SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #36

ALGORITMA PERASAAN

Seorang lelaki mendongak, menatap ke sebuah gerbang hitam yang tertutup rapat. Dia mulai mengintip melalui celah di sela-sela gembok dan melihat satpam memergokinya. Gerbang itu perlahan terbuka dan menampakkan seorang laki-laki. “Melody-nya ada, Pak?” tanyanya sopan. “Saya Bian, temannya.”

“Non Melody sedang tidak ada di rumah, tadi keluar sama Pak Nada. Ada perlu apa, ya?”

“Oh ... kira-kira masih lama nggak, Pak?”

“Kurang tahu, Mas. Sepertinya masih lama pulangnya. Kalau ada perlu, saya sampaikan.”

“Oh ... nggak, Pak,” Bian menggeleng, tersenyum rikuh. Tangannya menenteng sebuah paperbag. “Ini ... saya titip ini buat Melody.”

Pak kendil mengambil paperbag itu. “Oke, nanti saya sampaikan.”

“Terima kasih, Pak.” Bian tersenyum, melangkah mundur dan berbalik. Kembali masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping gerbang. Lelaki itu tidak benar-benar pergi, dia mengamati gerbang yang kembali tertutup rapat. Bian masih berharap bahwa Melody masih mau menerima kehadirannya, paling banter sudi bertemu dan bertatap muka dengan Bian. Tujuan lelaki itu hanya satu, meminta maaf dengan tulus.

Dalam hatinya dia mengutuk, mengutuk takdir yang membuatnya dan Melody harus berpisah. Mengutuk dirinya mengapa tergoda dengan rayuan racun Jessie. Berawal dari iseng dan berujung kehilangan seorang kekasih yang sangat dia cintai.

Perhatian Bian teralihkan saat mendengar ponselnya berdering, dia merogoh saku jaketnya dan melihat nama Komandan di layarnya. Dia segera menekan tombol hijau, menempelkan benda itu di telinga. “Iya, Dan, siap. Sekarang saya meluncur ke sana.”

Bian memasukkan ponselnya ke saku, lalu segera memutar setop kontak mobilnya. Di pandangnya gerbang rumah Nada untuk yang terakhir, sebelum akhirnya dia benar-benar pergi. Mobilnya melaju, meninggalkan asap tipis membumbung di udara malam.

***

Pukul sebelas malam. Jalanan kota Jakarta masih terlihat ramai, hiruk-pikuk kendaraan tidak hentinya berseliweran. Suara klakson silih bersahutan tidak sabaran. Nada menoleh dan menemukan Melody sudah tertidur, meringkuk di ujung pintu. Nada terdiam sejenak, mengamati ekspresi Melody saat memejamkan mata dengan embusan napas teratur. Tangan Nada bergerak menurunkan sandaran kursi, membetulkan posisi gadis itu agar lebih nyaman. Dia juga menggeser saluran pendingin agar tidak terarah langsung ke Melody. Dia juga menggerakkan jemarinya di depan AC, memastikan kalau suhu tidak terlalu dingin.

Nada kembali memandangi Melody. Posisi Melody yang meringkuk membuat dress-nya tersingkap dan memperlihatkan paha mulusnya. Dia menelan ludah, membantu menuruni kainnya agar kembali tertutup. Ada sekumpulan kupu-kupu yang terasa memenuhi perut Nada.

Perjalanan yang mereka tempuh dari rumah Dodi ke rumah Nada menghabiskan waktu satu jam karena harus terjebak macet. Akhirnya, mobil Nada berhenti di depan gerbang, Nada menekan klakson dan perlahan gerbang terbuka. Mobil masuk ke dalam dan berhenti di pelataran.

Lelaki itu mematikan mesin mobil, lalu kembali menoleh ke Melody yang masih meringkuk seperti bayi. Dia tersenyum, lalu, segera melepaskan sabuk pengaman di tubuh Melody. “Mel, bangun. Udah sampai nih.”

Melody masih tertidur.

Nada mengguncangkan bahu gadis itu sampai akhirnya mata Melody terbuka. Sepasang kelopak Melody mengerjap, beradaptasi dengan cahaya dan pemandangan di sekelilingnya. Lalu, dia berpaling menatap pintu di sebelahnya mendadak terbuka. “Yuk turun, udah sampai.”

Gadis itu mengernyitkan dahi, menguap, sebelum akhirnya turun dari mobil. Mereka jalan berdampingan, Melody mengucek matanya yang masih terasa buram. Sementara Nada memerhatikan Melody. Dipandangnya gadis itu dengan senyuman tertarik di bibirnya, hingga langkah mereka tiba di depan pintu.

Nada membuka pintu, mempersilakan Melody untuk masuk terlebih dahulu. Melody sedari tadi banyak diam dan Nada juga merasa canggung untuk mengajak bicara. Sampai gadis itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat.

Nada menghela napas, memandang pintu kamar itu lekat. “Mel ... gua minta maaf. Bagaimanapun caranya, gua nggak bakalan pernah sia-siain pernikahan kita. Pernikahan yang hanya beberapa bulan lagi menuju perceraian.”

***

Nada menyungging senyum ketika melihat Melody duduk di halte Astreo Magma di seberang jalan di mana mobil Nada berhenti. Dia hendak memutar arah, namun macet dari perempatan membuat Nada kesulitan untuk langsung putar arah. Dia menunggu giliran sembari memerhatikan Melody di seberang jalan. Sebetulnya Melody bersikukuh tidak mau di jemput Nada. Tetapi, sebagai suami siaga, tentu Nada tidak memedulikan tolakan Melody. Dia tetap menjemput istrinya itu, meski Nada tahu, pasti ada perdebatan setelah itu.

Melody tidak sendirian di sana, ada dua laki-laki sebaya dengannya berdiri di sisi kanan dan kiri Melody, mengapit tubuh gadis itu.

Sore itu, jalanan terlihat sibuk, namun trotoar terlihat lengang. Nada melihat ada interaksi yang aneh dengan dua orang yang mengapitnya. Tiba-tiba, terlihat Melody mendorong salah satu laki-laki itu yang hendak memeluknya. Sejurus kemudian, terdengar suara teriakan Melody. “TOLOOONGGG!!!”

Nada tersentak. Mobilnya yang masih dalam antrean mendadak dia tinggalkan. Dia buru-buru lari menyeberang, menghampiri Melody yang terlihat sedang memberontak.

 Melody berusaha melarikan diri dari dua laki-laki yang mengganggunya, tidak ada seseorang di sana yang bisa dimintai pertolongan. Seolah Melody dalam bahaya tidak terlihat kasat mata.

Tiba-tiba, salah satu dari laki-laki itu menarik tangan Melody. Nada semakin murka melihat kejadian itu, dia meneriaki dua laki-laki itu. “WOI!”

Dua orang itu menengok ke arah Nada yang sudah mendekat. Lalu tiba-tiba Nada menarik kerah baju keduanya dan membanting ke arah jalanan. Hingga mobil yang hilir-mudik mendadak menginjak rem karena ada dua orang laki-laki yang terkapar di tengah jalan. Dua laki-laki itu bangkit, berlari menghampiri Nada dan melayangkan kepalan tangan mereka. Namun, Nada dengan sigap bisa membaca arah kepalan tangan mereka sehingga dia menundukkan kepala untuk menghindar.

Sebagai gantinya, Nada meninju perut salah satu laki-laki itu sampai terhuyung jatuh. Sementara yang satunya berhasil mendapatkan tendangan maut dari Nada tepat di kakinya, hingga lelaki itu terjatuh sembari memekik karena bisa dipastikan kalau kakinya yang Nada tendang bisa saja patah.

Dua tangan Nada bekerja untuk memukuli kedua lelaki itu membabi buta secara bergantian. Beberapa orang berbondong-bondong menghampiri untuk melerai.

“NADA, UDAH NADAAAAA!” Melody berusaha melerai dengan berteriak sekencang-kencangnya semampu yang dia bisa. Air matanya sudah mengalir dari pelupuk turun ke pipi. Tubuh Melody bergetar, melihat Nada seperti orang kalap. Melody tidak menyangka Nada terlihat begitu menakutkan.

Lihat selengkapnya