Pikiranku yang tadinya penuh seketika kosong. Apa sebabnya pun aku tak tahu. Namun aku berusaha untuk tidak berpikir ke hal-hal negatif. Aku menoleh perlahan ke arah kanan. Hanya tembok batu bata yang ku dapat temukan. Rasa was-was memenuhi jiwaku. Aku berganti menoleh ke arah kiri. Hanya ada jemuran yang tergantung berjejer-jejer di atas besi.
Aku tergesa berbalik, lalu melangkah cepat menuju tangga. Berusaha menguasai ketakutanku dan mengabaikan kekhawatianku. Baru tadi aku menyatakan bahwa aku tak takut dengan hal-hal gaib seperti yang dibicarakan teman-temanku, tapi kali ini berbeda. Benar-benar baru kali ini aku merasa semerinding ini. Aku hendak segera menemui El dan yang lain. Baru satu anak tangga ku tapaki, aku menoleh ke tempatku berdiri merenung sambil menatap langit tadi.
Aku bergeser memandang tempat jemuran, baju-celana digantung dan sarung-selimut disampirkan. Jantungku beberapa detik terasa tak bekerja, berhenti, lidahku kelu, seluruh tubuhku kaku. Terasa sangat susah digerakkan. Di sana, di balik dan di antara baju-baju yang tergantung dan sarung-sarung yang disampirkan tampak sebuah kepala dengan sebagian mukanya rusak, tidak ada sepasang kaki yang menapak di sana. Kosong. Aku sadar tak mungkin seorang santriwati memojok di jemuran dengan wajah terluka dan berdarah seperti itu. Sosok itu juga justru memperlihatkan selarik senyuman padaku.
Setelah seperkian detik, setelah kesadaranku akhirnya kembali, dengan jantung yang berdetak cepat aku langsung berusaha secepat mungkin berlari menuruni tangga menuju ke asrama. Begitu sampai bawah, lantai dua, aku langsung memeluk Ava. Mukaku pucat, tanganku dingin. Badanku seluruhnya bergetar ketakutan.
"Ava ... aku takut ...." bisikku lirih memberitahunya.
Seperti berbicara pada diriku sendiri, hanya terdengar olehku sendiri.