. Mengacungkan jempol. “Siap, telur ceplok.”
“Apa, Mel? Cipok? Boleh,” Nada mengangguk girang, menyunggingkan senyuman sumringah.
Melody terbelalak, dia mengusap wajah Nada. “Nggak usah mesum!”
Sementara Nada cekikikan geli.
“Ya udah sini gantian, gue fotoin.” Dia menyambar ponsel Nada. Tanpa persetujuan, dia melangkah mundur, mencari posisi yang pas untuk memotret suaminya itu. “Ayok pose.”