SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #43

SECARIK PESAN

Bian duduk di kursi kemudi sembari menunggu kemacetan yang tidak luput dari suara klakson bergantian. Dia memandangi layar ponselnya, melihat postingan Instagram Melody menampakkan lautan dengan langit berwarna jingga dengan caption tertulis; “New life has come. I can't wait to welcome it”.

Dia menipiskan bibirnya. Menyadari semua harapannya untuk kembali mendapat kesempatan kedua dari Melody sepertinya mustahil. Dengan cara apa pun dia berjuang, tetap, ketentuan Melody sudah bulat.

Bian melempar ponselnya ke jok samping, tangan kanannya bergerak menyugar rambutnya. Saat kemacetan sudah lengang, dia melajukan mobilnya untuk menyalip kendaraan di depan. Begitu mobil melaju, Bian spontan menginjak rem. Ada sebuah mobil pick up pengangkut sayuran dari arah berlawanan muncul di pertigaan dan nyaris menabrak bagian depan mobilnya. Dia menekan klakson kencang. Hancur sudah mood-nya malam ini.

Dia hendak melajukan kembali mobilnya, tetapi kakinya enggan menginjak gas ketika dia melihat seorang gadis sedang duduk di halte seberang jalan. Bian menyipitkan mata, lampu jalan membuat halte tersebut tampak terang-benderang, dia mampu melihat dengan jelas bahwa perempuan yang duduk di halte itu ... Jessie.

Hanya ada segelintir orang yang berlalu-lalang di sekitar halte. Terlihat, Jessie berkali-kali berdecak, seraut wajahnya menampakkan kekesalan. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang yang tidak kunjung datang. Kemudian, dilihatnya pandangan Jessie beralih ke ponsel di tangannya.

Bian mengusap dagunya, dia penasaran juga siapa orang yang Jessie tunggu sampai terlihat gadis itu menahan kesal. Tidak lama, terlihat ada seorang laki-laki mendekat pada Jessie. Bian pikir, seseorang itulah yang sedang Jessie tunggu. Tapi anehnya Jessie hanya diam saja dan masih fokus pada ponselnya, Bian menangkap gerak-gerik mencurigakan dari lelaki itu.

Lelaki itu memakai topi hitam dan jaket jins berwarna Navy, pandangannya terlihat mengitari sekitar, seperti memastikan situasi yang saat itu tidak ada orang sama sekali. Langkah kakinya mendekati Jessie dan duduk di sampingnya. Berjarak. Hingga sedikit demi sedikit, lelaki itu mendekat dan tanpa aba-aba, menarik ponsel yang Jessie mainkan.

Terlihat Jessie memekik dan ada adegan saling tarik-menarik. Jessie dengan sekuat tenaganya mempertahankan ponselnya sembari berteriak. “TOLOOONG!!”

“Sialan!” Bian refleks membuka pintu mobil dan berlari sekencang-kencangnya ke seberang jalan. Bahkan dia tidak peduli sekitar dengan kendaraan berseliweran. “Woi!”

Baik Jessie dan lelaki itu menoleh ke sumber suara. Begitu mendengar teriakan Bian.

“Bian, tolong gue, Bi. Dia jambret!” teriak Jessie semakin histeris.

“Lepasin!” teriak Bian memperingati. Dia lantas mendekat, memperhatikan Jessie dengan saksama. Namun, tanpa diduga, tangan lelaki itu melingkar di leher Jessie, mendekap tubuh gadis itu dan satu tangannya merogoh saku jaketnya, mengeluarkan pisau lipat. Lelaki itu menjadikan Jessie sebagai sandera.

“Menjauh dan jangan ikut campur. Kalau tidak, cewek ini bakalan mati!” lelaki itu memperingati.

Jessie merapatkan bibirnya yang pucat pasi, kedua tangannya berusaha untuk melepaskan tangan yang melingkar di lehernya sampai terasa mencekik. Seluruh tubuhnya bergetar seolah mati rasa.

“Anda tidak tahu siapa saya?”

“Alah, peduli setan. Saya tidak peduli Anda siapa, yang jelas jangan coba-coba mendekat.”

Bian memandang Jessie. Untuk kesekian kalinya. Degup-degup di mata Jessie seolah menghunjam jiwanya. Bian berpaling menatap tajam lelaki itu, kali ini dia membuka resleting jaket yang membalut tubuhnya dan memperlihatkan seragam yang dia pakai.

Otomatis lelaki itu terbelalak, menyadari dia telah salah sasaran menyandera perempuan di depan salah seorang polisi. Refleks, tangan yang melingkar di leher Jessie itu melonggar. Dengan itu, Jessie mengambil kesempatan untuk menyiku perut lelaki itu membuat lelaki itu terhuyung dengan wajah menahan sakit dan memegangi perutnya. Jessie melepaskan diri dan berlari mendekat ke Bian, berdiri di belakang lelaki itu untuk meminta perlindungan dengan napas yang terengah-engah.

Bian mengeluarkan benda dalam saku celananya. Pistol. Menodongkan benda itu tepat di depan wajah lelaki misterius itu.

Lelaki itu merentangkan tangan kanannya ke depan seolah meminta ampun pada Bian. Sementara tangan kirinya memegangi perut yang masih terasa sakit. “Ampun, Bang, ampun.” Dengan tergopoh-gopoh, dia berusaha bangkit dan kemudian berlari menjauhi Bian dan Jessie. Meski sering kali dia terjatuh dan kemudian bangkit lagi.

Bian menghela napas, menatap lelaki itu yang kian menjauh hingga tidak terlihat. Dimasukkan kembali pistol itu ke dalam saku celananya. Lantas, dia berbalik menatap Jessie yang masih ketakutan setengah mati.

Pandangan mereka bertemu, dengan sorot mata penuh arti. Refleks, Bian menarik tubuh Jessie ke dalam pelukannya. Hingga akhirnya pecah tangis Jessie di dalam dekapan Bian. Lelaki itu mengelus lembut kepala Jessie.

“Lo ngapain lagi di sini sendirian?” tanya Bian lembut menenangkan.

“G—gue nunggu jemputan ojol. T—ternyata ojol itu tiba-tiba cancel,” suara Jessie terdengar lirih dan patah-patah karena menangis.

Bian mengesah. Dia melepaskan pelukannya, menatap Jessie dan tangannya bergerak menghapus air mata di pipi Jessie. “Ya udah ... sekarang gua anterin lo pulang, ya? Tenang aja, lo aman sama gua.”

Seketika, Bian merasa ada nyeri yang menusuk dadanya. Dia juga merasa seolah jatuh ke dasar jurang yang paling dalam. Melihat air mata itu luruh di pipi Jessie, seolah ada gertakan dalam hatinya tidak terima. Malam ini, Jessie menunjukkan sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah lagi oleh Bian.

Dia ... mencintai Jessie.

***

“Lo mau bawa gue ke mana sih, Pin?” tanya Melody heran ketika Pinkan tiba-tiba datang ke kantor Astreo Magma sewaktu jam pulang dan membawa Melody masuk ke dalam mobilnya. “Itu mobil gue gimana?”

“Entar gue antar lo lagi ke sini.”

Setelah itu, sepanjang perjalanan, Melody memilih diam. Begitu juga dengan Pinkan yang justru fokus menyetir. Mereka tidak banyak bicara hingga mobil berhenti di sebuah mal.

“Yuk, turun,” ajak Pinkan setelah selesai memarkirkan kendaraannya dan sedang membuka seatbelt.

“Ngapain sih ke sini?”

“Udah ih turun aja. Nggak usah ribet. Ikut gue aja. Udah cepetan.” Pinkan menjulurkan tangan membuka pintu mobil, melangkah keluar dan mau tidak mau, Melody menurut.

Langkah mereka beriringan memasuki mal. Pinkan tampak membaca sesuatu di ponselnya. “Dia udah nunggu, yuk, cepet.”

Melody mengernyit heran, menatap Pinkan. “Dia siapa?”

“Udah jangan banyak tanya deh.”

“Abisnya elo nggak jelas banget, sih,” Melody mulai sebal. “Jawab, Pinkan. Lo mau bawa gue ketemu siapa? Jangan macam-macam deh. Gue udah punya suami.”

“Lha, terus apa hubungannya lo punya suami sama nggak?”

Lihat selengkapnya