SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #40

TERKUNGKUNG PENYESALAN

Berita tertangkapnya keluarga Dodi Handoko dan Herman Pradipta tidak hanya menggemparkan para tetangga, relasi kerja, keluarga, tetapi juga jagat maya. Bagaimana tidak, hanya butuh waktu beberapa menit untuk membuat berita menjadi viral berkat kecanggihan sosial media dan kecepatan jari manusia untuk menyebarkan segala berita.

Pagi ini, Melody diminta datang ke kantor kepolisian untuk dimintai kesaksian soal pengaduannya pada pihak berwajib, sekaligus bertemu dengan para tersangka, salah satunya Nada—suaminya. Gadis itu segera turun dari mobil, ditemani Pinkan, berjalan menunduk karena sejak dia melangkahkan kakinya turun, sudah banyak awak media yang mengerumuninya. Bahkan Bian harus turun tangan untuk mengamankan situasi.

Ditemani Bian dan Pinkan, Melody masuk ke dalam. Ternyata tidak hanya banyak aparat, tetapi juga ada banyak sekali media dan wartawan meliput di dalam.

Sekilas, Melody mendengar seorang reporter membacakan berita...

“Selamat pagi, pemirsa. Saya Dinda sedang berada di kantor Polrestabes Jakarta Pusat, kelanjutan dari kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Pemilik perusahaan NMFasion, atau yang dulu mempunyai nama Enisabag dan Melshoes terus berjalan. Hari ini, kepolisian Polda Metro Jaya telah meningkatkan status pemeriksaan dan menetapkan sebagai tersangka. Dodi Handoko disangkakan pada pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Sementara keempat tersangka yang tersisa masih dalam proses penyidikan.”

“Bu Melody, bagaimana tanggapan Anda soal kasus ini?”

“Bu ... bagaimana bisa Ibu melaporkan kasus ini, padahal para tersangka, keluarga Bu Melody sendiri?”

Tidak hentinya pertanyaan setiap pertanyaan bergulir di telinganya, seolah seperti klakson yang saling sahut-menyahut untuk berlomba dan menentukan siapa yang lebih dulu maju. Sementara gadis itu hanya diam, enggan melirik apalagi menjawab. Dia hanya menundukkan kepala dan berada dalam pelukan Pinkan. Bian menggiring Melody dan Pinkan untuk masuk ke dalam sebuah ruangan. Tanpa adanya awak media di sana, sehingga Melody merasa aman tanpa pertanyaan yang bertubi-tubi dia dapatkan.

“Mel, kamu di sini dulu, ya? Nanti aku panggil Nada sama orang tua kamu buat ketemu sama kamu,” Bian mengelus lembut rambut Melody ketika gadis itu sudah duduk di kursi tunggu di dalam ruangan itu bersama Pinkan.

Melody mengangguk, menarik senyum tipis. “Makasih, Bi.”

Bian berlalu meninggalkan Pinkan dan Melody di sana. Pinkan menatap sahabatnya itu dengan iba, tangannya bergerak mengelus punggung Melody. “Lo yang sabar, ya, Mel. Yakin, kalau keputusan yang lo ambil ini, keputusan yang terbaik.”

“Meskipun gue harus korbanin orang tua gue?” Melody menatap Pinkan, sorot matanya sendu dengan suara bergetar. Terlihat gadis itu sedang berusaha menahan air matanya supaya tidak keluar. “Gue ... gue sama aja kayak anak durhaka, Pin. Gue juga sama aja kayak istri durhaka. Tapi gue bingung, kalau gue diam aja saat gue tahu kematian Om Putra itu dibunuh sama mertua gue sendiri, perasaan bersalah itu bakalan terus menghantui gue seumur hidup.”

Pinkan mengangguk. “Justru itu, Mel. Gue paham gimana campur aduknya perasaan lo kemarin. Gimana syoknya elo setelah tahu fakta yang selama ini mereka tutupi dalam-dalam. Tapi harus lo ingat, sepintar-pintarnya orang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga.”

Melody meneguk ludah. Dia menundukkan wajah. Pikirannya masih sangat kalut, bahkan lebih kalut dari sebelum dirinya melaporkan kejahatan Dodi ke pihak berwajib. Bersamaan dengan itu, suara derap kaki terdengar mendekat. Otomatis pandangan Melody tertuju ke sumber suara dan menampakkan Nada dan kedua orang tuanya didampingi Bian dan dua orang polisi lainnya.

Air mata yang sejak awal Melody tahan akhirnya pecah keluar ketika melihat Nada muncul di hadapannya. Dia beranjak dari duduknya, bergegas lari untuk memeluk Nada. Lelaki itu membalas pelukan Melody sangat erat, dia tersenyum dalam kesakitan.

Keheningan merebak, hanya suara isak tangis yang saling sahut menyahut sebagai isyarat kesedihan yang mendalam. Tidak ada yang berani angkat suara.

Dalam pelukan Nada, Melody melirik ke samping, tepat kedua orang tuanya berdiri, menatap Melody dengan sendu dan isak tangis meluruh. Melody menatap Ani, raut wajah Ibunya seperti orang kelelahan dengan mata sembab nyaris terlihat bengkak. Sepertinya Ibunya menangis semalaman, begitu juga dengan Herman yang terlihat sama kondisinya.

“Maaf .. karena aku ... gara-gara aku, Papa, Mama dan Mama Lina jadi ikut terseret masalah ini,” Melody akhirnya berusaha membuka percakapan. Meski hatinya terasa sangat sakit tetapi dia harus kuat. Dia mendongak, menatap seraut wajah suaminya yang terlihat kelelahan. Bahkan Melody baru pertama kali melihat wajah Nada seperti ini. Gadis itu menyentuh pipi Nada. Sementara Nada hanya tersenyum, memegang tangan Melody. “Maafin aku, Nada. Maafin keputusan aku yang ... yang bikin kamu ikutan terseret.”

“Nggak apa-apa ...,” Nada mengelus lembut anakan poni Melody. “Aku udah bilang sama kamu, kalau aku bakalan ambil semua konsekuensi. Ini bukan salah kamu. Justru dengan cara kamu ambil tindakan ini, bikin aku benar-benar lega. Mau tahu kenapa?”

Melody mengernyit heran. Bingung mencerna perkataan Nada.

“Karena aku merasa bebas. Selama ini ... selama Papa melakukan aksi kejahatannya untuk membunuh banyak orang, aku dan Mama selalu dihantui rasa bersalah. Hidup kita nggak tenang, selalu waswas. Meskipun Papa berkali-kali bilang, tetap tenang. Tapi justru kehidupan aku dan Mama seolah di ambang jurang. Antara terjun ke bawah dan langsung mati, atau bertahan tapi disakiti,” Nada tersenyum ironis. Kedua kelopak matanya berbinar, ada air mata yang sudah terkumpul dan siap untuk diluruhkan. “Tapi kita justru milih bertahan.”

Lihat selengkapnya