Sebatas Selat Sunda

intan elsa lantika
Chapter #8

7. Museum 12 Mei 1998

Puti menatap patung replika yang memperagakan suasana mencekam dalam tragedi Mei 1998. Patung itu memperagakan seorang polisi yang memegang pentungan dan tameng akan menyerang mahasiswa yang sedang berdiri, satu di antara mahasiswa itu sudah terkapar tak berdaya dan ada juga satu mahasiswa yang sedang berlutut.

Ya, mereka sedang berada di Museum Tragedi 12 Mei 1998 yang ada di kampus Trisakti. Museum ini menjadi tempat yang mengabadikan peristiwa sejarah kelam yang pernah terjadi di Indonesia. Titik lokasi tempat tewasnya empat mahasiswa Trisaktipun juga ditandai.

"Ini yang menjadi awal mula suasana mencekam pada hari itu," ujar pak Hendri salah satu civitas akademik di kampus Trisakti, sekaligus om kandung Tio.

Puti mengalihkan pandangannya dari patung replika, lalu menatap pada pak Hendri.

"Pada hari itu sebenarnya kami memulai semuanya dengan damai," Pak Hendri beranjak dan berdiri di depan foto-foto.

"Pada saat itu kondisi konomi Indonesia mulai goyah, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Saat itu kita bersama-sama mencari solusi untuk membantu pemerintah, dengan artian kita mengkritisi pemerintah dengan keilmuan yang kita punya. Dan gerakan itu bentuknya gerakan moral dan intelektual, bukan hanya mimbar bebas asal bicara," ucap pak Hendri sambil menunjuk foto-foto yang diabadikan pada 12 Mei 1998 itu.

"Pada saat itu, mahasiswa Trisakti dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta mengajukan beberapa tuntutan kepada pemerintah. Yaitu, pertama reformasi politik, mahasiswa menuntut reformasi politik yang melibatkan perubahan struktur politik yang otoriter dan korup. Mereka meminta pemulihan demokrasi yang lebih inklusif dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Yang kedua pemilihan umum, mahasiswa menyerukan pemilihan umum yang adil, bebas, dan langsung. Mereka menuntut perubahan sistem pemilihan yang terjamin dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan otoriter. Yang ketiga kebebasan berpendapat, mahasiswa mengecam pembatasan kebebasan berpendapat dan menuntut kebebasan berekspresi. Mereka ingin diakui dan dihormati hak mereka untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah tanpa takut akan represi. Yang keempat, reformasi ekonomi, mahasiswa meminta reformasi ekonomi yang adil dan transparan. Mereka menuntut pengurangan kesenjangan ekonomi, perlindungan bagi pekerja, dan pengendalian terhadap praktik korupsi. Yang kelima, penegakan hukum, mahasiswa menyerukan penegakan hukum yang adil dan pengusutan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan. Mereka menuntut pertanggungjawaban bagi pelaku kekerasan dan penghancuran hukum. Dan yang keenam, pengunduran diri Presiden Soeharto, mahasiswa menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Mereka menyalahkan rezim Soeharto atas berbagai masalah politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di Indonesia," jelas pak Hendri sambil menunjuk foto mahasiswa melakukan mimbar bebas.

"Setelah melakukan mimbar bebas, pada siang hari mahasiswa mulai turun ke jalan. Namun long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan," pak Hendri menunjuk foto mahasiswa yang memenuhi jalanan.

"Long march tidak diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Lalu akhirnya mahasiswa melakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Situasi masih tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Mahasiswipun membagikan bunga mawar kepada barisan aparat," ucap pak Hendri sambil bergeser untuk melihat foto lainnya.

"Ini!" ujar pak Hendri sambil menunjuk foto mahasiswa yang terlihat berlarian.

Lihat selengkapnya