Ada teori yang membuktikan bahwa untuk mengetahui karakter asli seseorang, bisa dilihat dari bagaimana caranya bertindak dalam situasi. Melody jadi tahu bagaimana sifat asli Dodi. Padahal Melody berusaha untuk menyatukan harapannya pada Nada, namun sepertinya semesta justru menjatuhkannya berkali-kali dan menyuruhnya untuk menyerah pada harapan sendiri.
Melody melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tujuannya hanya satu, dia ingin ke tempat Nada dan meminta penjelasan. Menempuh perjalanan satu jam di tengah kota Jakarta yang macet dan juga panas. Melody akhirnya sampai di depan kantor NMFashion. Dia melangkah masuk, seseorang resepsionis menyapanya.
“Ada Nada?”
“Ada, Bu, di ruangannya.”
“Antar saya ke sana.”
“Baik, Bu.”
Tidak ingin mengulur banyak waktu, dia segera berjalan tergesa-gesa menuju lift diikuti seorang resepsionis perempuan di belakangnya yang berlari kecil untuk menyeimbangkan dengan langkah kaki Melody. Menggunakan kartu, pintu lift tertutup dan membawanya ke lantai empat. Resepsionis itu hanya mengantar Melody sampai pintu lift terbuka, Melody jalan sendiri menelusuri lorong dan bilik-bilik karyawan yang sedang berjibaku dengan pekerjaan masing-masing. Ada sebagian yang menyapa Melody, gadis itu membalas dengan anggukan kepala dan senyuman terpaksa.
Nada sedang berdiri memandangi pemandangan di luar jendela sembari menyeruput secangkir kopi panas. Mendengar pintunya terbuka tanpa diketuk, lelaki itu berbalik dan terkejut melihat kedatangan Melody. “Hei ... tumben ke sini? Kenapa nggak ngabarin gue? Katanya nggak enak badan?”
“Gue mau bicara serius sama lo.”
Mendengar itu, Nada melangkah mendekat. Menyimpan cangkir kopinya di atas meja kerja.
“Soal apa, Mel?”
“Sebelumnya gue mau tanya sama lo ... sekarang Clara ada di mana?”
“Dia masih di apartemennya dan besok balik LA. Kenapa?”
“Bagus deh.”
“Ada apa sih, Mel?” Nada berniat menyentuh rambut Melody tapi segera ditepisnya.
“Jelasin soal ini, Nad ...,” Tangan Melody bergerak merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah kotak yang dia temukan di saku jas Nada. “Jelasin video yang gue temuin di memori ini!”
Nada terbelalak. Dia melirik ke sekitar, takut ada orang yang melihatnya. Dia menekan tombol remote hingga sebuah layar otomatis menutup jendela menjadi serba putih dan tidak terlihat dari luar.
“Lo dapet itu dari mana? Lancang banget lo geledah ruang kerja gua.”
“Ruang kerja? Ini ada di saku jas lo yang digantung di belakang pintu toilet lo. Gue temuin ini dan gue udah lihat video yang ada di sini. Video kejinya bokap lo habisin nyawa Om Putra dan gue tahu banyak fakta kenapa gue jadi korban perjodohan ini!” kalimat itu mengalir tanpa jeda, tanpa aba-aba.
Nada meneguk ludah, dia bergeming. Sorot matanya getir, jakunnya naik-turun. Atmosfer dalam ruangan itu sangat menekan dan terasa panas.
“Lo tahu nggak, apa yang udah bokap lo lakuin itu lebih dari seorang psikopat. Bokap lo iblis yang menjelma di tubuh manusia. Nggak punya hati nurani sama sekali!”
“Mel ....”
“Saking piciknya bokap lo, sampai susun rencana kebohongan ke media soal Om Putra yang udah tipu dan bawa kabur uang perusahaan bokap gue. Seolah-olah Om Putra itu buronan yang hilang entah ke mana. Dan setelah gue selidiki kasus ini, nggak ada kelanjutannya sampai sekarang. Gimana bisa bokap lo sepicik itu, Nad? Bersembunyi di balik keramahannya yang ternyata pembunuh berdarah dingin.”
Nada menyugar rambutnya frustrasi. Rasanya kini kepalanya mau pecah. Setumpuk pekerjaannya belum selesai, sudah ditambah dengan masalah baru yang lebih mengancam. Dia menatap iris mata Melody.
“Mel, bokap gua emang jahat. Gua akui itu. Bokap gua picik, kejam, psikopat, nggak punya hati nurani untuk berbelas kasihan ke orang. Dan asal lo tahu, Mel, soal berita yang beredar di media itu hasil dari otak Tante lo, Tante Mita. Dia yang susun semua rencana ini sampai akhirnya berhasil dan semua orang percaya dengan berita itu.”
Melody meneguk ludah. Dia kaget mendengar kata-kata itu dan Nada tidak sadar, kalau wajah Melody sudah pucat pasi.
“Dan asal lo tahu juga ... kalau lo lihat video itu sampai tuntas, apa yang gua dan bokap lo lakuin sekarang, untuk menerima perjodohan bodoh ini, semata buat lindungi lo dari incaran bokap gua. Kalau bokap lo nggak terima tawaran yang diberikan bokap gua, nyawa lo yang jadi taruhan.
“Dan gua nggak mau kalau sampai ada nyawa lain yang harus melayang dengan sia-sia di tangan bokap gua. Dan bokap nyokap lo nggak mau kalau harus kehilangan satu-satunya harta berharga dalam hidup mereka karena masalah mereka.”
Rasanya seperti disiram air keras. Melody tidak pernah menyangka bahwa dia akan mengalami pergolakan batin seperti ini. Perkataan Nada sangat telak menamparnya. Keheningan mencuat seperti dikungkung di dalam terungku yang kedap suara. Melody memandangi Nada lama. Benar apa yang dikatakan Nada, pernikahan ini terjadi semata untuk melindungi Melody dari kejamnya ancaman Dodi.
Herman memilih mengambil penawaran Dodi untuk melindungi anak semata wayangnya. Dan Nada memilih mengorbankan semua kehidupannya untuk mempertahankan nyawa Melody yang sama sekali tidak dia kenal sebelumnya.
Lelaki itu langsung berbalik, mengusap wajahnya—terlihat jelas sekali dia merasa bersalah dan pasrah. Tidak bisa melawan kejahatan Papanya yang terlampau batas. Tidak bisa juga menyalahkan Melody karena sudah tahu semuanya. Mau bagaimanapun dia menutupi kejahatan sedalam-dalamnya, kejahatan tetap kejahatan yang harus diadili.
Nada berbalik, kembali menatap Melody. Wajahnya memerah. “Sekarang terserah lo. Lo mau lapor ke pihak berwajib atau bagaimana terserah, Mel. Sekarang lo tahu masalah ini dan gua nggak bisa membela diri. Gua serahkan semuanya ke elo, silakan,” Lelaki itu angkat tangan, seolah pasrah. Dia berjalan sempoyongan menuju sofa, menjatuhkan tubuhnya di sana.
Rasanya seperti ditempatkan di dua pilihan yang sulit Melody tentukan. Antara terjun ke dalam jurang atau menyerahkan diri pada pembunuh yang akan mengejarnya sampai ke ujung dunia.
“Nad ... gue cuma butuh keadilan ...,” suaranya terdengar bergetar. Gadis itu berbalik, menatap Nada getir. Dia merasa ironi sekaligus bimbang akan kehidupannya sendiri. Mimpi dan dongeng terindahnya telah berakhir. “Gue butuh keadilan, Nada. Orang kayak bokap lo kalau dibiarkan berkeliaran, pasti memakan banyak korban. Oke ... mungkin sekarang gue selamat, tapi apakah bisa menjamin kalau nggak bakalan ada korban lagi setelah Om Putra?
“Bokap lo punya banyak relasi di luar sana. Gimana kalau ada salah satu dari mereka yang berdebat sama bokap lo dan bokap lo nggak terima, jalan satu-satunya yang dia lakuin adalah melenyapkan. Makanya gue tanya sama lo tadi soal keberadaan Clara ... gue takut justru Clara jadi korban selanjutnya. Niat lo mau nikah sama gue karena mau menyelamatkan Clara, tapi kalau ujungnya Clara juga kena, sia-sia perjuangan lo, Nada.”
Nada menarik tubuhnya duduk tegak, mendongak menatap getir istrinya. “Tapi ... kalau lo laporin bokap gua ke pihak berwajib, gua juga bakalan ikut terseret, Mel, bahkan bokap nyokap lo juga. Karena apa? Karena kita udah menutupi bahkan bisa dibilang mendukung pembunuhan yang dilakukan bokap gua.
“Tapi gua bakalan ambil konsekuensinya dari semua ini. Kalau emang ini jalannya, gua terima. Asalkan lo dan Clara selamat. Gua nggak bakalan ngelak atau kabur. Gua bisa menyerahkan diri ke pihak berwajib dan menjadi saksi mata atas kekejian bokap gua. Tapi lo harus siap ... kehilangan semua.”