Aku bangun seperti biasa, pukul empat pagi. Segera aku mengambil handuk dan peralatan mandiku lalu memasuki kamar mandi. Aku menghabiskan waktu kurang lebih selama 15 menit untuk mandi. Langit masih petang, udara dingin yang menerpa tubuhku dihalau oleh baju rajut lengan panjangku. Aku sengaja mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat tahajud kemudian dilanjutkan berdzikir dan berdoa.
Hingga pukul setengah lima, Aku bersama teman-temanku yang lain berjamaah subuh di kelas panggung yang biasa digunakan Kang Azzam mengajar saat belajar malam sebelum kami mengaji dengan penyimak kami masing-masing. Penyimak kami memang berbeda-beda. Aku dengan Bu Nyai sedang teman-temanku dengan mbak-mbak pengurus yangmengabdi di pondok ini.
Pukul 05.00. Matahari mulai terbit dari ufuk timur. Menyinari alam semesta beserta penghuninya yang memulai menjalani kehidupan yang semakin berat unuk yang ke sekian ribu tahun. Pagi hari yang cerah. Kicauan burung-burung yang terbang terkalahkan oleh suara nderes1 ratusan santri pondok. Sangat nyaman mendengarnya. Guratan awan indah menghiasi langit terlihat dari balkon kamarku di lantai dua.
Pukul enam kurang lima belas menit aku telah menyelesaikan segala kegiatan pagiku di pondok. Ya, hanya mengaji dan sorogan kitab sebenarnya. Namun, yang perlu kalian ketahui, saat mengaji pada Bu Nyai aku harus mengantri dan menunggu lumayan lama untuk mendapat giliran maju dan setoran. Baru setelah selesai mengaji, aku salim pada Bu Nyai, ku cium punggung tangannya, selesai. Aku mundur secara melutut ke arah pintu lalu keluar dan segera melangkah menuju guru penyimak sorogan kitabku, yang juga merupakan seorang kang-kang santri. Tapi di sini perannya tak terlalu penting, oleh karena itu takkan ku singgung apalagi membahasnya di dalam cerita ini.
Pada hari-hari biasanya, pukul tujuh nanti sudah masuk waktu jam sekolahku. Namun, berhubung minggu ini Ujian Akhir Semester di laksanakan, jadwal masuk kelas yaitu pukul setengah delapan. Sisa waktuku juga yang lain digunakan untuk bersiap-siap; berganti seragam, makan, dan tentunya berdandan. Jangan salah, walau di sini tak ada lelaki (terkecuali para guru laki-laki) kami juga butuh perawatan diri dan harus senantiasa terlihat cantik. Setidaknya kami terlihat cantik di mata kami sendiri.