SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #37

KAMUFLASE RASA

Pagi ini kantor Astreo Magma digemparkan dengan sebuah berita pertengkaran antara Nada dan dua orang misterius yang berusaha mengganggu Melody di halte kemarin. Kabar menyebar luas dalam kurun waktu satu malam, melebihi cepatnya apollo Neil Amstrong yang melesat ke bulan. Pandangan orang-orang terpusat pada Melody, bagaikan magnet yang menarik logam, setiap pasang mata yang menyadari kehadiran Melody melangkah mendekat.

Hingga akhirnya, Melody berada dalam kerumunan.

“Bu ... bener nggak sih kata Pak Guntur (satpam Astreo Magma) kemarin suami Ibu berantem di halte depan lawan dua orang?” Riska—bagian lobi bertanya heboh, membuat semua orang di sana menunggu jawaban Melody dengan saksama.

“Jambret bukan, Bu?” tanya karyawan lain.

“Tapi Bu Melody nggak apa-apa, kan?” tanya Galih.

Melody menghela napas, mengitari pandangannya menatap seluruh karyawan yang mengerumuninya. Seperti segerombolan semut yang mengerumuni gula.

“Nggak kok, saya nggak apa-apa,” jawab Melody dengan intonasi suara tenang. Terdengar helaan napas lega dari para karyawan. “Mereka ganggu saya, tapi untungnya suami saya keburu dateng. Biasalah cowok, lihat istrinya diganggu pasti langsung emosi. Jadi berantem deh.”

“Syukur deh, Bu, kalau Bu Melody nggak apa-apa,” sahut Riska. “Nanti kalau nunggu jemputan mending di dalem aja, Bu, daripada di halte bahaya.”

“Ih, ngeri juga ya, kalau sendirian di halte,” Astri bergidik ngeri. “Mending nunggu di pos satpam aja, ya, kalau gitu jadinya?”

“Iya, bener, mending di pos satpam aja deh. Kecuali banyak yang nunggu juga di sana, baru aman.”

Melody menyungging senyum. “Nah, pengalaman saya jadiin pelajaran. Lebih hati-hati lagi, pokoknya jangan sendiri deh. Ya udah kalau gitu saya permisi, ya, mau ke ruangan.”

Refleks semua karyawan menyingkir ke samping, memberi ruang untuk Melody jalan. “Oh, iya, Bu. Selamat bekerja.”

Melody mengangguk, menarik senyum. Melangkah meninggalkan karyawan yang perlahan-lahan mulai bubar dan kembali ke aktivitasnya masing-masing. Melody menutup pintu ruangan, menyimpan tas di atas meja. Dia menghela napas, tiba-tiba ruang kepalanya di penuhi dengan kejadian kemarin, di mana Nada mempertaruhkan nyawanya hanya untuk menyelamatkan Melody.

Dia semakin bimbang. Apakah dia salah sudah mengungkapkan isi hatinya pada Nada? Melody takut dengan pengakuannya semalam, justru menjadi boomerang untuknya dan pada akhirnya justru membuat Nada memilih untuk menjauhinya.

***

Jessie berdiri di depan pintu rumah Bian. Diketuknya pintu itu tidak manusiawi diiringi dengan teriakan Jessie yang memanggil nama Bian berkali-kali. Hingga tidak lama, Bian membuka pintu dengan kondisi wajah seperti baru bangun tidur, rambutnya acak-acakan dan kelopaknya menyipit.

Dipandangnya lelaki itu terang-terangan dengan pandangan nanar. Kedua tangannya mengepal dan matanya memerah karena menahan air mata. “Kamu kenapa putusin aku?” tanya Jessie dengan suara bergetar. “Jawab, Bian! kamu nggak bisa mutusin hubungan kita cuma satu pihak. Kamu pikir hubungan kita cuma bercandaan?”

Bian meringis. “Lo apa-apaan sih, Jes? Masalah ini udah kelar, kan?”

“Nggak! Kamu tahu, demi kamu aku rela ngorbanin sahabat aku sendiri! Demi kamu aku kehilangan dua sahabat terbaik aku. Dan demi kamu juga, aku rela dicap sebagai pelakor!”

“Bukan demi gua, tapi lu yang bego, paham?” Bian memaki. “Ini yang terbaik. Justru kalau hubungan ini dilanjutin, yang ada kita saling menyakiti diri sendiri.”

Tangannya yang semula terkepal di samping tubuh, dengan bebas memukul bahu, dada, dan lengan Bian. “Aku nyesel udah percaya sama kamu. Saking cintanya, aku sampai lupa sama diri sendiri. Saking bodohnya aku, malah kasih semua yang kamu minta dengan cuma-cuma. Aku bener-bener nggak bisa bedain antara obsesi, delusi dan hal yang seharusnya aku pertahanin!”

Bian menggeram marah, wajahnya memerah. Disentakkannya tangan Jessie agar menjauh darinya. “Lo yang sukarela kasih semuanya, Jessie. Gua cuma minta sekali dan lo dengan senang hati kasih berkali-kali.”

Jessie menggelengkan kepala, tidak percaya bahwa Bian akan sejahat itu padanya.

“Eh, dengerin gua, Jes. Gua nggak pernah mau nikah sama lo, hati gua cuma buat Melody dan itu alasan gua kenapa nggak pernah berani sentuh Melody, karena dia cewek yang emang bener-bener menjaga dirinya sendiri. Beda sama lo, sedikit gua rayu, gua bisa dapat semuanya.”

Jessie semakin terisak, perkataan Bian sungguh mendobrak hatinya.

“Lo itu bodoh, Jes. Lebih merelakan kehilangan dua sahabat lo demi cowok kayak gua?” Bian geleng-geleng kepala, tertawa sarkastis. “Seharusnya lo itu sekarang minta maaf sama Melody, bukan malah ke sini mohon-mohon di depan gua supaya gua mau balik lagi sama lo? Nggak, Jes. Hubungan kita itu racun. Percuma dilanjutin kalau gua sendiri nggak ada rasa. Gua nggak mau ngerusak lo lebih dalam lagi.”

Jessie menggelengkan kepala, tidak percaya perjuangannya untuk mendapatkan Bian ternyata berakhir tragis seperti ini. Dia mendorong tubuh Bian sekuat tenaga sampai lelaki itu hampir terhuyung kalau saja tidak berpegangan pada pintu.

Jessie berbalik, tanpa mengeluarkan kata-kata yang dirasa percuma, dia pergi dari rumah itu, dengan harapan yang telah pupus.

***

Melody baru saja keluar dari sebuah restoran bersama Pinkan setelah mereka selesai makan siang bersama. Namun, langkah keduanya terhenti tepat sebelum melangkah masuk ke mobil masing-masing di pelataran resto.

Refleks, Pinkan menahan tangan Melody. “Mel ...,” pandangan Pinkan tertuju pada satu orbit lurus.

Melody menoleh, menatap Pinkan dan mengikuti arah pandangnya. Di depan mereka, kini sudah berdiri Jessie. “Jessie?” tanyanya heran. “Ngapain lo di sini?” pandangan Melody mengitari sekitar, melihat mobil Jessie terparkir di ujung pelataran.

Pinkan mengamati Jessie, ada yang berbeda. Sorot mata Jessie terlihat sendu dan wajahnya memucat. “Lo ke sini mau ketemu siapa, Jes? Melody?” tebaknya asal dan dibalas Jessie dengan anggukan kepala.

Pinkan melirik Melody yang juga meliriknya.

“Ada apa?” tanya Melody dingin. Kedua tangannya terlipat di depan dada.

“Mel ...,” Jessie mendongak, matanya berkaca-kaca. Hening, butuh jeda beberapa detik baginya untuk kembali bersuara. Bibirnya terlihat bergetar, bahkan sebelum dia menjelaskan. “G—gue mau minta maaf, Mel,” suaranya terdengar sumbang.

Melody mengernyit heran.

“Mel, please maafin gue. Lo boleh marah sama gue, lo boleh tampar gue, lo boleh melakukan apa pun asalkan lo mau maafin gue ...,” Jessie mulai menangis dan itu membuat Melody bingung.

Pinkan menghela napas jengah.

“G—gue udah selesai sama Bian.”

“Terus? Apa hubungannya sama gue?” tanya Melody ketus.

“G—gue nyesel apa yang udah gue lakuin. Gue akui gue bodoh udah lepas dua sahabat baik gue cuma demi cowok brengsek kayak Bian.”

Lihat selengkapnya