"Oke. Kita menikah besok."
"Hah?!" Aku jelas terperangah mendengarnya.
"Hahaha, bercanda Alkaaa. Lagian kamu ingin pacaran halal, kan? Lebih baik menikah sekalian kita."
Aku menanggapinya dengan tawa kikuk. Aku semakin tak paham dengan bercandaannya yang tiba-tiba mengarah pada persoalan nikah.
"Aku masih sekolah, kang. Masih mau sukses dulu, banggain orang tua. Belum kepikiran sampai ke situ."
"Iya, iya. Aku paham. Ayo," ajaknya yang sudah duduk di atas motor.
"Kok nggak jalan?" tanyaku yang sudah duduk di jok belakang.
"Pegangan dulu." Ia menatapku lewat spion motornya.
"Kang!" seruku. Lebih tepatnya menegur.
"Iya, iya, tuan putrikuu. Maaf... galak banget sih hahah. Tambah lucu kalau kamu tahu. Tapi tetap pegangan motor lho yaa... takut kamu jatuh."
Tawanya membuatku semakin emosi rasanya. Tapi hanya bisa ku pendam sendiri diam-diam. Aku mengalihkan pandanganku ke arah jalanan yang sudah lumayan sepi. Aku sebal mendengar suara tawanya. Aku sebal tidak bisa melawannya. Tawa kebahagiaan yang merupakan bencana bagiku.
Kami melaju di bawah langit gelap berbintang-bulan dan di sepanjang jalanan raya yang diterangi remang-remang lampu kuning. Pohon-pohon rindang yang berjejer di atas kanstin1 menjadi saksi raut senduku malam itu.
Dalam perjalanan aku bersyukur ia tak mengajakku bicara atau hanya akan ku jawab bicaranya dengan dehaman, anggukan maupun gelengan yang mungkin tak dapat Kang Azzam lihat. Huh, bahkan sekadar menyebutkan namanya saja sebenarnya membuatku malas. Keheningan terus berlanjut hingga akhirnya kami sampai di rumah minimalisku.
"Selamat malam, cantik. Tidur yang nyenyak. Wassalamua'alaikum."
Sebelum Kang Azzam pergi meninggalkan pekarangan rumahku, ku tahan motornya, "Kang, jangan beritahu dulu ke siapa pun soal ini ya?" pintaku.