1
Bandung tidak pernah benar-benar menyambutku.
Kota ini seperti lelaki yang hanya membuka pintu, tapi tak pernah menawarkan tempat duduk.
Aku turun dari kereta pukul 17.23, matahari condong, langit merah keperakan, dan udara dingin menyentuh tengkukku seperti ingatan.
Tiga koper, satu ransel, dan satu hati yang rusak.
Itu yang kubawa dari Jakarta.
Dan satu buku puisi yang hilang halamannya—disobek Iqbal dua malam sebelum aku menghilang dari hidupnya.
Di peron, aku berdiri lebih lama dari penumpang lainnya.
Bukan karena menunggu siapa pun. Tapi karena aku takut melangkah ke kota ini dengan kaki yang sama yang pernah bersimpuh di hadapan lelaki yang membuatku percaya bahwa cinta adalah tempat tinggal.
Dan kini aku tahu — cinta seharusnya bukan penjara yang temboknya terbuat dari kata-kata manis dan jeruji berupa rasa bersalah.
2
Di atas kereta tadi, aku menulis puisi di balik tiket:
“Aku memilih jalan yang menganga,
bukan karena berani,
tapi karena aku lelah jadi perban
di pertempuran yang tak pernah aku mulai.”
Aku tak tahu akan kutaruh di mana bait itu nanti.
Mungkin di kamar kos yang belum kutemui.
Mungkin di dada seseorang yang cukup sabar mendengarkannya sampai habis.