SEBATAS FORMALITAS

Linda Fadilah
Chapter #44

MENEBUS KEPERCAYAAN

Dua bulan. Selama itu Melody bekerja dengan perasaan hampa, tidak seperti biasanya yang selalu semangat empat lima. Sekarang dia duduk di balik kursinya, hidupnya seperti mengawang. Ada kebahagiaan yang seolah tercerabut secara paksa dalam hidupnya. Pandangannya mengitari sekitar, memandangi seisi ruangannya yang penuh oleh gambar arsitektur di dinding, dia memutar kursi dan berpaling memandangi sederetan buku dan berkas-berkas di dalam rak. Matanya bergerak ke atas—ke bagian atas rak buku—ada signate board yang bertuliskan Astreo Magma Group.

Gadis itu menghela napas panjang. Beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela besar transparan yang menampilkan gedung-gedung menjulang tinggi di sekitarnya. Pandangannya menengadah, menatap kendaraan di bawah yang terlihat kecil seperti mainan dengan asap polusi membumbung di udara.

 Dia mendongak dengan mata terpejam. Setelah berbagai rasa sakit yang dia lalui selama ini, ternyata dia bisa ada di titik ini. Titik di mana dia harus merelakan semua impian terbesarnya.

Gadis itu menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Dia berbalik, melangkah menuju meja kerjanya dan mengambil sebuah map berwarna merah yang sudah tergeletak di atas sana sadari tadi. Dia memeluk map itu, matanya berpaling menangkap bingkai foto yang berdiri di atas mejanya. Tangannya bergerak mengambil bingkai itu, terdapat sebuah foto dirinya bersama seluruh karyawan Astreo Magma di depan gedung. Terlihat semua wajah di foto itu menampakkan seraut wajah gembira dengan senyuman lebar.

Dia menarik senyum getir. Disimpan kembali foto itu di atas meja dan kakinya melangkah keluar ruangan tanpa perkataan atau kalimat yang terucap.

***

Sejak dulu Herman selalu berpikir bahwa uang di atas segalanya. Dengan uang dia bisa membeli pujian, kehormatan, loyalitas, menaklukkan banyak orang. Seseorang akan dipandang jika memiliki uang, kalau tidak? Mereka akan diinjak-injak dan dianggap tidak berharga. Dulu, Herman masih ingat, semua terasa mudah. Apa pun yang dia inginkan pasti akan dia dapatkan. Dengan kekayaan, dia memiliki kesempatan yang terbuka lebar. Orang mudah sekali mengulurkan tangan untuk membantu apa pun.

Dan sekarang, setelah uang tidak lagi dia miliki. Semuanya hilang. Bahkan yang menoleh ke arahnya pun tidak ada.

Satu-satunya yang tersisa hanyalah penyesalan.

Herman menjambak rambutnya, pandangannya kosong menatap lurus ke arah pintu sel tahanan. Di baliknya terlihat cahaya matahari begitu menyorot dengan pemandangan sipir hilir-mudik memantau para tahanan. Sudah berbulan-bulan dia tidak nafsu makan, tidak bisa tertidur nyenyak. Isi kepalanya hanya Melody yang terlintas di sana. Dia memikirkan bagaimana terpuruknya, tertekannya anak gadisnya itu harus menanggung risiko besar seperti sekarang. Herman akui kalau dia memang gagal menjadi orang tua panutan. Bahkan Herman merasa dirinya tidak pantas disebut orang tua.

Nada mengernyit heran ketika melihat mertuanya justru sering banyak melamun di pojokkan. Lelaki itu menghampiri Herman dan duduk di sebelahnya, dipandangnya mertuanya itu dengan saksama. Melihat seraut wajah Herman yang kentara banyak menyimpan beban. Bahkan ketika Nada ada di dekatnya, Herman sama sekali tidak sadar.

Sampai Nada menepuk pelan bahu Herman yang langsung terlonjak. Nyaris seperti seseorang yang baru tersadar karena terkena hipnotis. “Papa kenapa? Ada masalah apa?” tanya Nada cemas.

Herman tersenyum kikuk. Menggelengkan kepala. “Nggak kok, Nada. Papa nggak apa-apa.”

Nada mengamati garis wajah Herman.

Herman menepuk bahu Nada. “Oh iya, Nak, Pak Dodi sudah pindah lapas? Papa nggak tahu soalnya tadi Papa di toilet. Katanya sudah, ya?”

Nada mengangguk, dia menunduk. “Sudah, Pa. Karena kalau di sini bikin onar terus.”

Herman mengangguk-angguk.

Hari itu, Dodi di pindahkan ke salah satu lapas yang ada di pulau Jawa karena dengan alasan yang cukup konkret. Selalu membuat masalah. Salah satunya memukuli tahanan lain yang berani menyenggol dirinya. Hingga sebelumnya beberapa kali Dodi dikurung di sel isolasi. Tetapi ketika kembali ke dalam kamar sel sebelumnya, kembali membuat masalah sampai akhirnya harus pindah lapas.

“Nada ... sebentar lagi masa tahanan kita selesai,” Herman menarik senyum getir. “Papa boleh minta sesuatu sama kamu?”

Nada mendongak, menatap Herman. “Apa, Pa?”

Lihat selengkapnya