SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #42

MERAUP TAKDIR

Melody menatap gerbang hitam yang menjulang tinggi itu dengan perasaan sendu. Dia terdiam selama beberapa detik sebelum gerbang di buka oleh Pak Kendil. Kepalanya memikirkan detik demi detik yang akan dia lalui di dalam rumah itu. Bayangan wajah Nada menyeruak memenuhi ruang ingatannya tiap kali dia menginjakkan kaki di rumah. Di setiap penjuru rumah, seolah ada sosok Nada berkelebat seperti hantu teror yang meminta bantuan.

Apakah ini yang dinamakan dengan definisi kesepian yang tidak berujung? Seolah kehilangan jati diri sehingga tidak bisa menikmati hidup?

Melody sering kali merasakan bagaimana rasanya kesepian di rumah ketika Ani dan Herman justru sibuk dengan pekerjaan. Namun dia tidak merasakan sakit dalam menghadapinya seperti ini. Rasanya sungguh berbeda, entah mengapa bisa begitu. Hampa, bagai tersesat di dalam hutan. Sendirian. Hingga dia harus memutar otak bagaimana untuk bisa bertahan hidup tanpa adanya bantuan.

Gadis itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap dia bisa melewati hari demi hari dengan baik. Berusaha berdamai dengan keadaan meski tidak mudah untuk Melody melewati setiap prosesnya.

Melody teringat sepasang mata Nada yang menatapnya penuh kasih sayang. Seakan-akan matanya berkilauan seperti bintang di langit malam.

Melody melajukan mobilnya ketika gerbang sudah terbuka lebar. Matanya tertuju pada sebuah mobil Alphard hitam yang terparkir manis di pelataran. Mobil yang tampaknya familier milik...

Dodi!

Jantung Melody seketika berdebar kencang. Untuk apa mobil milik Papa Dodi ada di pelataran rumah Nada? Sedangkan Papa Dodi seharusnya ada di kantor polisi. Apa jangan-jangan...

Perut Melody terasa mulas memikirkan segala kemungkinan. Melody turun dari mobil. Menatap dengan jeli mobil yang terparkir dan menyelidiki plat nomor mobil itu. Benar. Itu benar-benar mobil Dodi.

Melody bergegas berlari menuju pintu utama. Langkah kakinya terhenti ketika dia membuka pintu. Dia mematung dengan kelopak terbelalak ketika menyadari ada seseorang yang menyambut kedatangannya...

Lina.

Melody menutup bibirnya dengan telapak tangan. Air matanya meluruh seperti air terjun, dia tidak bisa menahan rasa bahagianya ketika melihat Lina yang tersenyum hangat menyambut kedatangan Melody pulang. Rasa lelahnya hari ini seolah menguap ke udara, dia berlari menghampiri Lina dan memeluk tubuh mertuanya itu dengan erat.

Ternyata benar apa yang dikatakan Bian bahwa Lina akan dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah.

“Mama ... kenapa Mama nggak kabari Melody kalau Mama pulang? Melody bisa jemput Mama ...,” haru-biru memenuhi kesunyian di dalam rumah, seolah kesedihan Melody yang mendalam tumpah di pelukan Lina. “Ma ... Melody minta maaf...”

Begitu pun dengan Lina yang meluruhkan tangisnya ketika melihat Melody. Seolah dunianya yang runtuh sedikit demi sedikit kembali terbentuk. Tangannya bergerak mengelus lembut rambut menantunya itu.

“Kamu nggak salah, sayang. Justru Mama berterima kasih sekali ke kamu, karena kamu berani menegakkan keadilan. Mama sebenarnya sudah sangat lelah sekali hidup bersama dengan Papa Dodi, apalagi tiap kali melihat Nada yang selalu tersiksa. Mengorbankan seluruh hidupnya demi kepentingan Papanya. Keputusan yang sudah kamu ambil ini sudah benar, sayang.”

Melody menggigit bibir bawahnya hingga terasa perih, berusaha menahan emosi. “Ma ... aku anak durhaka, aku istri durhaka. Aku salah, Ma, udah laporin masalah ini. Masalahnya bakalan panjang dan aku nggak tahu gimana nasib Nada dan kedua orang tua aku. Aku salah, Ma, aku salah....” air mata yang mengalir membuat kalimatnya jadi patah-patah. Sesekali dia berhenti untuk menangis dan mengambil napas.

“Nggak, sayang, kamu nggak salah. Ini salah satu doa Mama dan Nada yang Tuhan kabulkan lewat kamu. Justru Mama yang minta maaf. Karena Papa Dodi membawa kamu ke dalam masalah ini jadi menghancurkan mimpi kamu, Cita-cita kamu, kehidupan kamu. Kamu dipaksa buat ikut menanggung semuanya tanpa kamu tahu faktanya. Mama Minta maaf, sudah menghancurkan semuanya.”

“Nggak, Ma, nggak. Melody udah terima takdir Melody seperti ini. Melody sayang sama Nada. Justru Melody bersyukur banget sama Tuhan, karena udah mempertemukan Melody sama Nada. Meskipun awalnya memang Melody sulit untuk menerima tapi seiring berjalannya waktu, Melody jadi sadar kalau Nada sosok suami yang baik buat Melody.

“Dari Nada Melody belajar, kalau takdir nggak selamanya kejam. Justru Melody bisa belajar dari semua takdir kalau ada pembelajaran di dalamnya. Pelajaran hidup yang bisa Melody ambil dari kejadian setiap kejadian yang udah Melody lewati. Melody mencintai Nada, Ma. Sama seperti Melody mencintai diri Melody sendiri.”

Lina memeluk Melody semakin erat. Ada perasaan membuncah dalam dada yang sulit untuk Lina utarakan. Perasaan senang, haru, sedih, kecewa melebur menjadi satu dan memberi efek sakit dalam hatinya yang bertubi-tubi menghantam tanpa ampun.

“Melody ... terima kasih sudah mau menerima Nada. Menerima anak Mama dengan segala masa lalunya ...,” Lina melepaskan pelukannya, memegang kedua pipi Melody dan menghapus air mata menantunya itu. Dia tersenyum getir. “Dulu ... waktu Mama dapat kabar kalau Nada mau dijodohkan dengan kamu, nggak tahu kenapa, Mama langsung setuju. Apalagi ketika pertama kali melihat kamu, Mama tahu kamu itu anak baik. Perempuan yang bisa menjaga diri dari lingkungan atau hal negatif. Dan Mama yakin kalau kamu bisa menyelamatkan Nada dari kurungan dunia malam. Dan dugaan Mama ternyata benar.”

Seluruh perasaan dalam dada Melody berlomba-lomba untuk membuncah. Ada desiran rasa malu yang mengaliri tubuhnya. Teringat kali pertama pertemuan yang mengejutkan Melody malam itu, sampai dia tidak bisa mengontrol dirinya untuk bersikap sopan di hadapan keluarga Nada.

Tertarik senyuman getir di bibir Melody, dia menghapus air mata Lina yang meluruh di pipi. Sepanjang malam itu, mereka saling menguatkan, saling memberi energi agar kuat menghadapi detik demi detik yang berputar. Melody tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya dan bersyukur pada Tuhan karena sudah menghadirkan Lina sebagai penguat dan penyemangat dalam hidupnya.

Berjuang bersama melawan kesedihan dan kejamnya dunia.

***

Empat bulan berlalu dan selama itu Melody berusaha tegar menghadapi kehidupannya yang hampa nyaris tak berasa. Mencoba untuk menerima segala rintangan yang dia hadapi di setiap detiknya. Dia menghabiskan waktu ditemani Lina yang sama-sama menguatkan di tengah situasi menyedihkan.

Dan hari ini, Melody diharuskan mengikuti sidang pembacaan Dodi, Herman, Ani dan Nada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pikirannya terpecah belah, kalau bisa dilihat transparan mungkin syaraf di otaknya seolah seperti benang kusut. Sudah empat bulan Melody menjalani hidup tanpa Nada dan kasus ini masih berlanjut hingga persidangan ke tiga.

Sewaktu ruangan dibuka, mereka segera masuk setelah Panitera Pengganti, Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum dan kemudian Melody dengan Ani dan pengunjung lainnya.

“Majelis Hakim memasuki ruangan sidang, hadirin dimohon untuk berdiri.” Panitera Pengganti mengumumkan bahwa Hakim akan memasuki ruangan. Semua pengunjung berdiri, tangan Melody sudah lemas padahal sidang belum dimulai. Panitera Pengganti menginstruksikan pada seluruh hadirin untuk kembali duduk ketika para Hakim sudah duduk di singgasananya masing-masing.

Melody merapalkan doa semoga hukuman untuk kedua orang tuanya dan Nada diringankan.

Persidangan dibuka dengan tanda diketuknya palu tiga kali oleh Hakim. “Sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang memeriksa perkara pidana, atas nama Dodi Handoko, Nada Melviano, Herman Pradipta dan Ani Nuraini pada hari Jumat, tanggal 17 Mei 2024, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.” Hakim kembali mengetuk palu tiga kali.

Beberapa petugas membawa Dodi, Nada, Herman dan Ani untuk ikut bergabung dalam persidangan. Melody meneguk ludah. Kondisi Nada dan kedua orang tuanya bahkan terlihat semakin buruk saat terakhir kali dia menjenguknya. Nada terlihat kurus, wajahnya yang selalu terawat tanpa bulu, kini tumbuh kumis dan jenggot.

Amarah para pengunjung terpancing ketika melihat wajah Dodi justru terlihat seperti orang yang tidak bersalah. Kemudian mereka duduk di kursi pemeriksaan.

Lihat selengkapnya