SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #41

PERJUANGAN BELUM USAI

Tiga hari yang Melody jalani rasanya seperti seabad.

Tidak ada lagi suara Nada yang berisik memenuhi telinga Melody. Tidak ada lagi kejahilan Nada yang selalu membuat Melody emosi. Tidak ada lagi boom chat dari Nada supaya Melody tidak lupa makan.

Tiga hari yang akhirnya bisa dia lewati sendirian, meski dengan perjuangan keras untuk bisa beradaptasi dengan keadaan. Pagi ini, Melody berniat pergi ke kantor setelah tiga hari dia mengambil cuti dan sekarang waktunya kembali. Situasi kantor serasa berbeda, entah ini perasaannya saja atau bagaimana. Semua mata menatap Melody saat gadis itu turun dari mobil dan berjalan menuju lobi, berbagai macam ekspresi dan sorot mata memenuhi pandangan Melody.

Kebanyakan para karyawan menatap iba dirinya, seolah Melody terlihat sangat memprihatinkan dan membutuhkan belas kasihan. Tidak jarang juga Melody mendapati tatapan sinis dan bisik-bisik tetangga. Melody menghela napasnya dengan berat, berusaha tebal muka, tutup telinga rapat-rapat tiap kali mendengar komentar usil yang memberi cap padanya sebagai anak yang tidak tahu diuntung. Atau memberi komentar pedas karena menikah dengan anak pembunuh.

Melody tidak peduli kalau seandainya semua karyawan di kantor menjauhinya,

Sungguh dia tidak akan peduli. Dia masih punya Pinkan yang bersedia menyerahkan pundaknya untuk tempat bersandar Melody ketika lelah menghadapi kehidupan.

Tapi Melody tidak akan selamanya jadi putri malang. Dia harus mencari cara supaya dirinya terus berdiri tegak. Meskipun dapat tekanan dari berbagai arah.

Kalau biasanya tiap kali Melody melewati karyawan, selalu saja mereka menyapa dengan semangat pagi. Untuk kali ini tidak, justru hanya tatapan dan bisik-bisik. Melody berusaha tidak peduli, dengan tetap berjalan menuju ke ruangannya. Dia menghela napas panjang, menyimpan tas di atas meja kerja dan menjatuhkan bokongnya di atas kursi pimpinan.

Dia mendongak, kedua matanya terpejam. Berusaha untuk tetap bertahan meski pikiran campur aduk tak karuan. Terdengar, suara pintu ruangan diketuk. Refleks, Melody membenarkan posisi duduknya. “Masuk.”

Pintu ruangan terkuak dan mendapati Pak Angga. Lelaki itu melangkah masuk dan duduk di kursi staf berhadapan dengan Melody. Hening beberapa detik, hanya sorot mata iba terpancar dari kedua bola mata Pak Angga. “Are you okay?”

Melody menyunggingkan senyum, dia mengangguk. “Ya, i’m good. Ada apa, Pak?”

“Saya khawatir sama keadaan kamu. Kalau sekiranya kamu masih belum siap untuk bekerja, istirahat saja dulu. Biarkan pekerjaan kamu Astri yang handle.”

Melody menggeleng. “Nggak apa-apa, Pak. Lagian saya baik-baik aja kok.”

“Jangan membebani diri kamu sama pekerjaan ya, Melody. Istirahatkan pikiran kamu, mental kamu. Saya tahu, masalah yang kamu hadapi sekarang pasti berat.”

Melody tersenyum rikuh. “Nggak, Pak, saya nggak apa-apa. Saya baik-baik aja. Ya ... meskipun terkadang saya bohongin diri sendiri seolah terlihat baik-baik aja. Tapi saya nggak mau terus-terusan dikasihani. Saya bisa menerima keadaan saya yang sekarang, Pak. Saya ambil pelajarannya dari masalah ini.”

Pak Angga menarik senyum getir. Menganggukkan kepala. “Saya setuju dengan pemikiran kamu, Melody. Saya tidak bisa bantu apa-apa selain support kamu.”

Melody tersenyum. “Terima kasih, Pak.”

“Ya sudah kalau begitu, saya permisi, ya.” Pak Angga beranjak dari duduknya, melangkah meninggalkan Melody sendirian.

Dadanya terasa sesak. Dia menghela napas panjang, berusaha mendistraksi segala perasaan. Dia meyakinkan diri sendiri kalau dia bisa bangkit dari keterpurukan. “Oke ... gue bisa lewatin ini semua.”

***

Melody sedang makan siang di sebuah restoran bersama Pinkan. “Eh, Mel, gue bingung gitu ya kenapa laki-laki itu susah banget gitu peka sama perasaan cewek. Gue nih, ya, si Rey padahal udah gue kode-kodein kalau kita anniversary, gue pengen makan malam romantis gitu ala-ala kayak di atas kapal. Eh, nyatanya boro-boro makan malam romantis, yang ada dia lupa. Terus dia malah ajakin gue makan ke pecel lele deket rumah gue, terus si lelenya lo tahu bentukannya begimana?”

Melody menggeleng, sembari menyeruput ice greentea latte.

“Gue dikasih dua lele yang dibentukin jadi love, terus di atas nasinya, ada tulisan pakai sambel happy anniversary. Gue pengen ngakak, tapi kesel.”

Pecah gelak tawa Melody mendengar perkataan Pinkan. Bahkan dia hampir tersedak kalau saja minuman yang ada di dalam mulutnya tidak langsung dia telan.

“Ih emang, ya, jiwa si Rey itu lawak banget, Pin. Tapi seru juga sih kalau gitu, jadi nggak boring.”

Pinkan mengesah, mengaduk minumannya tidak bersemangat. “Iya sih, tapi ya gitu dia kurangnya. Nggak peka. Coba kalau peka, paket komplit deh.”

“Cowok peka itu langka. Lo harus ngode keras supaya cowok lo paham apa yang lo mau.” Mereka mengernyit heran ketika tiba-tiba mendengar suara laki-laki menyahuti di tengah-tengah obrolan. Mata mereka langsung menangkap ke arah belakang dan mendapati Bian yang tiba-tiba muncul. “Gue boleh gabung?”

Pinkan mendengus. “Padahal, ya, masih banyak restoran daerah sini dan kenapa harus ada lo di sini? Lo buntuti kita, ya?” Pinkan menodong membuat Bian terbelalak.

“Dih, kebetulan kita ketemu di sini, kayak nggak ada kerjaan aja ngikutin kalian,” Bian menarik kursi di hadapan Melody. Menatap teduh gadis itu yang kembali fokus menyeruput minumannya. “Mel ... gimana kabarnya?”

“Baik,” jawab Melody ketus. Bahkan dia tidak menatap Bian.

Bian mengangguk-angguk. “Syukur deh.”

“Oh iya, Bi, gimana kelanjutan kasusnya Pak Dodi?” Pinkan bertanya hati-hati, dia melirik Melody yang juga meliriknya.

“Hm ... kalau Pak Dodi udah ditetapkan sebagai tersangka. Dan ternyata setelah berita tertangkapnya Pak Dodi mencuat, banyak yang laporan katanya sebagai korban. Kata Nada, itu mantan bodyguard-nya yang sempat jadi kambing hitamnya, rela di penjara dengan bayaran yang fantastis.”

Melody terbelalak, begitu juga dengan Pinkan.

“Kok aku nggak tahu, Bi?” Melody angkat suara. Padahal dia malas berinteraksi dengan Bian, tetapi saat Pinkan bertanya demikian, menarik perhatian Melody. “Kapan laporannya?”

Lihat selengkapnya