Pandangan Nada seluruhnya tertuju pada gadis itu—seolah-olah semua yang mengelilingi Clara menghilang dan perlahan menjadi buram. Dia merasakan debaran-debaran cepat di dadanya sama seperti dulu. Tanpa sadar, Nada menarik bibirnya. Gadis itu seperti bunga aster, tapi terkadang seperti bunga krisan kuning.
Sepulang bekerja, Nada menepati janjinya pada Clara menemaninya ke apartemen untuk memberesi barang-barangnya karena keputusan Clara sudah bulat, dia ingin pindah dari apartemen itu. Padahal, Nada meminta pada Clara untuk tinggal dulu sementara waktu di rumahnya sampai kondisi sedikit memungkinkan. Tapi Clara bersikukuh, dia tidak mau merepotkan Nada apalagi membuat Melody curiga. Alhasil, laki-laki itu pun pasrah. Dia akan mengantar Clara mencari apartemen baru.
Dan sekarang, mereka sedang berada di sebuah toko donat. Donat adalah makanan favorit Clara, bahkan dia rela mengocek berapa pun uang untuk membeli sebuah resep donat dan akhirnya dia praktikkan di rumah.
“Udah?”
“Hm?” Clara menoleh, menatap Nada yang duduk di sebuah kursi tunggu di belakangnya. “Bentar, masih pilih-pilih. Kamu mau yang rasa apa? Cokelat, ya? Melody ... rasa apa dia?”
“Udah nggak usah,” Nada sekarang sudah berada di samping Clara. “Buat kamu aja.”
“Nggak dong, Nad. Masa Melody nggak dibeliin? Jahat banget kamu ih.” Clara kembali memilih-milih donat yang terpajang di etalase. Dan pilihannya tertuju pada donat topping cokelat, greentea dan redvelvet.
Sementara Nada menggelengkan kepala. Clara masih tetap sama, tidak enakan. Selalu memikirkan orang lain.
Ponselnya bergetar di balik saku celana, lelaki itu mengeluarkan ponselnya. Mendapati pesan masuk dari Dodi.
Papa:
Nanti malam ke rumah Papa, kita makan malam bersama keluarga Melody juga.
***
Melody berbaring di atas ranjang dengan pikiran mengawang-awang. Matanya tertuju ke atap kamarnya. Gadis itu mendesah pelan, berharap bebannya bisa terangkat seiring dengan udara yang berembus keluar dari hidungnya.
Dia teringat senyuman Bian. Entah kenapa pikiran itu kembali ke sana, ke masa-masa indah yang mereka lewati bersama. Dia memejamkan mata, berharap ingatannya tentang Bian hilang dengan sendirinya. Tapi justru malah berganti menjadi ingatan yang dia lihat kemarin malam, Nada memeluk mantan kekasihnya.
Jika hati manusia transparan, mungkin bisa terlihat ada goresan luka yang muncul di permukaan hati Melody. Baru, segar, dan sangat menyakitkan. Belum hilang luka lamanya bersama Bian, luka baru kembali muncul. Bahkan lebih dalam dari sebelumnya.
Melody mengutuk dirinya sendiri, mengapa bisa dia menyimpan harapan pada Nada yang justru berpotensi menanam luka. Mana mungkin bisa Melody bertahan dalam situasi tinggal di dalam satu atap bersama mantan kekasih suaminya? Sama halnya seperti seorang suami yang mempunyai dua istri.
Gadis itu duduk tegak diranjangnya, mengambil ponsel di atas nakas. Dilihatnya ada pesan masuk dari Nada..
Nada Dering :
Mel... mlm ini Papa Dodi undang kita makan mlm
Lo jgn blng sama Papa atau bokap nyokap lo soal Clara.
Melody menghela napas sebal. Bagaimana bisa Nada justru masih memikirkan Clara, Melody kira Nada ingin meminta maaf soal kejadian tadi pagi. Tapi nyatanya, harapan Melody terlalu tinggi.
Dia tidak membalas. Justru jari-jemarinya menari lihai dan mengeklik galeri di ponselnya. Dia mengamati foto-foto yang diambil Nada tempo lalu di pantai.
Tak lama, ingatan tentang Nada menyeruak lagi seperti cahaya menyelinap sewaktu seseorang membuka gorden di pagi hari.
Ingatan di mana Nada berhasil membuang rasa sakit di hati Melody berangsur-angsur membaik. Nada yang berhasil membuat Melody merasa hidup kembali. Nada yang berhasil mengubah cara pandang Melody soal takdir. Nada yang mampu membuang semua beban yang Melody rasakan seiring dengan tawa yang melebur keluar. Nada yang berhasil mencuri ciuman pertama Melody...
“Ah, sial!” maki Melody pada dirinya sendiri. Dia kesal mengapa bisa dia kecolongan. Bagaimana bisa Nada dengan mudah mengambil perhatian Melody dan membuyarkan semua.
Kini sekarang dia termenung juga. Mengingat kejadian yang mendadak mengisi penuh ruang kepalanya. Refleks dia menyentuh bibirnya, mengingat kembali kejadian yang membuat Melody selalu terbayang bagaimana dekatnya wajah Nada seolah tidak ada ruang yang menjadi penghalang.
Gadis itu menyandarkan kepalanya di sandaran ranjang. Bagi Melody, lelaki itu hidup di dalam dan di luar dirinya, begitu dekat. Tetapi anehnya, tidak bisa tersentuh oleh kata dan raga. Perasaannya pada Nada seolah mengalahkan rasa sakitnya yang sudah Bian goreskan di hatinya.
Samar-samar, terdengar suara cengkerama di balik pintu kamar. Suara Nada dan Clara. Dia melirik jam beker di atas nakas, menunjukkan pukul lima sore. Dia berniat untuk tidak keluar kamar, malas juga kalau harus berhadapan langsung dengan mereka berdua.
Melody memilih meringkuk di atas ranjang, menutupi wajahnya dengan bantal. Berusaha mendistraksi segala suara yang dia dengar. Suara senda-gurau, tawa, pekikan kecil Clara. Menjadi suara paling menyebalkan di telinga Melody.
Namun, suara ketukan di balik pintu kamar merenggut perhatian Melody untuk menatap ke arah sana. “Mel, Melody. Udah pulang?” terdengar suara Nada.
Melody mendengus malas. Dia berusaha tidak memedulikan, namun suara Nada semakin mengganggu ketenangan. Alhasil, mau tidak mau dia bangkit dan bergegas membuka pintu.
Ada Nada di sana, masih mengenakan pakaian kerjanya. Dia memandang Melody. “Kapan pulang? Kok nggak minta jemput?”
“Jam empat.”
“Iya, Melody, kenapa nggak minta jemput Nada? Tadi jam segitu padahal aku baru mau ke apartemen buat beres-beres barang.” Suara Clara menyahut dari arah dapur. Melody mendelik ketus, sementara Nada memberi peringatan dengan gelengan kepala. Meminta pada Melody untuk bersikap baik.
Melody memutar bola matanya, dia menghampiri Clara di dapur. “Kok beres-beres sih? Emangnya mau ke mana? Mau tinggal di sini?” Dia melirik Nada, meminta penjelasan.
Lelaki itu menggeleng.
“Nggak kok. Aku mau pindah apartemen baru. Kebetulan udah nemu tadi sama Nada. Jadi kemungkinan nanti malam aku mau pindah. Makasih banyak ya, Melody, udah izinin aku buat tinggal di sini.”
“Hah? Malam ini? Bukannya situasi masih bahaya, ya? Di sini bakal jadi tempat yang aman buat lo.” Melody berlagak kaget dengan suara cemas yang dibuat dramatis. “Kalau lo sampai kenapa-napa, kan, nanti Nada nggak bisa maafin dirinya sendiri. Terus, kalau semisal dia frustrasi, yang repot gue juga, La.”
Clara melirik Nada yang mengedikkan bahu.
Lelaki itu menatap nyalang Melody. Dia menggeleng samar, memberi isyarat pada istrinya itu untuk berhenti berlebihan.
“Tadinya aku sebenernya mau tinggal di sini dulu untuk sementara waktu sampai situasi aman, tapi aku takut keberadaan aku di sini tuh, malah bikin kamu nggak nyaman ... aku nggak mau kamu jadi berpikiran buruk ke Nada karena ada aku di sini.”
“Ish, nggak kok. Lagian apa sih yang bikin gue berpikiran buruk ke lo? Lo itu bukan tipe seseorang yang suka merebut suami orang, kan? Ya, meskipun Nada mantan lo, tapi tetap status dia suami orang.”
Nada lagi-lagi dibuat ternganga dengan perkataan Melody yang melebihi batas.