Hal pertama yang melintas dalam kepala Nada ketika mendapat pilihan dari Dodi soal keselamatan Clara adalah bergerak cepat mengambil tindakan. Dia tidak mau sampai Dodi bertindak kejauhan, dia ingin Clara tetap selamat. Karena kalau tidak, Nada tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.
Alhasil, hal yang dia lakukan ketika jam istirahat tiba adalah menemui Clara di apartemennya. Lelaki itu duduk di sofa kamar Clara.
“Ada apa, Nad? Tumben banget pengen ketemu aku?” Clara menyimpan secangkir kopi di hadapan Nada, pandangannya intens tertuju ke laki-laki yang duduk di hadapannya terlihat gelisah. “Kamu kenapa? Ada masalah? Kamu boleh cerita sama aku, kok.”
Nada menghela napas panjang. Menatap intens perempuan itu. “Aku mau ... kamu pergi dari sini secepatnya, La.”
Clara mengernyit heran. “Lho? Ada apa? Aku di sini merasa aman, Nada. Nggak ada yang ganggu aku. Kenapa tiba-tiba kamu nyuruh aku buat pergi dari sini?”
Nada menggeleng. “Bukan cuma dari sini, La. Tapi dari Indonesia.”
Clara semakin dibuat kebingungan. “Maksud kamu apaan sih, Nad? Aku sama sekali nggak paham,” Clara geleng-geleng kepala. Dihempaskan punggungnya ke sandaran sofa.
“La ... dengerin aku, mau kamu di sini, atau luar kota sekalipun, kamu tetap nggak bakalan aman. Terlebih kamu nggak punya siapa-siapa di sini selain aku dan aku pun nggak bisa buat selalu jagain kamu 24 jam nonstop. Aku punya kehidupan baru sekarang, aku punya keluarga baru.”
Clara mengangguk. “Iya aku tahu itu, Nad. Tapi aku nggak akan minta bantuan kamu lagi sekarang. Aku bakalan hidup mandiri, paling kalau kepepet banget, aku minta bantuan Aldo.”
“Ini bukan soal hidup mandiri, Clara ...,” Nada menggelengkan kepala. “Ini soal keselamatan kamu, soal nyawa kamu.”
Clara menarik tubuhnya untuk duduk tegak. “Emang kenapa, sih? Ada apa sebenarnya? Kamu tahu siapa yang teror aku selama ini?”
Nada meneguk ludah, mengangguk samar.
“Siapa?”
“Orang terdekatku dan ...,” Nada mengibaskan tangan. “Udahlah, pokoknya kamu harus bener-bener pergi dari Indonesia. Jangan libatkan siapa pun di sini, termasuk Aldo. Kalau kamu libatkan Aldo, sama aja kamu tumbalin dia.”
“Apa sih, Nad, aku nggak ngerti?” Clara mengernyitkan dahi. “Emang, ya, Indonesia kental banget sama mistisnya sampai harus ada tumbal-menumbal yang udah kelewat kuno. Dan kamu masih percaya dengan hal begitu?”
Nada menggeleng. “Ini bukan soal mistis, Clara. Nggak ada ikatan mistis dalam masalah ini.”
“Ya terus ... apa? Hm?”
“Pokoknya aku minta dengan sangat sama kamu ... kembali ke LA. Kamu lebih aman berada di tengah-tengah keluarga kamu daripada kamu harus mengorbankan nyawa kamu untuk tetap tinggal di sini.”
Clara tertawa hambar. “Nada ... kamu dari tadi nyuruh aku buat pergi tanpa alasan yang kuat. Sebenarnya apa yang lagi kamu rencanain sih? Kamu takut, aku ganggu rumah tangga kamu?” Clara menggeleng. “Aku menghargai kamu, aku menghargai keputusan kamu untuk menikah dan aku terima ini semua karena aku mikir ... mungkin ini hukuman dari Tuhan buat aku karena aku udah ngecewain kamu.”
Nada menggeleng.
“Lagi pula aku ke Indonesia buat mengamankan diri dari Jake, cowok yang udah culik aku. Aku bakalan lebih aman kalau aku tinggal di sini, daripada di LA dengan lingkungan yang jauh lebih berbahaya, Nada.”
“Tapi ancaman seseorang yang udah teror kamu akhir-akhir ini, lebih berbahaya daripada keselamatan kamu di LA. Kamu di LA bisa berlindung ke keluarga kamu, sedangkan di sini kamu sendiri, La. Aku nggak mau, dengan cara aku membiarkan kamu buat tinggal di sini, justru membuat kamu terancam di setiap detiknya.
“Sebelum terlambat, La, aku mohon. Demi keselamatan kamu, demi nyawa kamu, demi ketenangan kamu. Aku mohon kamu balik ke LA, ya?”
“Emang siapa sih, orang yang udah teror aku akhir-akhir ini? Katanya kamu tahu?”
“Dia ... Papa Aku, La. Kamu tahu, kan, Papa aku gimana?”
Clara meneguk ludah. Dia tergugu mendengarnya, dia ingat bahwa Dodi pernah hampir menghabisi nyawa Nada ketika laki-laki itu ketahuan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Dan Clara sangat ingat ketika Dodi mengarahkan bodyguard-nya untuk meneror pelaku utama yang mengajak Nada terjerumus ke dunia menyeramkan itu dan berakhir dengan temuan mayat di sebuah gudang kosong.
Namun dengan picik Dodi justru melemparkan kesalahan pada bodyguard-nya dengan bayaran yang sangat fantastis ketika polisi setempat menginterogasi Dodi. Alhasil, nama Dodi beserta keluarganya selalu bersih dari incaran polisi. Sementara Dodi selalu menumbalkan bodyguard-nya untuk menjadikannya kambing hitam.
“Kamu sekarang paham, kan, kenapa aku bersikeras buat kamu cepat pergi dari sini?” suara Nada terdengar lirih. “Sebelum semuanya terlambat, La. Aku nggak mau Papa maju lebih dulu untuk mengambil tindakan gilanya.”
***
Pandangan Melody sejak tiga jam yang lalu tidak terdistraksi dari layar tipis Macbook, sibuk membaca e-mail masuk dari relasi kantor. Lalu membalas satu per satu. Bahkan meskipun dia izin tidak masuk kerja, tetap saja pekerjaannya dia kerjakan di rumah. Tanpa sadar, waktu semakin cepat berlalu, detak jarum jam beradu dengan ketikan Macbook. Saling bersahutan seolah saling mengejek siapa yang lebih cepat.
Tepat di pukul dua siang, dia menghentikan pekerjaannya. Dia meregangkan ototnya karena terasa pegal-pegal. Gadis itu menguap, menyambar gelas air mineral di atas nakas, meneguknya hingga habis setengah gelas. Pandangannya tertuju pada sebuah kotak yang dibalut kain hitam yang dia temui di jas Nada. Dia baru teringat, ada memori di dalam sana.
Melody menyambar kotak itu, menyimpan gelasnya di atas nakas. Dia membuka kotak itu dan mengambil memory card. Dia penasaran juga file apa yang ada di dalamnya, sampai harus dibalut kain hitam. Gadis itu memasangkan memory card itu di MacBook sampai terhubung.
Jemarinya menari lihat di atas touchpad, mengeklik satu-satunya file yang tertera di layar, ada sebuah video rekaman. Melody mengernyit heran. “Video apaan? Jangan-jangan Nada suka nonton video dewasa lagi?” Melody mengusap dagunya. “Atau jangan-jangan ... video perselingkuhan Clara? Wah, seru nih.”
Melody menyungging senyum, lantas jemarinya mengklik tombol play. Dan sebuah video memenuhi layar.
Melody dibuat terbelalak dengan kelopak yang melebar, ternyata isi video itu lebih mengejutkan ketimbang video syur Clara yang dia harapkan. “P—papa? Mama? Ada Om Putra juga?”
Melody menonton dengan saksama rekaman itu dengan volume full nyaris memenuhi kamarnya yang sunyi.
“Karena kau ... karena kau, perusahaan aku jadi bangkrut!” teriak Herman di dalam video itu.
Putra yang duduk di hadapan Herman, tiba-tiba menggebrak meja dan bangkit. Telunjuk kanannya mengarah tepat ke wajah Herman. “Aku tidak pernah ikut campur urusan perusahaanmu. Dengar, Herman, kau sendiri yang gelap mata!”
Herman ikut bangkit. Balik menunjuk Putra. “Justru karena saranmu itu membuatku semakin bangkrut, Putra!”
“Lho? Kau yang gelap mata, Herman! Aku sudah bilang padamu, cukup sekali saja kau ikut perjudian itu. Saat kau menang ... selesai. Tapi kau malah bayar ratusan juta untuk sekali deposit?” Putra menggeleng, tertawa sarkastis. “Apa itu namanya bukan gelap mata?”