Waktu yang dijanjikan akhirnya datang, malam ini rumah Puti ramai, beberapa kerabat Putipun juga ikut datang meramaikan. Puti agak bingung, bukannya mama Puti bilang hanya mau bertemu antara keluarga saja, bukan acara spesial. Tapi kenapa suasananya seperti akan ada lamaran?
Puti mulai gelisah, apakah dia dijebak? Apakah Puti tetap akan dipaksa menikah juga? Apakah Reza? Ada banyak pertanyaan yang akhirnya membuat Puti merasa tidak enak. Ia mengunci dirinya di kamar. Puti berperang dengan dirinya sendiri. Bagaimana ini? Haruskah ia keluar? Atau tetap mengunci diri saja di kamar. Mana tau benar ia dijebak.
Puti berusaha menenangkan dirinya. Lama-lama ia mulai menangis. Ya Allah, aku kenapa? batin Puti. Puti menarik nafas panjang, ia beberapa kali melihat layar hpnya, berfikir untuk mencari pertolongan. Akhirnya tanpa pikir panjang, Puti langsung menelpon Tio yang sedari kemarin diam, tidak ada kabar apa-apa lagi.
Telepon Puti langsung dijawab oleh Tio, "Halo," ucap Tio yang terdengar sedang berada di kegiatan baris berbaris karena terdengar suara komandan barisan yang sedang menyiapkan pasukan lalu meneriakkan perintah untuk penghormatan.
"Kamu lagi dimana?" tanya Puti.
"Lagi dampingi apel malam! Sebentar aku cari tempat yang nggak berisik!"
Tio menjauh dari barisan.
"Ada apa Puti?" lanjut Tio setelah suara disekitarnya hening.
"Aku mau dilamar malam ini!" ucap Puti pelan.
Tio terdiam mendengar pernyataan Puti.
"Kok kamu diam?" tanya Puti.
"Hmm, aku harus bilang apa?"
"Kamu beneran nggak ada niat mau pertahanin aku?" ucap Puti kesal.
"Puti,"
"Apa?" jawab Puti ketus.
"Kamu memangnya sudah siap nikah?"
"Mau siap mau nggak, kamu mau nggak sama aku? Kok aku jadi kayak ngarep banget ya sama kamu? Sedangkan kamu? Ah, udah lah!"