Setelah Najwa menjelaskan lebih detail perihal belajar malam yang akan dilaksanakan, saatnya kami menentukan pelajaran apa yang akan kami ambil. Dan tentu saja, dengan siapa.
"Ambil nahwu saja, sama Kang Sandi," usul Ava terlewat antusias yang memang mengagumi sosok tersebut.
Aku menggeleng. Niatnya untuk belajar saja sudah salah. "Aku lebih tertarik dengan fiqih, bagaimana pun juga itu penting bagi kita ke depannya." Aku mengangguk mantap, setuju dengan pernyataan El.
Aku pun memang berniat mengambil fiqih yang 'katanya' diampu oleh kang Atep. Ava tetap pada pilihannya, yaitu belajar nahwu bersama kang Sandi. Sedangkan Najwa, yang katanya penasaran dengan kang Azzam, memutuskan untuk memilih belajar aqidah bersamanya. Hadeh, begitulah teman-temanku, saking jarangnya bertemu lelaki selama di pondok, kang-kang santri pun di embat juga. Kami melanjutkan pekerjaan kami yang sudah setengah selesai melipat setumpuk baju.
***
Azzam pov.
Usiaku jalan 21 tahun. Terhitung sudah selama 6 tahun aku hidup prihatin di pondok pesantren Al-Huda yang terletak di kota pelajar ini. Meski begitu tak banyak santriwati yang mengenal diriku, karena memang antara kompleks pondok putra dan pondok putri terpisah jarak dalam bilangan beberapa kilometer. Pun sebab aku tak sesering yang lain untuk datang pergi ke dan dari pondok putri untuk suatu urusan di sana. Aku memang tak seberguna pengurus lain. Maka dari itu, saat kemarin Atep bilang akan ada rencana kegiatan belajar malam di pondok putri, aku langsung mengajukan diri untuk ikut serta mengajar para santriwati di sana. Tidak semata-mata agar aku ada kesibukan sebenarnya. Ada seseorang yang membuatku ingin secara langsung ku lihat kembali. Dia yang membuatku jatuh hati pada pandangan pertama sejak aku melihatnya.