"Ajegile! Belum dua puluh empat jam putus, itu lengan udah di gelendotin sama yang lain!"
Luka nyaris tersedak pentol bakso yang bersemayam di dalam mulutnya. Si bulat itu bahkan belum terkunyah sempurna, ketika suara cempreng mengusik pendengarannya.
Mengangkat pandangan dari mangkuk berisi bakso miliknya, Luka mendapati gadis bersurai hitam sebatas bahu tengah bersungut-sungut, tangan kanannya yang terkepal beberapa kali ia hentakan di atas meja hingga menambah suara gaduh.
Luka jelas terusik, tapi gadis itu tak memiliki nyali untuk mengusik. Meski sekadar memberi teguran agar gadis yang duduk berhadapan dengannya itu bersikap tenang. Ingin angkat kaki, perutnya belum sepenuhnya terisi. Bakso di mangkuknya juga masih banyak, sayang jika ia tinggal pergi setelah lama mengantri. Jadi, melapangkan hati, Luka memilih untuk kembali menundukkan pandangan, menikmati makan siangnya yang terjeda. Ia coba abai, lebih baik segera menandaskan isi mangkuknya agar bisa terlepas dari hiruk-pikuk yang membuat kepalanya berdenyut.
Jika saja tadi pagi tidak kesiangan, Luka tidak akan terjebak di kantin yang penuh sesak seperti sekarang. Ia bisa menikmati bekal makan siangnya dengan tenang seperti biasa di dalam kelas yang lengang karena ditinggal sebagian siswa yang memilih menghabiskan waktu istirahat di luar.
Awalnya, Luka berniat membeli sebungkus roti dan segelas air kemasan yang akan ia santap di dalam kelas. Sebatas pengganjal perut yang sedari pagi belum terisi.
Tapi ketika menginjakkan kaki di kantin, aroma bakso yang di bawa salah seorang siswa ketika mereka berpapasan membuat perutnya merengek protes. Sebungkus roti tak lagi menarik minatnya.
Tak ingin repot membawa mangkuk jauh-jauh hingga ke dalam kelasnya, Luka akhirnya memutuskan untuk makan di kantin. Setelah berhasil mendudukkan diri di kursi kosong yang susah payah ia cari di tengah padatnya kantin.
Luka hanya bisa menebalkan kesabaran, ketika teman duduknya terus saja mengoceh dan membuat gaduh dengan memukul-mukul meja untuk menyalurkan rasa kesalnya karena tengah patah hati. Belum lagi gadis itu sesekali terlibat perdebatan bersama beberapa temannya yang juga satu meja dengannya.
Ya, Luka menjadi satu-satunya sosok asing di sana. Meski mereka sebenarnya adalah teman sekelas Luka, tapi kehadirannya bak sosok tak kasat mata. Sudah biasa, karena di mana pun ia berada, kehadirannya seperti angin lalu, bahkan mungkin di anggap tabu.
"Udahlah, cowok model centong nasi aja lo tangisin May." Seloroh Dea, gadis dengan bando bunga di kepala yang berhasil memancing gelak tawa.
"Astaga, jahat lo, masa centong nasi? mantannya Maya itu tusukan cilok." Kali ini Eka, gadis berponi yang bersuara.
"Hush! Lo pada kok malah body swimming sih?" Keke, si tomboy yang selalu mengenakan topi kecuali saat berada di dalam kelas ikut menyeletuk.
"Body language sekalian, Ke!"
"Body lotion jangan lupa, biar nggak kering dan busikan."
Hanya dengan hal-hal receh yang di lontarkan teman-temannya, mampu meluruhkan kesedihan dan rasa kesal Maya yang kini sudah sibuk tergelak. Menyisakan Luka yang termangu di tempat duduknya, meski gadis itu tampak fokus pada isi mangkuknya yang nyaris tandas, tak ada yang tahu jika terselip rasa iri yang tiba-tiba menyusup dalam hati.
Mengela napas, Luka memilih beranjak dari tempat duduknya. Mengabaikan Maya dan teman-temannya yang bisa ia rasakan sempat menjeda gurauan mereka, hanya untuk mengikuti gerak-geriknya, meski tampak sembil lalu.