Tidak pernah terbayangkan dalam benak Melody kalau dia mengambil keputusan yang penuh tantangan. Terjun langsung ke dalam perusahaan miliknya membuat Melody seperti orang dungu. Tidak tahu harus melakukan apa dan tidak tahu pekerjaan yang harus dia lakukan seperti apa. Karena dia tidak pernah paham sama sekali bagaimana pekerjaan di dunia bisnis dan retail.
Sekarang dia berdiri di depan seluruh karyawan pusat NMFashion—yang jumlahnya ratusan—jantungnya berdegup kencang dan tangannya berkeringat. Hari ini merupakan hari pertama dan paling bersejarah dalam hidupnya, karena dia berani mengakui kalau dirinyalah pemilik perusahaan.
“Halo semua. Di sini saya berdiri, saya ingin mengonfirmasikan kepada kalian kalau saya secara resmi memegang perusahaan ini untuk menggantikan Bu Lina. Rasanya seperti mimpi untuk saya ikut serta memegang kendali di perusahaan ini. Yang tentunya saya sangat butuh sekali kerja sama dengan kalian semua.
“Ini adalah sebuah tantangan besar untuk saya karena untuk pertama kalinya saya terjun langsung ke dunia bisnis. Meskipun orang tua saya pebisnis tetapi saya sama sekali tidak paham bagaimana cara kerjanya. Jadi, saya mohon kepada kalian untuk bimbingannya. Mohon maaf jika saya belum mengerti dengan alur pekerjaan.
“Tapi saya akan terus belajar untuk terus meningkatkan kreativitas sesuai dengan visi-misi perusahaan,” Melody berpaling menatap ke sebelah kanan tepat berdirinya Bianca menemani Melody untuk memberi penyambutan di depan seluruh karyawan. “Bianca ... mohon bantuannya.”
Bianca menyungging senyum dan mengangguk ramah. “Baik, Bu Melody.”
Ruangan gedung dengan ornamen tas dan sepatu raksasa di bagian temboknya itu terlihat ramai akan tepuk tangan. Melody kembali menatap seluruh karyawan lalu tersenyum, mengangguk penuh hormat.
Ditemani Bianca, Melody berbalik, melangkah ke belakang panggung diiringi dengan tembakan party popper di udara disertai teriakan meriah. Melody menemukan Lina di sana yang tersenyum bangga pada Melody sembari bertepuk tangan, hingga langkah gadis itu berhenti tepat di hadapannya.
“Selamat, ya, sayang. Maafin Mama malah pekerjaan Mama kamu yang handle sekarang,” Lina mengelus kedua bahu Melody.
Melody menggeleng. “Nggak, Ma, seharusnya ini tanggung jawab Melody, kan? Malah Melody yang merasa bersalah sama Mama, malah nyuruh Mama yang urus semua perusahaan. Melody yang salah, terlalu fokus sama kerjaan sampai nggak lihat perusahaan sendiri.”
“Justru Mama nggak enak selalu hancurin mimpi kamu,” Lina terlihat murung—lebih tepatnya merasa bersalah.
Melody menggeleng. “Nggak, Ma,” Melody memegang bahu Lina. “Pokoknya mulai hari ini, Mama istirahat di rumah. Jangan pikirin pekerjaan di sini. Pokoknya Melody bakalan berusaha semaksimal mungkin. Dibantu Bianca juga,” Melody berpaling menatap Bianca yang juga sedang menatapnya dengan senyuman.
“Apa yang dikatakan Bu Melody itu betul, Bu Lina. Pokoknya Bu Lina tenang saja.”
Lina mengangguk, senyumnya tertarik sumir di bibirnya. Tangannya terulur menarik tubuh Melody ke dalam pelukannya. Melody membalas pelukan Lina. Mertuanya itu mengelus punggung Melody. “Terima kasih, ya, sayang. Kamu sudah mengorbankan mimpi kamu ... bahkan seluruh hidup kamu hanya untuk memenuhi keinginan orang tua. Kamu anak yang sangat berbakti.”
Melody tersenyum.
Ini adalah awal perjuangannya di kehidupan baru. Kehidupan dengan status baru, pekerjaan baru dan juga tanggung jawab baru. Melody menikmati segala prosesnya karena dia yakin, di balik semua yang dia alami selama ini, pasti ada pembelajaran dan takdir Tuhan yang menuntutnya menjadi pribadi yang lebih baik.
***
“Jadi official nih, Ibu Melody?” Pinkan tersenyum jahil, menaik-turunkan kedua alisnya.
“Hm ...,” Melody mencibirkan bibir. Dia menyuap sendok yang berisi berbagai menu masakan yang dia masak. Dia sekarang sering memasak, mengasah keterampilan barunya yang penuh perjuangan satu bulan penuh untuk menciptakan masakan yang tidak lagi keasinan dan berhasil mendapat pujian serta dua jempol dari Herman dan Nada.
“Lo jangan terpaksa, Mel. Soalnya kalau lo ngelakuin apa-apa terpaksa, pasti ujungnya nggak bakalan bener,” teriak Jessie dari arah dapur ketika mengambil nasi.
Siang ini mereka bertiga berada di rumah Melody. Setelah mendapat telepon dari Melody kalau dia masak banyak dan meminta kedua sahabatnya untuk segera ke rumahnya. Tanpa ba-bi-bu Jessie dan Pinkan bergegas meluncur ke sana. Dan benar saja, banyak sajian makanan yang menggiurkan sudah terhidang.
Jessie kembali, sembari membawa piring yang berisi nasi untuk yang kedua kali dia nambah. Gadis itu duduk di sebelah Melody. “Tanggung jawab lo lebih gede, lho, dibanding jadi Wakil Manajer di A.M.” Tangan Jessie mengulur mengambil beberapa hidangan.
“Hm ... awalnya gue kepaksa sih, tapi setelah gue pikir-pikir selama dua bulan itu, gue jadi sadar kalau gue emang yang seharusnya bertanggung jawab. Jadi ... ya ... semoga berjalan lancar sih.”
“Tapi ...,” Pinkan menyuap sesendok makanan ke dalam mulutnya. “Bentar lagi juga Nada bebas, kan? Bokap nyokap lo juga.”
Jessie mengangguk. “Betul. Bulan depan, kan?”
Melody mengangguk.
“Jadi bisa dibilang lo nge-handle cuma sebulan doang. Sisanya lo pengangguran.”
Kelopak mata Melody melebar. Kepalanya perlahan berputar menatap Jessie dengan tatapan terbelalak. “Lha, iya! Gue pengangguran.”
“Ya udah sih pengangguran kayak lo itu jadi impian banyak orang kali.”
“Betul,” Pinkan menjentikkan jari. “Jadi Ibu rumah tangga aja deh.”
“Tapi bosen nggak, sih?” tanya Melody, mengesah.
“Ya kalau bosen tinggal keluar rumah, cari kesibukan.”